Menolak Krisis Energi Kreatif
>> Monday, August 11, 2008
Susi Ivvaty & Ninuk Mardiana Pambudy
Pertunjukan orkestra di tengah hutan? Itulah salah satu acara HelarFestival yang digelar Bandung Creative City Forum, 2 Juli-31 Agustus 2008. Dari sana bisa dilihat ide kreatif yang muncul dari komunitas anak muda Bandung mampu bertumbuh menjadi industri kreatif.
Orkestra di tengah Hutan Raya Juanda Dago Pakar, hanya satu acara pengisi HelarFest. Pertunjukan itu pun bagian dari GreenFest gagasan event designer Wawan Juanda.
Wawan menampilkan string dan recycle orchestra yang alatnya barang bekas, seperti kaleng dan plastik. Selain orkestra yang dijuluki Wawan musik organik karena sedikit memakai bahan bakar, di situ juga ada pergelaran eco-fashion. ”Misalnya, akar wangi ditenun lalu dikreasikan menjadi bagian dari fashion atau interior,” terang Wawan.
HelarFest menjadi unik karena memuat festival-festival kecil yang semua mengusung kreativitas. Jadilah festival dengan rentang waktu dua bulan.
”Kami inginnya bisa setahun penuh festival terus,” seloroh Wawan, penasihat Bandung Creative City Forum (BCCF).
Dimulai dari ngobrol di markas lembaga komunitas Common Room di Jalan Kyai Gede Utama, muncullah gagasan membentuk festival untuk menampung potensi dan energi kreatif anak muda Bandung.
Ketua BCCF Ridwan Kamil bersama Direktur Common Room Gustaff Hariman Iskandar, Ketua Kreative Independent Clothing Kommunity Tubagus Fiki Chitara Satari, dan banyak anggota BCCF lantas menggelar HelarFest.
Helar bisa berarti sesuatu yang berderet-deret, bisa juga unjuk diri dalam pengertian positif. Festival ini menampilkan berbagai potensi ekonomi kreatif Bandung. ”Ini strategi jangka panjang pengembangan platform ekonomi kreatif berbasis komunitas,” ujar Gustaff, koordinator program HelarFest.
HelarFest juga menjadi indikator partisipasi masyarakat. ”BCCF punya 15 program pengembangan industri kreatif yang terbagi dalam tiga kategori: menjadikan masyarakat lebih kreatif yang antara lain ditandai partisipasi; membangkitkan nilai ekonomi dengan menumbuhkan entrepreneur; dan memperbaiki infrastruktur kota karena ruang publik dapt merangsang ide kreatif. Itu kami jabarkan dalam HelarFest,” papar Ridwan.
Kamis lalu, di Bandung diluncurkan Creative Network Forum yang merupakan jejaring para wiraswastawan bidang kreatif Asia. Selama sepekan lalu, dengan difasilitasi British Council, puluhan wiraswastawan Asia bidang kreatif datang ke Bandung dan Cirebon untuk belajar dari dua kota itu. Bulan November 2008, BCCF diundang ke Cebu, Filipina, untuk berbagi pengalaman pengembangan industri kreatif.
”Kalau tahun 1955 Konferensi Asia-Afrika mendeklarasikan semangat kebangkitan post-colonial, maka tahun 2008 Bandung menyimbolkan kebangkitan ekonomi baru,” kata Ridwan.
Komunitas sebagai ruh
Kegiatan HelarFest membukakan mata orang Bandung memang tempat orang kreatif berkumpul, khususnya anak muda. Mereka membentuk komunitas dan menumbuhkan energi kreatif lalu mengembangkannya menjadi bernilai ekonomi.
Menurut Ridwan, tumbuhnya komunitas karena pemerintah tidak memberi apa yang menjadi hak warga, seperti ruang publik yang memadai atau ruang untuk bermusik berbagia grup band.
Ridwan menyebut, BCCF telah memetakan 20 industri kreatif di kota itu dan berharap dapat terkumpul 30 industri kreatif.
Komunitas yang aktif, antara lain, musik, seni rupa, arsitektur, teater, komik, blogger (ada komunitas bernama Batagor-Bandung Kota Blogger), hacker, desain, programming, skateboard, dan sepeda motor.
”Mulai 1990-an komunitas, terutama musik dan distro, muncul dan berkembang. Enggak nyangka bisa jadi industri. Ngasih pemasukan ke PAD (pendapatan asli daerah). Kalau sudah begini, pemerintah datang ingin membantu,” papar Fiki.
Ryan Koesuma (23), mahasiswa Teknik Arsitektur Universitas Parahyangan, misalnya. Gara-gara sering nongkrong di Common Room teman jadi banyak. ”Dari sana, ada yang minta dibikinin web sambil ngajarin gratis. Lama-lama aku bisnis web beneran,” kata Ryan.
