Ada Bosscha di Kebun Teh
>> Tuesday, August 19, 2008
Oleh: Dwi Dwiayana
Mencari Bosscha tentu harus ke Lembang. Kok ke Malabar? Pertanyaan yang lumrah. Ilmuwan Belanda itu memang lebih lekat dengan Observatorium Bosscha, di Lembang, Bandung Utara. Banyak yang belum tahu, termasuk warga Bandung sendiri--di luar Lembang--Karel Albert Rudolf Bosscha mempunyai sejumlah jejak di tempat lain. Salah satunya, di Malabar, Kecamatan Pangalengan, Bandung Selatan. Di sekitar Gunung Malabar, ia mengawali pembuatan perkebunan teh pada 1896. Setelah Indonesia merdeka, areal tersebut dikelola oleh PTP Nusantara VIII. Pada Minggu, pekan lalu, Tempo News Room berkesempatan untuk menikmati hijaunya perkebunan teh Malabar. Itung-itung, menengok salah satu peninggalan Bosscha, yang lahir di St. Gravenhage, Belanda itu. Berada di ketinggian 1.550 meter di atas permukaan laut, kesejukan udaranya langsung terasa. Data resmi menyebut, suhu udara setempat berkisar 16-26 derajat Celcius. Tak sulit untuk mencapai lokasi yang jaraknya sekitar 45 kilometer dari Kota Bandung itu. Dengan kendaraan pribadi, ada dua rute yang bisa ditempuh: Bandung-Banjaran-Pangalengan-Malabar, atau Bandung-Ciparay-Lemburawi-Pacet-Cibeureum-Kertosaro-Santosa-Malabar. Tapi, kalau tak mau capek memegang stir mobil atau stang motor, bisa juga ditempuh dengan kendaraan umum. Dari Bandung, bisa naik bus Jurusan Pangalengan dari terminal Kebon Kelapa, atau naik minibus, lazim disebut Elf, dari terminal Tegallega. Sampai terminal Pangalengan, selain naik ojek, untuk ke lokasi bisa juga ditempuh dengan angkutan pedesaan jurusan perkebunan Malabar. Dari pintu masuk perkebunan, tujuan pertama dan paling dekat adalah cagar alam Malabar. Di areal seluas 8,3 hektar ini, bersemayam jasad Bosscha. Di atasnya dibangun makam berbentuk lingkaran dengan delapan pilar penyangga atap yang mirip atap Observatorium Bosscha. Diameter makam sekitar dua meter dengan tinggi pilar sekitar tiga meter. Makam ini terjaga baik dan ramai dikunjungi wisatawan, terutama pada akhir pekan I dan II setiap bulan. Pada pekan III dan IV alias bulan tua, pengunjung relatif sepi. "Untunglah, anak datang sekarang sehingga kita bisa ngobrol karena pengunjung sepi," kata Ohim, 77 tahun, penunggu makam. Suara encuing dan tonggeret menemani percakapan siang itu. Pensiunan pegawai perkebunan Malabar ini mengaku sudah menjaga makam selama tujuh tahun. Meski terhitung sudah berumur, tapi ingatannya tentang riwayat dan karya-karya Bosscha (yang didapat dari buku dan cerita turun-temurun) masih tokcer. Soal kematian Bosscha misalnya, ia menyebut ajal menjemput setelah Bosscha mendapat celaka saat mengontrol perkebunan dengan menaiki kuda putihnya. Akibat kecelakaan itu, kaki Bosscha patah, dan harus dirawat beberapa bulan. Selanjutnya, seperti tertulis di nisan, Bosscha meninggal pada 26 November 1928. Kalaupun jasadnya dimakamkan di situ, dan tidak dibawa pulang ke negara asalnya, lantaran Bosscha sudah berwasiat: bila mati, ia ingin dimakamkan di lokasi yang belum dipakai untuk perkebunan teh. Berdasar GB (Besluit van den Gouverneur-Generaal) tertanggal 7 Juli 1927, nomor 27 Staatsblad 99, lokasi itu sebelumnya telah ditetapkan sebagai cagar alam, dan diteruskan hingga kini. Di sini, selain menengok makam Bosscha, pengunjung juga bisa menikmati kekayaan cagar alam Malabar. Beragam pohon tinggi menjulang dan menciptakan keteduhan, seperti Saninten yang diameter batangnya sekitar satu meter. Selain itu, ada Puspa, Anggrit, Rasamala, Boros, Cerem. Tak hanya itu, pengunjung yang tertarik dengan dunia flora bisa menemukan tanaman dari golongan liana dan epiphyt yang tumbuh di pepohonan besar tersebut. Misalnya, Kiseureuh, Nanangkaan, Areuy Garut, Anggrek Vanda, dan Kadaka. Untuk faunanya, kalau beruntung, pengunjung bisa menjumpai bajing, kalong, burung Caladi, burung Uncal, burung Haur, burung Ekek, dan ular hijau. Lazimnya cagar alam, peringatan