Angklung Urang Baduy
>> Monday, August 11, 2008
Baru-baru ini terbetik berita bahwa Malaysia tengah bersiap mengklaim dan mematenkan musik angklung sebagai miliknya. Berita tersebut sungguh mengagetkan beberapa kalangan urang Sunda, seperti Direktur Saung Udjo Taufik Udjo, mengingat musik angklung dianggap milik urang Sunda.
Taufik memberi tanggapan kritis terhadap rencana negeri jiran tersebut. Dia antara lain mendesak agar Pemerintah Indonesia lebih giat mempromosikan angklung Sunda, terutama dalam promosi parawisata. Promosi tersebut jangan sampai kalah dari negara lain, seperti Malaysia dan Korea Selatan, yang lebih giat menampilkan orkestra ataupun festival angklung.
Memang, kenyataannya, kini masyarakat lokal masih jarang mengkaji, mendokumentasikan, dan mempromosikan berbagai pengetahuan mengenai angklung, kesenian angklung, serta kaitannya dengan lingkungan hidup urang Sunda. Kendati demikian, suatu hal yang menggembirakan, dewasa ini ada upaya untuk mempromosikan dan menimbulkan kepedulian urang Sunda terhadap angklung.
Universitas Padjadjaran (Unpad) dalam rangka memperingati dies natalisnya ke-50 antara lain mengadakan pementasan kolosal angklung yang dimainkan 10.000 pemain. Selain itu, program Unpad ke depan ialah membangun kebun bambu seluas 50 hektar di Jatinangor, yang akan ditanami ratusan jenis bambu. Salah satu jenisnya adalah awi hideung yang dapat dimanfaatkan untuk pembuatan angklung.
Taufik memberi tanggapan kritis terhadap rencana negeri jiran tersebut. Dia antara lain mendesak agar Pemerintah Indonesia lebih giat mempromosikan angklung Sunda, terutama dalam promosi parawisata. Promosi tersebut jangan sampai kalah dari negara lain, seperti Malaysia dan Korea Selatan, yang lebih giat menampilkan orkestra ataupun festival angklung.
Memang, kenyataannya, kini masyarakat lokal masih jarang mengkaji, mendokumentasikan, dan mempromosikan berbagai pengetahuan mengenai angklung, kesenian angklung, serta kaitannya dengan lingkungan hidup urang Sunda. Kendati demikian, suatu hal yang menggembirakan, dewasa ini ada upaya untuk mempromosikan dan menimbulkan kepedulian urang Sunda terhadap angklung.
Universitas Padjadjaran (Unpad) dalam rangka memperingati dies natalisnya ke-50 antara lain mengadakan pementasan kolosal angklung yang dimainkan 10.000 pemain. Selain itu, program Unpad ke depan ialah membangun kebun bambu seluas 50 hektar di Jatinangor, yang akan ditanami ratusan jenis bambu. Salah satu jenisnya adalah awi hideung yang dapat dimanfaatkan untuk pembuatan angklung.
Angklung buhun
Berdasarkan sejarah, pada masa silam musik angklung bagi urang Sunda tak terpisahkan dari kebiasaan mereka dalam berladang (ngahuma). Misalnya, hingga kini sisa-sisa kebiasaan tersebut masih ditemukan pada masyarakat Baduy, Banten selatan. Urang Baduy sejak masa pra-Islam telah akrab dengan musik angklung (lihat van Zanten, 1995 dan Iskandar, 1998).
Mengapa musik angklung? Hal itu terkait erat dengan kebiasaan Urang Baduy pada upacara ngaseuk pare huma yang biasanya menyertakan pementasan musik angklung. Kebiasaan itu tidak pernah luntur, tetapi tetap dipertahankan hingga kini.
Selain untuk upacara adat, pementasan angklung juga dipadukan untuk hiburan kesenian. Jadi, Urang Baduy dapat membedakan pementasan angklung untuk tujuan sakral bagi upacara adat dan untuk hiburan masyarakat.
Instrumen angklung buhun Baduy sangat khas, terdiri dari sembilan angklung dan tiga dogdog atau beduk. Instrumen angklung terdiri dari ukuran besar hingga kecil, yaitu indung, ringkung, dongdong, gunjing, engklok, indung leutik, tarolok, roel 1, dan roel 2, serta ditambah 3 dogdog, talingting, ketuk, dan bedug. Pada setiap angklung, ujung bambu penahannya dipasang daun pelah sebanyak 7-9 helai sebagai syarat, yang diikatkan pada tiap kepala angklung. Jadi, instrumen angklung Baduy sangat khas, berbeda dengan jenis angklung lainnya.