Dia konseptor situs jaringan yang saat ini berpenghasilan sampai Rp 16 juta sebulan. Mulanya, Ryan yang sejak SMP gemar utak-atik html ini membikin majalah musik online deathrockstar.info. Dia lalu juga iseng-iseng mendesain web dan membuat mailing list drs@yahoogroups.com yang memiliki 1.700 anggota, mulai musisi, produser musik, hingga label studio rekaman, menghubungkan komunitas musik seluruh Indonesia agar saling tahu kegiatan satu sama lain.
Arie Ardiansyah (26), lulusan Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, merancang VST Plugin (amplifier) yang ia beri nama Aradaz VST Plugin.
Terceburnya Arie di bidang ini bermulai dari kegemarannya bermain gitar dan band Disconnected. Sewaktu tengah ”pusing” menggarap skripsi yang tidak kunjung selesai, iseng-iseng dia belajar audio plugin, komponen perangkat lunak yang menjalankan fungsi pemrosesan sinyal digital. Jadilah empat jenis plugin selama dalam waktu dua tahun yang cocok untuk musik pop, blues, rock, hingga metal.
Plugin rancangannya sudah dipakai sekitar 15.000 pengguna di dunia. Dari empat plugin yang dirilis gratis melalui internet, satu jenis, yakni Aradaz Amp Crunch, dipakai gitaris Bulgaria, Dimitar Nalbantov, untuk albumnya.
Saat ini, Arie masih menggratiskan siapa pun yang mau memakai plugin rancangannya. Ia hanya memperoleh 100 dollar AS per bulan untuk iklan yang masuk ke blog-nya. Namun, ia berencana menjualnya. ”Aku ingin bikin industri VST Plugin yang mempekerjakan mahasiswa, jadi lebih komersial,” kata Arie.
Komunitas itu saling terhubung dan saling bantu. Dina, penulis dan pemrogram lagu, bersama grup bandnya, Homogenic, Oktober ini meluncurkan album yang direkam di Fast Forward Re- cord milik teman mereka sendiri, Helvi Sjarifuddin.
Komunitas Jendela Ide yang dipimpin perupa Andarmanik, karena tidak komersial, kemudian bekerja sama dengan Never Grow Up, distro yang memproduksi pakaian anak-anak, yang pemiliknya tak lain sahabat.
Orisinalitas
Satu syarat industri kreatif adalah keaslian karya yang memberi penghargaan pada kekayaan intelektual.
Arie contoh nyata bagaimana orisinalitas dikembangkan dan berpotensi ekonomis. Lewat Common Room, Arie menularkan kebiasaannya kepada anggota komunitas lain. ”Bisnis ini selain menjual orisinalitas, juga masih jarang peminatnya,” kata Arie.
Orisinalitas ini pula yang ditawarkan Dwinita Larasati, komikus yang doktor dari Delft Technical University, Belanda. Selain mengajar di Jurusan Desain Produk Institut Teknologi Bandung, ibu dua anak yang biasa dipanggil Tita ini menyisihkan waktu untuk menggambar.
Jenis komiknya graphic diary, semacam komik grafis yang bercerita mengenai perjalanan seseorang. Di situ, tokoh utama adalah Tita sendiri.
”Sejauh ini belum ada yang membuat komik graphic diary dengan karakter tokoh yang dikreasi sendiri dari banyak pengaruh, tidak berkiblat ke Jepang atau Amerika,” kata Tita.
Komik Tita, 40075 km Comics, diterbitkan di Belgia, berisi perjalanan hidup Tita. Angka 40075 adalah diameter bumi.
Ketika ada acara 24 Hour Comics Day di AS, dari 1.000-an peserta berbagai negara, Tita dengan komiknya Transition masuk sepuluh besar yang kesemuanya lalu diterbitkan dalam Highlight 2006.
Komik Tita yang lain, Curhat Tita, dijual dalam bentuk buku dan karakter serta adegan di dalamnya dijadikan pin, kantong telepon seluler, dan tas.
Begitu juga distro. Perancang pakaian bisa terus berkreasi lewat gambar dan narasi, seperti UNKL 347. Perusahaan yang terpilih menjadi industri paling inovatif di KickFest ini, misalnya, mendesain tiga sarung bantal bertuliskan ctrl, alt, dan del.
Kreativitas memang tidak mengenal krisis. Seperti ditegaskan Fiki, ”Kami menolak krisis energi kreatif.”
Sumber: Kompas, Minggu, 10 Agustus 2008
0 comments:
Post a Comment