agar pengunjung tak mengusik keberadaan satwa tersebut dipancangkan. Salah satunya adalah larangan untuk menembak. Sembari menengok keragaman potensi biotik cagar alam Malabar, tak salah jika pandangan mata diarahkan ke sekeliling. Di kanan-kiri, dan depan-belakang, hijaunya perkebunan teh milik PT Nusantara VIII terhampar. Panorama makin indah dengan deretan gunung yang melingkupi wilayah tersebut, seperti Gunung Windu, Wayang, Geulis, Puntang, Pabeasan, dan Gunung Nini. Apalagi, di atas pegunungan, kabut tipis tampak menggelayut. Puas menengok cagar alam Malabar, pengunjung bisa menengok Wisma Malabar, yang jaraknya sekitar satu kilometer. Aslinya, rumah ini dibuat pada 1894 sebagai kantor administratur perkebunan Malabar, sekaligus rumah tinggal Bosscha. Juga, bisa datang ke Wisma Melati, yang aslinya dibuat pada 1898, sebagai tempat tinggal wakil administratur perkebunan Malabar. Jika ingin menggenapi pengetahuan dengan kondisi rumah tinggal pemetik teh saat itu, wisatawan bisa menengok rumah yang masih tampak otentik dengan rumah asli Sunda tempo doeloe. Rumah kayu dengan bilik bambu tersebut sengaja dilestarikan karena bernilai sejarah. Menurut catatan yang ada, "Rumah itu dibuat pada 1890," kata Syarief Hidayat, Kepala Urusan Humas dan Agro Wisata PTP Nusantara VIII. Mereka yang gemar berjalan santai di sela-sela perkebunan teh, silakan! Salah satu tempat yang menarik adalah Gunung Nini, yang berada di belakang Wisma Malabar. Lokasi ini lazim dijadikan sebagai tujuan tiwok (tea walk). Menurut Aman, 59 tahun, pelayan Wisma Malabar, untuk menuju ke puncak Gunung Nini dibutuhkan waktu sekitar 1,5 jam. Yang menarik, di puncaknya ada bangunan saung atau pesanggrahan (watching tower). Selain menikmati hamparan perkebunan teh, dari bangunan ini, pengunjung juga bisa melihat hamparan air danau Cileunca. Keindahan panorama alam seperti itu pula yang dulu biasa dilakukan Bosscha semasa hidupnya. Belum puas menikmati hamparan teh di Malabar, bisa melangkah ke perkebunan Purbasari, sekitar sembilan kilometer dari Wisma Malabar. Di sini, tepatnya di desa Wanasuka, Pangalengan, orang bisa menengok "museum hidup" peninggalan seorang Belanda peranakan Jerman, Franz Wilhelm Junghun, berupa perkebunan kina. Kini, jumlah pohon kina yang usianya sudah lebih 100 tahun dan dilestarikan itu tinggal seratusan saja. Kulitnya pun sudah tak lagi diambil untuk pembuatan obat. Maklum, untuk keperluan komersial pembuatan obat, PTP Nusantara VIII mempunyai lahan di sejumlah tempat, termasuk di kebun Kertamanah. Pohon kina yang pertama kali ditanam Junghun itu berada di areal seluas kira-kira 200 meter persegi. Dulu, pohon kinanya banyak, "Tapi, sekarang sudah banyak yang tua dan tumbang," kata Ade Komaruddin, 43 tahun, warga setempat. Di luar museum kina, lewat jalan yang berkelok-kelok, naik turun perbukitan teh, wisatawan juga bisa mampir dan menengok sejumlah tujuan. Misalnya, ke pabrik teh Malabar --yang dulu bernama pabrik Tanara (didirikan pada 1905), ke kebun bibit teh dengan pohon tehnya yang dibiarkan tumbuh hingga tujuh meter untuk diambil bijinya yang akan disemaikan, atau ke air terjun Cilaki dan pembangkit listriknya. Nah, kalau badan sudah capek setelah muter-muter seharian, tak ada salahnya mampir ke pemandian air panas Cibolang. Di sini, pengunjung bisa berendam sampai puas sembari menikmati hijaunya pepohonan Gunung Windu, tempat mata air panas berasal. Kalau masih ada waktu dan kesempatan, sebelum kembali ke Bandung, tak ada salahnya mampir ke Situ Cileunca untuk berperahu. Jarak dari Cibolang yang berair panas ke Cileunca yang berair dingin sekitar 15 kilometer, dan melewati keramaian kota Pangalengan. Dengan begitu, tak masalah jika wisatawan terlebih dulu membeli oleh-oleh yang berbahan serba dari susu khas Pangalengan, seperti karamel, krupuk, dodol, dan kembang gula susu.
Sumber: Koran Tempo, 13 Juni 2004
0 comments:
Post a Comment