Pementasan angklung
Bagi urang Baduy, pementasan angklung di desanya tidak dapat dilakukan sembarang waktu. Namun, setiap tahun, waktunya khusus pada bulan Kapitu hingga Kasalapan dalam kalender urang Baduy (Iskandar, 1998). Pada saat itu urang Baduy biasanya sedang ngaseuk pare huma, berturut-turut ngaseuk huma serang (ladang sakral) di Baduy Dalam, huma puun (ladang pimpinan adat) di Baduy Dalam, dan huma dangka/huma tauladan (ladang Jaro Dangka) di daerah Dangka/Baduy Luar.
Mengapa harus disertai pentas musik angklung? Hal ini berkaitan erat dengan kepercayaan urang Baduy bahwa ngaseuk huma dianggap mengawinkan (ngareremokeun) dewi padi, Nyi Pohaci, dengan pertiwi (tanah). Oleh karena itu, untuk menjamin hasil padi yang memuaskan, Nyi Pohaci harus dihibur dengan pementasan musik angklung.
Pementasan biasanya dilakukan sehari semalam. Acara pada malam hari lebih bersifat sakral. Benih padi di boboko besar dikeluarkan dari rumah tetua adat, dan disimpan di atas tikar di ruang terbuka depan rumah. Lantas, tetua adat membakar kemenyan dan memberikan jampi-jampi di depan benih padi. Sementara itu, para pemain angklung-semuanya pria dengan pakaian adat-melakukan pementasan angklung.
Mereka bermain musik sambil berjalan beriringan, berputar-putar searah jarum jam mengelilingi benih padi, sambil menyanyikan lagu Marengo atau mengawinkan Nyi Pohaci dengan pertiwi. Permainan angklung bisanya dilakukan oleh dua grup. Mereka bermain angklung dan masing-masing pimpinan grup bernyanyi silih berganti.
Lewat tengah malam, permainan angklung berhenti sesaat dan benih padi dimasukkan lagi ke dalam rumah. Pertunjukan angklung diteruskan lagi dengan irama yang lebih cepat (ngagubrugkeun). Pada acara lanjutannya, pertunjukan angklung lebih bernuansa hiburan. Mereka bermain angklung sambil berkeliling melawan arah jarum jam. Beberapa lagu yang dipilih terutama bernuansa sisindiran penuh hiburan, seperti Ceuk Arileu dan Ayun Ambing. Selain itu, biasanya ada juga selingan tarian dan adu bahu antara dua pemain angklung.
Pertunjukan angklung itu dapat berlangsung hingga menjelang subuh keesokan harinya. Lantas, setelah istirahat sesaat, kira-kira jam 06.00, para pemain angklung beserta rombongan yang akan menanam padi pergi menuju huma. Jumlahnya dapat mencapai ratusan orang, terdiri dari orang dewasa, anak-anak, laki-laki dan perempuan.
Sesampainya di huma, tetua adat menyimpan benih padi di tengah-tengah petak huma yang disakralkan (pungpuhunan). Tetua adat memulai upacara dengan membakar kemenyan dan memberi jampi-jampi. Sementara itu, para pemain angklung memainkan angklungnya sambil mengelilingi benih padi searah jarum jam. Usai pemberian jampi-jampi oleh tetua adat, pertunjukan angklung dihentikan.
Selanjutnya, semua orang mulai menanam padi. Para pria berjalan di depan menugal tanah (ngaseuk), sedangkan para wanita menyimpan benih padi di lubang-lubang yang telah dibuat kaum pria (muuhan). Beberapa puluh menit saja, tanam padi di ladang seluas 0,5 hingga 2 hektar usai dilaksanakan. Biasanya acara dilanjutkan dengan makan bersama bagi peserta tanam padi sambil dihibur dengan pementasan angklung dan lagu-lagu sisindiran.
Urang Baduy tidak pernah peduli tentang klaim musik angklung oleh pihak lain. Baginya, yang penting dapat melanjutkan ngahuma sambil mementaskan musik angklung secara berkelanjutan. Sebab, hal itu merupakan kewajiban agama mereka, Sunda Wiwitan, sekaligus identitas utama kebudayaan Baduy.
JOHAN ISKANDAR Peneliti pada PPSDAL Lemlit Unpad
Sumber: Kompas, Sabtu, 08 September 2007
0 comments:
Post a Comment