"Nyukcruk" Jejak Bosscha di Pangalengan

>> Tuesday, August 12, 2008















Foto: Maison Bogerijen www.merpati.nl


HAMPARAN rumput gajah yang menghijau bak permadani terlihat masih basah sisa diguyur hujan yang turun hampir sepanjang malam. Di antara ujung-ujung dedaunan pohon zaitun, masih tampak butiran air yang belum terjatuh. Musim hujan yang belum kunjung juga berakhir hingga awal Mei ini, membuat udara pagi di kaki Gunung Malabar pada ketinggian 1.550 dpl (di atas permukaan laut) cukup dingin menusuk. Kabut tipis yang sesekali berarak mengganggu pandangan ke arah Gunung Nini yang menjulang di belakang Wisma Malabar.

Bangunan bergaya arsitektur Sunda modern yang dibangun tahun 1894 di Kampung Malabar, Dusun III, Desa Banjarsari, Kecamatan Pangalengan tersebut, pada masanya digunakan sebagai kantor sekaligus tempat tinggal Hoofdadministrateur (kepala administrator) Karel Albert Rudolf Bosscha.

Memasuki ruang tamu, kita akan disapa foto hitam putih K.A.R. Bosscha dengan kumis tebal yang merupakan ciri khasnya, tengah menatap ke samping kanan. Kita juga dapat menyaksikan foto hitam putih lain, tahun cetakan 1913. Ada foto rumah Hoofdadministrateur perkebunan Malabar, gerobak penuh berisi teh, pabrik teh Tanara yang kini menjadi pabrik teh Malabar, dan kesibukan para pemetik teh.

Salah satu foto yang paling menarik adalah foto sejumlah pemain musik degung di depan teras wisma. Semua pemain pribumi mengenakan ikat kepala dan berbaju tanpa dikancing, duduk lesehan. Seorang di antaranya yang memainkan rebab duduk di kursi mengenakan baju beskap (baju priyayi Sunda) tampak berbeda. Dialah Rudolf A. Kerkhoven, wakil administrator perkebunan.

Melangkah masuk ke ruang utama, di tengah bangunan kita akan melihat sejumlah sofa tertata rapih dengan meja bertaplak putih menghadap ke tungku. Di sudut ruangan, piano kesayangan Bosscha merek Zeitter Winkelmam Braunscheig, Gegr, (1837), masih berada di tempat yang sama saat Bosscha (dulu) selalu memainkannya di waktu senggang.

Barang peninggalan Bosscha lainnya, yang terselamatkan dari upaya pembumihangusan yang dilakukan Jepang adalah meja biliar. Meja bola sodok itu berada di lantai bawah. Ada juga seperangkat kursi tamu dan lemari terbuat dari kayu jati merah.

Tatang (38), salah seorang pengurus wisma mengemukakan, wisatawan yang datang ke kediamanan Bosscha umumnya hanya untuk melepas lelah. Karena aktivitas wisatawan lebih banyak di luar wisma. Selain menikmati segarnya udara pegunungan Malabar, juga menikmati keindahan alam sekelilingnya.

Melakukan pendakian Gunung Nini (tea walk), di belakang wisma merupakan kegiatan yang paling banyak dilakukan. Dibutuhkan waktu satu setengah jam untuk menuju ke puncak gunung yang sebenarnya lebih tepat disebut bukit itu. Yang menarik, di puncak Gunung Nini ada bangunan saung atau pesanggrahan untuk melepas lelah. Selain menikmati hamparan perkebunan teh Malabar dan pegunungan yang melingkungi Malabar, dari bangunan ini, pengunjung juga bisa melihat gemerlap air Situ Cileunca yang tertimpa cahaya matahari.

Bila pendakian dilakukan pagi hari, dapat kita saksikan matahari terbit di antara Gunung Wayang dan Windu. Keindahan panorama alam seperti itu pula yang dulu biasa dilakukan Bosscha semasa hidupnya seraya menyeruput teh panas.

**

Jejak K.A.R. Bosscha yang lahir di S`Gravenhage, Belanda, 15 Mei 1865 adalah hutan kecil tempat bos perkebunan teh itu melepas lelah di tengah hari dan minum teh setelah berkeliling perkebunan dengan kuda putihnya. Hutan kecil yang berada di sekitar perkebunan memiliki beragam pohon yang tinggi menjulang, menciptakan keteduhan. Misalnya, pohon saninten, puspa, anggrit, rasamala, boros, dan cerem.

Hutan kecil itu akhirnya menjadi tempat peristirahatan K.A.R. Bosscha untuk selamanya. Setelah sebelumnya menderita sakit berbulan-bulan akibat terjatuh dari kudanya dan mengalami patah kaki, hingga meninggal dunia pada 26 November 1928.

