Memberdayakan Wali Kota sebagai Perancang Kota
>> Wednesday, August 27, 2008
Robert AS
Bulan September 2007 Presiden Perancis Nicolas Sarkozy bertemu dengan lima belas arsitek top dunia untuk membicarakan visi Paris sebagai ibu kota Perancis.
Pertemuan ini menunjukkan adanya hubungan antara arsitektur kota dan politik yang coba dikembangkan Sarkozy. Sejak era Francois Mitterand sebagai Presiden Perancis, banyak sekali pembangunan di Paris dengan skala besar, seperti Grand Louvre oleh IM Pei atau Pompidou Centre oleh Richard Rogers. Setelah itu, Paris hampir tidak mempunyai pembangunan yang menunjukkan perkembangan arsitektur modern.
Hal tersebut sangat menarik bila dikaitkan dengan pemilihan kepala daerah di Indonesia, isu tentang desain kota hampir tidak terlihat dalam kampanye. Mungkin isu ini masih dianggap isu tersier, sementara isu ekonomi dan sosial lebih menarik dan lebih mendasar.
Bagi kota-kota jasa seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, dan Makassar, visi tentang kota sangat penting untuk memberi gambaran tentang arah pengembangan. Ini demi memenuhi informasi untuk investasi dan kaum urban penghuni kota.
Wali kota untuk desain kota
Kita boleh belajar dari Mayors Institute on City Design (MICD) yang dibentuk di Amerika Serikat pada 23 Oktober 1986. Institut ini beranggotakan para arsitek dan perancang kota yang memberi masukan dan saran kepada wali kota seluruh Amerika Serikat dalam membangun kota masing-masing.
Pembentukan MICD sebenarnya berawal dari pemikiran pendirinya, Wali Kota Charleston Joseph P Riley Jr, bahwa seorang wali kota sebenarnya adalah kepala perancang kotanya sendiri.
Hal ini sangat wajar mengingat besarnya peran wali kota dalam menentukan kebijakan perkembangan kotanya. Hal ini menunjukkan adanya hubungan antara desain kota dan keputusan politik.
Para wali kota lulusan MICD banyak mengungkapkan bagaimana mereka dapat menghindari kesalahan dalam pembangunan kota setelah mendapat berbagai masukan dalam setiap kegiatan institut ini.
Pembangunan yang selama ini mereka kenal adalah pengembangan properti yang hanya berbasiskan ekonomi semata. Setelah berdiskusi dalam institut ini, mereka mendapat masukan dari semua aspek, termasuk desain kota yang akan mewadahi keragaman aktivitas kaum urban di kota.
Dalam setiap kegiatan dibahas isu-isu seperti pembangunan kembali kawasan yang berbatasan dengan perairan (waterfront), revitalisasi pusat kota, perencanaan transportasi, dan desain bangunan publik sesuai realitas di kota masing-masing.
Sampai saat ini, sekitar 700 wali kota telah mengikuti program MICD dan mereka telah menghasilkan visi pembangunan kota yang mereka pimpin.
Salah satu perancang kota yang terlibat dalam MICD adalah Elizabeth Plater, prinsipal konsultan perencanaan kota Duanny-Plater-Zyberk (DPZ). Dia telah menyusun beberapa pedoman dalam perencanaan dan perancangan kawasan kota baru di Amerika Serikat, sekaligus pendiri Congress for New Urbanism.
Salah satu contoh keberhasilan program MICD adalah Kota Charleston, South Carolina, yang menjadi preseden bagaimana kota dapat dirancang dan ditata dengan baik oleh wali kotanya sendiri, yakni Joseph Riley.
Riley adalah wali kota terlama dan tersukses dalam memimpin Charleston sampai saat ini. Untuk menghormati jasa wali kota tersebut, warga Charleston akhirnya mendedikasikan namanya menjadi stadion bisbol setempat dengan nama Joseph P Riley, Jr Park yang menjadi kebanggaan warga.
Wali kota Indonesia
Pembentukan institusi wali kota untuk perancangan kota yang baik dalam konteks semua provinsi di Indonesia dalam masa ini mungkin sulit dilakukan, tetapi sebagai proyek percontohan sangat masuk di akal jika lima kota terbesar di Indonesia mulai memikirkan hal tersebut.
Jika kota seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, atau Makassar mempunyai visi untuk perancangan kotanya 25-30 tahun mendatang, maka kelima kota tersebut melalui prinsip perancangan kota yang baik dapat menghindari kesalahan akibat pembangunan kota yang tidak terencana (secara berkesinambungan).
Kelima kota itu dapat didampingi langsung oleh tim perancang kota dan tim ekonomi yang dapat memberi arahan dan strategi dalam pengembangan kota. Proses pendampingan juga dapat dilakukan melalui institusi akademik, konsultan perancangan kota, atau melalui arsitek lokal dengan melalui riset terlebih dahulu. Mereka mengembangkan jaringan kerja yang aktif untuk membuka wawasan dan bertukar pikiran dalam perencanaan dan perancangan kota yang baik. Dengan demikian, bukan mustahil wali kota se-Indonesia dapat berperan sebagai perancang kotanya masing-masing.
Simbiosis antara perancangan kota dan kepentingan politik demi kepentingan publik akan menghasilkan perkembangan kota yang baik secara manajerial maupun fisik.
Robert AS Arsitek, Perancang Kota
Sumber: Kompas, Rabu, 27 Agustus 2008
0 comments:
Post a Comment