100 Tahun Roosseno
>> Tuesday, August 19, 2008
Wiratman Wangsadinata
Tanggal 2 Agustus 2008 merupakan momentum 100 tahun kelahiran Prof Dr (HC) Ir Roosseno. Predikat Bapak Beton Indonesia tepat diberikan kepada Roosseno.
Sejak bekerja di Department van Verkeer en Waterstaat tahun 1935, Roosseno berhasil meyakinkan atasannya untuk mengutamakan penggunaan beton dalam pembangunan jembatan di Indonesia. Alasannya, bahan-bahan dasar beton, seperti pasir, batu pecah, semen, dan kayu perancah, dapat dibeli di Indonesia sehingga biaya pengadaannya akan masuk kantong dan menyejahterakan rakyat.
Pada masa pendudukan Jepang, 1 April 1944 Roosseno diangkat menjadi guru besar (kyodju) bidang ilmu beton di Bandung Kogyo Daigaku. Lalu, sebagai orang swasta yang baru hijrah dari Yogyakarta ke Jakarta, tanggal 26 Maret 1949, ia diangkat menjadi guru besar luar biasa ilmu beton di Universiteit van Indonesi¸, Faculteit van Technische Wetenschap di Bandung.
Beton pratekan
Roosseno menulis buku ajar beton pertama dalam bahasa Indonesia pada 1954. Beton pratekan mulai diperkenalkan di Indonesia oleh Roosseno melalui kuliahnya di ITB tahun 1949, juga melalui tulisan-tulisan dalam majalah Insinyur Indonesia tahun 1959. Struktur beton pratekan pertama di Indonesia terwujud tahun 1961 untuk pelataran Monas berukuran 45 meter x 45 meter dan Jembatan Semanggi di Jakarta berbentang 50 meter. Pelataran Monas dirancang Roosseno dengan sistem prategangan Freyssinet dari Perancis dan dilaksanakan PN Adhi Karya.
Dalam mendorong rasa percaya diri dan percaya kemampuan bangsa, dalam pidato pengukuhan guru besar Universiteit van Indonesi¸ di Bandung tanggal 26 Maret 1949 dan dalam pidato pengukuhan doktor honoris causa di ITB tanggal 25 Maret 1977, Roosseno menyanggah isi syair sastrawan Inggris Rudyard Kipling (1865-1936): Oh, East is East, and West is West, and never the twain shall meet.
Syair ini menyatakan, orang Timur tak mungkin setara orang Barat, ungkapan yang menyakitkan hati. Maka, Roosseno mengajak generasi muda untuk membuktikan, sajak itu harus berbunyi, ”Oh, East is East, and West is West, but this time the twain shall meet”. Roosseno telah membuktikan, dengan lulus Technische Hooge School Bandung, 1 Mei 1932, dengan nilai tertinggi di antara tujuh orang Belanda dan satu orang Tionghoa.
Kisah tak sukses
Pada pemugaran Candi Borobudur 1972 dengan bantuan UNESCO dan International Consultative Committee, tim dibentuk untuk mengawasi aspek teknis pemugaran. Anggotanya terdiri dari para ahli pemugaran dari Jepang, Amerika Serikat, Belgia, Jerman (Barat), dan Indonesia. Roosseno mewakili Indonesia ditunjuk sebagai ketua dan penulis sebagai asisten. Pekerjaan pemugaran meliputi pembongkaran dua juta batu dan batu arca, pemasangan pelat-pelat fondasi beton serta sistem pipa drainase, dan pemasangan kembali batu dan arca ke tempat semula.
Karena penanganan kestabilan lereng bukit Borobudur oleh dua konsultan UNESCO bertele-tele dan tidak tuntas, tahun 1975 Roosseno meminta penulis mengambil alih pengerjaannya. Dibentuklah tim terdiri dari penulis, Ir Aziz Djayaputra, Ir FX Toha, dan Ir Indradjati Sidi.
Laporan final menyimpulkan, semua tahap pemugaran aman terhadap kelongsoran. Faktor keamanan jangka panjangnya pun memadai. Laporan ini disetujui International Consultative Committee di Candi Borobudur tanggal 27 April 1976 sehingga pekerjaan fisik pemugaran dimulai.
Pemugaran Candi Borobudur diresmikan Presiden Soeharto 23 Februari 1983. Ketahanan Candi Borobudur atas gempa telah teruji, saat gempa Bantul, 27 Mei 2006, dengan magnitudo 6,3 skala Richter, kedalaman 10 km, dan jarak episenter—Candi Borobudur sekitar 45 km. Saat itu Candi Borobudur tidak mengalami kelongsoran atau kerusakan.
Selain cerita sukses, ada juga kisah kurang sukses terkait karya Roosseno. Misalnya, Jembatan Sarinah berbentang 40 m di atas Jalan Wahid Hasyim, Jakarta, yang runtuh pada 28 Februari 1981 akibat putusnya balok tarik beton pratekan penahan gaya reaksi horizontal di bawah Jalan Wahid Hasyim karena baja prategangnya berkarat.
Kekecewaan Roosseno lainnya, tak berhasilnya gagasan meningkatkan daya pikul gelegar komposit baja beton dengan memberi prakompresi dengan mengerjakan gaya horizontal dengan dongkrak pipih pada pelat beton. Sistem ini diuji pada Jembatan Kali Ciliwung di Condet. Namun, selang beberapa waktu prakompresinya hilang sehingga jembatan harus diperkuat tahun 1994. Ini menunjukkan pemberian prakompresi melalui transfer gaya tekan dari pelat beton ke gelegar baja harus diteliti. Namun, penelitian itu tak tuntas, Tuhan memanggil Roosseno pada 15 Juni 1996 saat usianya 88 tahun.
Wiratman Wangsadinata Guru Besar Emeritus Universitas Tarumanagara, Jakarta
Sumber: Kompas, Sabtu, 2 Agustus 2008
0 comments:
Post a Comment