Berdasarkan cerita, kematian Bosscha mengundang tangis seluruh masyarakat perkebunan. Ribuan pekerja yng beriring-iringan mencapai 5 kilometer mengantar jasad Raja Teh Priangan itu ke hutan kecil tempat Bosscha biasa melepas lelah. Jasad Bosscha memang tidak dibawa pulang ke negara asalnya, lantaran Bosscha sudah berwasiat, ingin dimakamkan di lokasi yang belum dipakai untuk perkebunan teh.

Berdasarkan GB (Besluit van den Gouverneur-Generaal) tertanggal 7 Juli 1927, No. 27 Staatsblad 99, lokasi itu sebelumnya telah ditetapkan sebagai cagar alam dan masih dalam kondisi seperti itu hingga kini. Makam Bosscha berupa bangunan berbentuk lingkaran dengan delapan pilar penyangga atap. Bangunan itu mirip observatorium Bosscha di Lembang. Diameter makam sekitar dua meter dengan tinggi pilar sekitar tiga meter.

Selain rumah dan tempat peristirahatan terakhir Bosscha, tidak ada salahnya kita melihat rumah pekerja perkebunan bergaya khas arsitektur Sunda (Imah Hideung) yang menurut cerita dibangun tahun 1890. Juga ke sekolah pertama yang dibangun tahun 1913 di kebun teh Ciemas.

Seandainya belum juga puas menikmati hamparan teh di Malabar, perkebunan Purbasari terpaut sekitar 9 kilometer dari Wisma Malabar juga bisa menjadi alternatif kunjungan. Di sini, tepatnya di Desa Wanasuka, Kec. Pangalengan, berada "museum hidup" peninggalan seorang Belanda peranakan Jerman, Franz Wilhelm Junghun, berupa perkebunan kina.

Pengunjung juga mengunjungi air terjun Cilaki dan pembangkit listrik tenaga air yang didirikan atas perintah K.A.R. Bosscha. Pembangkit listrik itu hingga kini menjadi penyedia energi listrik bagi pabrik teh dan perumahan karyawan.

Setelah itu, kunjungan dapat diakhiri di Pabrik Teh Tanara yang didirikan tahun 1905 dan kini dikenal sebagai Pabrik Teh Malabar. Pabrik ini masih terus memproduksi teh dataran tinggi berkualitas baik dan terkenal di dunia. Untuk melepas penat, pemandian air panas Tirta Carmelia, Cibolang wajib dikunjungi.

Sementara, bagi wisatawan petualang, khususnya anak-anak muda bisa berkunjung ke PLTA Lamajang, salah satu pemasok listrik Jawa-Bali yang dibangun Belanda sekitar tahun 1925. PLTA tersebut berada sebelum masuk Kota Kecamatan Pangalengan dan merupakan pilihan pertama sebelum melanjutkan perjalanan ke perkebunan teh Malabar.

Bila kondisi cuaca memungkinkan, wisatawan akan ditawari menaiki lori buatan Belanda. Selain menyaksikan pemandangan indah selama berada di atas lori, wisatawan akan dibuat takjub dengan turbin warna kuning menyala yang panjangnya sekitar 500 meter dan berdiameter 1,5 meter.

Selain ke PLTA Lamajang, biasanya wisatawan petualang akan memilih berarung jeram (rafting) di Sungai Palayang. Sungai dengan air dari berasal dari Situ Cileunca dan sejumlah mata air di Gunung Malabar ini memiliki tingkat kesulitan kelas III hingga IV. Selama hampir satu jam wisatawan akan diajak menyusuri sungai menggunakan perahu karet dan menaklukan sejumlah jeram yang cukup menjanjikan dan sangat menantang untuk dijajal. Karena sekarang musim hujan, otomatis debit air sedang tinggi sehingga tingkat kesulitan lumayan menantang.

Untuk mencapai objek wisata perkebunan Malabar di Kecamatan Pangalengan, jaraknya sekitar 53 kilometer dari pusat Kota Bandung, dapat dijangkau dengan menggunakan kendaraan roda dua, empat, maupun angkutan umum. Ruas jalan dengan kondisi sangat baik, namun di sejumlah titik, terutama saat memasuki wilayah Kecamatan Pangalengan, dibutuhkan konsentrasi mengemudi karena jalanan cukup licin dan berkelok.

Soal penginapan, selain Wisma Malabar dan Melati, ada juga hotel maupun guest house untuk menginap dengan tarif antara Rp 100.000,00 hingga Rp 300.000,00 per malam. Seperti, Wisma Melati yang menampung pengunjung dalam rombongan besar. Setiap kamar dapat menampung 50 orang. Penginapan lainnya yang berada di luar kawasan perkebunan Malabar, antara lain Citere Resort Hotel di Jln. Raya Pintu Pangalengan dan Puri Pangalengan Hotel & Restoran di Jln. Raya Pangalengan. Jadi, jangan merasa khawatir untuk berkunjung ke Pangalengan.




Sumber: Pikiran Rkayat, Senin, 26 Mei 2008.

0 comments:

About This Blog

Lorem Ipsum

  © Free Blogger Templates Skyblue by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP