Memberdayakan Wali Kota sebagai Perancang Kota

>> Wednesday, August 27, 2008

Robert AS
Bulan September 2007 Presiden Perancis Nicolas Sarkozy bertemu dengan lima belas arsitek top dunia untuk membicarakan visi Paris sebagai ibu kota Perancis.
Pertemuan ini menunjukkan adanya hubungan antara arsitektur kota dan politik yang coba dikembangkan Sarkozy. Sejak era Francois Mitterand sebagai Presiden Perancis, banyak sekali pembangunan di Paris dengan skala besar, seperti Grand Louvre oleh IM Pei atau Pompidou Centre oleh Richard Rogers. Setelah itu, Paris hampir tidak mempunyai pembangunan yang menunjukkan perkembangan arsitektur modern.
Hal tersebut sangat menarik bila dikaitkan dengan pemilihan kepala daerah di Indonesia, isu tentang desain kota hampir tidak terlihat dalam kampanye. Mungkin isu ini masih dianggap isu tersier, sementara isu ekonomi dan sosial lebih menarik dan lebih mendasar.
Bagi kota-kota jasa seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, dan Makassar, visi tentang kota sangat penting untuk memberi gambaran tentang arah pengembangan. Ini demi memenuhi informasi untuk investasi dan kaum urban penghuni kota.
Wali kota untuk desain kota
Kita boleh belajar dari Mayors Institute on City Design (MICD) yang dibentuk di Amerika Serikat pada 23 Oktober 1986. Institut ini beranggotakan para arsitek dan perancang kota yang memberi masukan dan saran kepada wali kota seluruh Amerika Serikat dalam membangun kota masing-masing.
Pembentukan MICD sebenarnya berawal dari pemikiran pendirinya, Wali Kota Charleston Joseph P Riley Jr, bahwa seorang wali kota sebenarnya adalah kepala perancang kotanya sendiri.
Hal ini sangat wajar mengingat besarnya peran wali kota dalam menentukan kebijakan perkembangan kotanya. Hal ini menunjukkan adanya hubungan antara desain kota dan keputusan politik.
Para wali kota lulusan MICD banyak mengungkapkan bagaimana mereka dapat menghindari kesalahan dalam pembangunan kota setelah mendapat berbagai masukan dalam setiap kegiatan institut ini.
Pembangunan yang selama ini mereka kenal adalah pengembangan properti yang hanya berbasiskan ekonomi semata. Setelah berdiskusi dalam institut ini, mereka mendapat masukan dari semua aspek, termasuk desain kota yang akan mewadahi keragaman aktivitas kaum urban di kota.
Dalam setiap kegiatan dibahas isu-isu seperti pembangunan kembali kawasan yang berbatasan dengan perairan (waterfront), revitalisasi pusat kota, perencanaan transportasi, dan desain bangunan publik sesuai realitas di kota masing-masing.
Sampai saat ini, sekitar 700 wali kota telah mengikuti program MICD dan mereka telah menghasilkan visi pembangunan kota yang mereka pimpin.
Salah satu perancang kota yang terlibat dalam MICD adalah Elizabeth Plater, prinsipal konsultan perencanaan kota Duanny-Plater-Zyberk (DPZ). Dia telah menyusun beberapa pedoman dalam perencanaan dan perancangan kawasan kota baru di Amerika Serikat, sekaligus pendiri Congress for New Urbanism.
Salah satu contoh keberhasilan program MICD adalah Kota Charleston, South Carolina, yang menjadi preseden bagaimana kota dapat dirancang dan ditata dengan baik oleh wali kotanya sendiri, yakni Joseph Riley.
Riley adalah wali kota terlama dan tersukses dalam memimpin Charleston sampai saat ini. Untuk menghormati jasa wali kota tersebut, warga Charleston akhirnya mendedikasikan namanya menjadi stadion bisbol setempat dengan nama Joseph P Riley, Jr Park yang menjadi kebanggaan warga.
Wali kota Indonesia
Pembentukan institusi wali kota untuk perancangan kota yang baik dalam konteks semua provinsi di Indonesia dalam masa ini mungkin sulit dilakukan, tetapi sebagai proyek percontohan sangat masuk di akal jika lima kota terbesar di Indonesia mulai memikirkan hal tersebut.
Jika kota seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, atau Makassar mempunyai visi untuk perancangan kotanya 25-30 tahun mendatang, maka kelima kota tersebut melalui prinsip perancangan kota yang baik dapat menghindari kesalahan akibat pembangunan kota yang tidak terencana (secara berkesinambungan).
Kelima kota itu dapat didampingi langsung oleh tim perancang kota dan tim ekonomi yang dapat memberi arahan dan strategi dalam pengembangan kota. Proses pendampingan juga dapat dilakukan melalui institusi akademik, konsultan perancangan kota, atau melalui arsitek lokal dengan melalui riset terlebih dahulu. Mereka mengembangkan jaringan kerja yang aktif untuk membuka wawasan dan bertukar pikiran dalam perencanaan dan perancangan kota yang baik. Dengan demikian, bukan mustahil wali kota se-Indonesia dapat berperan sebagai perancang kotanya masing-masing.
Simbiosis antara perancangan kota dan kepentingan politik demi kepentingan publik akan menghasilkan perkembangan kota yang baik secara manajerial maupun fisik.

Robert AS Arsitek, Perancang Kota

Sumber: Kompas, Rabu, 27 Agustus 2008

Read more...

Kuliner Bandung yang Beragam

”Kalau di Bandung, makanan apa pun disikat soalnya enak-enak. Saya pernah membawa turis Jerman ke rumah makan Sunda. Tahu dan tempe tetap dimakan,” kata Ketua Asosiasi Perusahaan Perjalanan Indonesia Jawa Barat Herman Rukmanadi.
Berdasarkan pengalaman Herman, turis-turis asing tidak mengalami masalah bila disuguhi makanan khas Sunda, bahkan menggemarinya.
Kreativitas pelaku usaha makanan membuat keragaman santapan di Bandung memiliki daya tarik tinggi untuk dieksplorasi.
Begitu banyak jenisnya, makanan Bandung bisa dibagi dalam berbagai kategori. Berdasarkan jam buka penjual, misalnya, keunggulan kuliner Bandung tidak hanya dapat dinikmati saat siang, tetapi juga malam bahkan hingga dini hari.
Jika ditinjau dari masanya, tidak sedikit jenis makanan yang sudah dibuat sejak zaman kolonialisme dengan rasa tetap dipertahankan. Belum lagi, kalau dikelompokkan dalam hidangan utama atau sekadar makan sela.
Bagi mereka yang senang dengan kehidupan malam, tak perlu khawatir kelaparan. Terdapat restoran cepat saji yang buka 24 jam. Seandainya ingin mencicipi cita rasa lokal, bisa mencoba warung makan Ceu Mar yang buka hingga pagi hari.
Maria, pemilik warung, berjualan pukul 20.00-08.00. Menu warung di Jalan Cikapundung itu adalah nasi dan lauk-pauknya. Tak jauh dari sana, di Jalan Asia Afrika, ada bubur ayam PR.
Disebut bubur ayam PR karena gerobaknya terletak di depan kantor harian umum Pikiran Rakyat (PR). Di situ pembeli bisa sekaligus melihat hotel legendaris Savoy Homann Bidakara yang dibangun pada tahun 1871 yang berada di seberangnya.
Perkedel kentang yang banyak diminati pembeli dapat disantap di terminal angkutan kota Stasiun Bandung, Jalan Kebonjati. Di warung nasi M Unus itu, selain perkedel juga dijual nasi dan lauk-pauk lain pada pukul 22.00-03.00.
Khas Sunda
Lazimnya di kota mana pun yang memiliki kekhasan, hidangan yang banyak ditawarkan adalah masakan khas Sunda. Bermacam rumah makan Sunda tersebar di jalan-jalan besar hingga gang sempit.
Sawios adalah salah satu tempat makan di gang kecil sebelah Bandoengsche Melk Centrale (BMC), Jalan Aceh. Pemiliknya, Siti Aminah, sebelum menempati lokasi saat ini sudah berpindah tempat hingga delapan kali. Bahkan, dia pernah dikejar-kejar petugas ketertiban umum (tibum) ketika berjualan menggunakan gerobak. Membantu ibu dan berpindah tempat berjualan membuat Siti tak lulus sekolah dasar.
Meski demikian, kini dia bersyukur sudah memiliki bangunan berlantai dua dan lahan yang dia tempati sejak akhir tahun 2005. Kini, pelanggan yang datang ke sana saat makan siang harus antre, bahkan sering tidak kebagian tempat. Padahal jumlah kursi cukup banyak, sekitar 100 buah. Warung itu buka pukul 08.00-17.00 dan tutup setiap hari libur nasional dan Minggu.
Warung nasi khas Sunda lain, Ma’ Uneh yang terletak di Jalan Terasana, harus dicapai melalui jalan kecil di samping Rumah Sakit Melinda, Jalan Pajajaran. Meski demikian, pada saat makan siang suasana di sana sangat ramai dipadati pembeli. Warung itu buka pukul 07.00-16.00.
Sejak masa kolonial
Kelebihan kuliner Bandung yang tak kalah menarik adalah toko atau rumah makan yang sudah berdiri lama, bahkan sejak zaman penjajahan Belanda.
Toko Kue Bawean yang dulu bernama Sweetheart sudah dijalankan tiga generasi sejak tahun 1946. Produk andalan toko di Jalan Bawean tersebut adalah kue, bolu, dan roti. Sedangkan Rasa Bakery and Cafe di Jalan Tamblong, yang menjual es krim dan roti, sudah berdiri sejak tahun 1945.
Di Jalan Braga, terdapat rumah makan Sumber Hidangan dengan nuansa bangunan Belanda. Memasuki tempat itu, terlihat radio kuno berukuran besar di belakang meja kasir. Lantainya terdiri dari potongan ubin klasik. Dindingnya sebagian dibuat dari kayu dan pada beberapa bagian tembok semen, catnya yang sudah kusam dan berjamur menambah suasana zaman dulu.
Rumah makan yang sudah ada sejak tahun 1929 itu menyajikan hidangan seperti bistik sapi, nasi goreng, sate, bihun, dan mi. Meski tempat tersebut sudah berusia lama, harga makanannya relatif sangat terjangkau. Selain itu, rumah makan itu juga menjual kue-kue klasik.
Masih di jalan yang sama, Restoran Braga Permai sudah beroperasi setidaknya mulai tahun 1930-an dengan nama pada saat itu Maison Bogerijen. Sejak masa yang sama, Paberik Kopi Aroma di Jalan Banceuy yang buka pukul 08.00-16.00 sudah menjual produknya.
Pilihan lain adalah Restoran Queen di Jalan Dalemkaum yang sempat menjadi persinggahan tamu-tamu negara saat Konferensi Asia Afrika tahun 1955. Tempat itu sendiri dibuka tahun 1954. Mulai berjualan pada masa hampir bersamaan adalah Toko Roti Sidodadi di Jalan Otto Iskandar Dinata. Produknya antara lain roti gambang, kismis, dan roti tawar frans.
Jadi, Bandung memang tempatnya mencari keberagaman, termasuk aneka jenis makanan yang jadul (jaman dulu) sampai kreasi baru.

Sumber: Kompas, Rabu, 27 Agustus 2008

Read more...

Pagi Bubur Pelana, Sore Lotek.......

>> Tuesday, August 26, 2008

ORANG pergi ke Bandung biasanya untuk dua hal. Pertama, berburu busana di sejumlah gerai factory outlet (FO) yang bertebaran di setiap sudut Kota Bandung. Kedua, menikmati wisata kuliner dengan mencicipi berbagai jenis menu makanan khas yang tidak ditemukan di tempat lain. Pada praktiknya, dua jenis wisata tersebut, belanja sambil berburu makanan, bisa dijalani secara bersamaan.
Nah, soal berburu makanan, jika ingin mencicipi semua jenis makanan khas yang ada di Bandung, wisatawan tidak saja dituntut tahu peta dan alamat tiap outlet atau toko makanan. Tapi, juga harus tahu jam berapa sebaiknya "perburuan" itu dilakukan.

Bubur di pagi hari
Bandung di pagi hari biasanya diselimuti udara dingin dan membuat penghuninya gampang lapar. Ketika perut keroncongan di pagi hari, rasanya enak kalau makan sesuatu yang hangat. Pedas sedikit tak masalah, malah membangkitkan selera makan. Minum teh hangat akan menghilangkan rasa pedas itu. Bubur, merupakan salah satu pilihan tepat menu sarapan. Meski "tak terlalu berat" bubur mengenyangkan dan menghangatkan perut.
Di Bandung, tak sulit jika kita ingin makan bubur yang enak. Sebut saja bubur Pelana yang tersebar di lima lokasi, bubur Mang Oyo di Jln. Sulanjana, bubur H. Amin di Jln. Pajajaran, atau Pak Toto yang tak jauh dari pintu tol Buahbatu.
Kalau mau membanding-bandingkan rasanya, tak terlalu berbeda dan sangat bergantung nilai rasa seseorang. Keempat nya mempunyai kesamaan, bubur ayam yang boleh dilengkapi dengan jeroannya.
Perbedaan yang mencolok ada pada kekentalan bubur. Bubur Pelana yang juga ada di Jln. Pelana, Jln. Burangrang, Jln. Sukaleueur Kopo, Jln. Pungkur, dan Gg. Buah Jln. Peta, agak encer. "Bubur kan memang encer," kata Iwan Ridwan, salah seorang pengelola bubur Pelana.
Encernya bubur karena kaldu ayam yang digunakan tidak dimasak sampai habis. Bisa diduga, kaldu tersebut sangat terasa saat kita menyantap bubur. Satu lagi ciri khasnya, suwiran kulit ayam di dalamnya menambah gurih bubur. Kita tak perlu lagi membumbui bubur kecuali memberi sambal.
"Saya suka karena gurihnya dan ada kulit ayamnya," ujar Asep Nurjaman, mahasiswa Unisba yang menjadi pelanggan setia bubur Pelana.
Nah, jika Anda suka bubur yang lebih kental, akan lebih tepat jika memilih bubur Pak Toto yang terletak di seberang SPBU Buahbatu arah kiri selepas pintu tol Buahbatu dan bubur Jln. Pajajaran. Namun, jika ingin yang sangat kental, nyaris seperti tim cobalah bubur Mang Oyo. Bubur ini memang terkenal kental dan gurih. Saking kentalnya jika mangkok berisi bubur di balik, bubur tak akan jatuh. Berbeda dengan bubur Jln. Pelana, bubur Mang Oyo bisa dilengkapi dengan kacang kedelai goreng.
Di Bandung, untuk menyantap seporsi bubur yang isinya lengkap dengan daging ayam, ati ampela dan telur, Anda hanya perlu mengeluarkan uang berkisar Rp 7.000,00 hingga 15.000,00. Karena, penyuka bubur cukup banyak sebaiknya Anda mengujungi tukang bubur tidak lebih dari pukul 10.00 WIB. Bahkan, untuk bubur Jln. Pelana sering kali sudah habis pukul 8.00 WIB, terutama Minggu.
Jika ingin menyantap bubur di malam hari, Anda bisa mengunjugi bubur Pelana di Jln. Burangrang yang memang buka dua kali pagi dan malam. Selain itu, bubur H. Amin ke Jln. Pajajaran juga buka hingga malam hari, serta bubur Otong di Jln. Andir yang buka malam hari.

Lotek di siang hari
Sementara itu, jika Anda ingin makan siang di Kota Bandung, dapat dipilih di banyak tempat dengan pilihan menu yang beragam. Jika Anda ingin makan lengkap, dapat nongkrong di depan Masjid Istiqomah belakang Gedung Sate.
Di situ, ada gerobak dorong nasi timbel merah Ceu Eti. Di sini Anda dapat menikmati seporsi nasi timbel merah komplet, terdiri atas nasi timbel merah/putih, daging ayam goreng/pepes, ikan asin, tempe, tahu, ulukutek leunca, lalap, dan sambal. Menu pilihan lainnya, ikan mas goreng/pepes, atau semur jengkol.
Gerobak nasi timbel ini sudah nongkrong sejak pukul 8.00 pagi sampai pukul 16.00 WIB. Paling ramai dikunjungi pada waktu makan siang. Menu yang paling kahot, ulukutek leunca dan semur jengkol.
Nasi timbel juga dapat Anda cicipi di Jln. Mangga, Ciganea, dan berbagai rumah makan. Tapi, bila Anda ingin mencoba makan siang tanpa nasi, bisa pilih lotek, gado-gado, batagor, atau aneka sajian mi. Untuk lotek, tempat yang paling banyak dijugjug (dikunjungi) adalah lotek Kalipah Apo di Jln. Ciguriang sebelah King Shopping atau Lotek Jln. Macan.
Meskipun bahannya sama, lotek di berbagai tempat ini mempunyai ciri khas dan cita rasa yang berbeda. Lotek Jln. Macan, terkenal karena takaran bumbunya yang pas dan ulekannya yang kental. Wangi kencurnya sangat mengundang. Lokasinya juga mudah ditempuh, Anda bisa masuk dari Jln. Lodaya atau Jln. Buahbatu.
Lotek juga dapat dinikmati di Jln. Kalipah Apo, Jln. Moh. Ramdan dari arah Jln. Pungkur sebelah kiri, lotek di Kompleks Sumber Sari seberang BCA, Jln. Kelenteng, Jln. Mahmud, dan Jln. H. Akbar dekat Kartika Sari.

Sumber: Pikiran Rakyat, Sabtu, 07 Juni 2008.

Read more...

Malam Hari Nikmati Perkedel Bondon

>> Monday, August 25, 2008

BAGI penyuka makan di tengah malam, perkedel "bondon" menjadi salah satu alternatif pilihan dengan menu favorit perkedel yang dimasak menggunakan peralatan tradisional di kawasan Stasiun lama, Kota Bandung

Untuk yang memburu gado-gado, cobalah ke Jln. Raden Patah dekat Unpad. Makan gado-gado di tempat ini, dijamin kenyang! Kalau Anda pesan satu porsi saja, takarannya bisa untuk 2-3 orang. Kalau memang gado-gado ini ingin berkesan di lidah, kosongkan dulu perut Anda, baru pesan. Tapi, jika Anda sedang ingin kudapan yang garing dan pedas, datang ke Jln. Burangrang. Di situ ada warung Batagor Riri. Pesan 2-3 biji saja, Anda sudah tidak perlu mencari nasi lagi. Selain sedap, sama-sama mengenyangkan!
Kudapan berbahan tahu dicampur gilingan ikan ini, dapat Anda temui pula di Jln. Jln. Purnawarman (dekat pintu keluar tempat parkir Gramedia), Jln. Cibadak (depan toko buku Merauke), Simpang Dago, Jln. Bungsu, dan Jln. Pasirkaliki sebelum stopan Pajajaran. Yang ramai sih di Simpang Dago, maklum di situ kawasan mahasiswa. Tapi sayang, rada susah parkir!
Bagi penyuka sate, bisa dicicipi beragam jenis, mulai dari sate ayam Blora di Jln. Pasirkaliki, sate ayam Jln. Maulana Yusuf (seberang gereja), sate kambing Karjan Jln. Pasirkaliki, sate Hudori di seberang Stasiun Hall, atau sate kambing Jln. Balonggede.
Untuk kawasan Bandung selatan, Anda bisa mencoba sate Cilampeni yang kahot. (terkenal) Lokasinya bila dari arah Kopo-Soekarno Hatta menuju Soreang, berdekatan dengan lapangan Sulaeman. Sate Cilampeni terkenal karena bahan dasarnya kambing muda yang empuk.
Nah, apalagi? Jika Anda kebetulan sedang berada di Bandung pada siang hari dan saatnya makan siang, Anda bisa memilih tempat dengan menu pilihan yang beraneka ragam itu. Anda siap goyang lidah? Carilah tempatnya, paling cuma keluar uang Rp 25.000,00, sudah ditambah es teh.



Petis sayur Pa Haji
Bagi yang menyukai petis, bisa datang ke Jln. Puteri. Di sana, kita bisa menikmati petis sayur Pak Haji. Bagi yang sudah lama mengenalnya, biasa menyebut petis sayur Toko Hejo, karena letaknya di samping kanan Toko Hejo, toko kelontong yang semua catnya berwarna hejo (hijau).
"Sejak 1921, saat pertamakali kakek saya berdagang di sini, orang lebih mengenal dengan sebutan petis jalan Puteri karena lokasi mangkalnya di belokan jalan Puteri. Tapi, belakangan setelah almarhum kakek saya naik haji, orang mengenalnya dengan sebutan petis sayur Pa Haji, sampai sekarang," ujar Azhiem, generasi ketiga penerus "Petis Sayur Pa Haji".
Petis sayur yang memiliki kekhasan rasa bumbu petisnya yang berbeda dengan petis pada umumnya tersebut, dirintis Alm. H. Ali Sahali, sejak 1921. Kelebihan petis sayur Pa Haji, terletak pada bumbu petisnya. Umumnya petis sayur, untuk menambah rasa gurih diberi bumbu kacang maupun bumbu penyedap lainnya. "Kelezatan dari petis kami hanya pada bumbu petisnya saja, yang dipesan secara khusus," ujar Azhiem.
Bumbu petis yang kembali diolah dicampur air untuk kemudian disiramkan ke potongan lontong yang kemudian diberi toge rebus dan daun seledri. Kekhasan lainnya adalah kerupuk mi yang ditaburkan dan tahu yang digoreng matang.
Untuk harga, satu porsi standar petis sayur Pa Haji dihargai Rp 8.000,00, sementara yang spesial Rp 10.000,00. "Bahkan, kami menyediakan porsi dua dengan harga Rp 12.000, 00 karena banyak pengunjung yang sering merasa porsi biasa masih kurang," ujar Azhiem.
Petis sayur Pa Haji, sejak dulu hingga kini mulai buka sejak pukul 7.30 WIB hingga 16.00 WIB. "Tapi, biasanya jam 12 juga sudah habis, apalagi kalau Sabtu atau Minggu, bisa habis sebelum jam 12 siang," ujar Azhiem. Jadi, kalau tidak mau kehabisan, datang sebelum jam 12.00 WIB.



Perkedel bondon
Nah, untuk malam hari, bisa juga mencoba "perkedel bondon" yang kini menjadi primadona wisata kuliner Bandung. Letaknya di Jln. Kebonjati, masuk emplasemen stasiun lama Bandung. Disebut perkedel bondon, karena warungnya baru buka pukul 21.00 WIB, persis seperti para bondon (wanita nakal) yang biasa beroperasi malam hari.
Biasanya, warung perkedel bondon yang menawarkan menu standar terdiri dari lauk ayam, gepuk, tahu, dan tempe itu, akan "diserbu" pengunjung menjelang tengah malam. Jadi, jangan heran jika telat datang, Anda akan berada dalam satu antrean panjang. Untuk menikmati perkedel bondon yang dicocol dengan sambel terasi, pembeli tak perlu merogoh kocek terlalu dalam. Dijamin sangat murah.
Makan malam di Bandung juga identik dengan warung Ceu Mar, yang terletak di kawasan Cikapundung. Warung tersebut mulai beroperasi 20.00 WIB hingga subuh. Atau bisa juga mencicipi menu di warung Nasi Kalong di Jln. R.E. Martadinata (Riau). Tentu saja, masih banyak titik atau lokasi makan yang bisa dicoba, sambil hangout menikmati udara malam Parijs van Java.

Sumber: Pikiran Rakyat, Sabtu, 07 Juni 2008

Read more...

Bandung's Tourist Information Center in Sorry State

>> Wednesday, August 20, 2008

It was exactly 11:30 a.m. on Saturday when I found the white sign bearing the name of the Tourist Information Center in the northern part of the Grand Mosque on Jl. Asia Afrika in downtown Bandung.
Having found the sign, I started to look for an office behind it. Eventually, I saw a long wooden desk like those a receptionist usually uses, right behind the place where visitors to the mosque leave their footwear before entering the building. Well, right there, on the wall of the terrace of the building I read ""Tourist Information Center"", painted in red.
An elderly gentleman wearing a faded T-shirt and trousers made of a cambric-based batik cloth, seemed to be the person in charge of this non-partitioned room. With his back to the receptionist desk, the man, facing the wall, was talking on the telephone.
""Good afternoon, sir. May I bother you with a question?"" I said, trying to accustom myself to the condition of the information center. Shelves where there were neither brochures nor leaflets on tourism could be seen on his desk.
He glanced at me and, only by making a gesture with his right hand, he asked me to sit down in the chair with its faded upholstery. There were two chairs, apparently for visitors, but both also looked faded with rather damp upholstery. The leather part of the upholstery of the receptionist's chair was also torn in some part.
While I was still puzzled about what foreign tourists would think of this place when they came there for some information, I suddenly caught sight of a pile of objects behind the receptionist's desk. Of course, this pile was invisible from outside. At the very bottom of the pile I saw an unused single gas stove and beside it I could see brochures that were not neatly stacked.
It suddenly crossed my mind why this information center, supposedly the gateway to tourism in Bandung, or perhaps all of West Java, should not be located just in front of the official residence of Bandung mayor, Dada Rosada, i.e. in the large open pavilion-like veranda, which is about 300 meters to the south of the terrace of the mosque.
Five minutes went by but the elderly man was still busy talking on the telephone. Five minutes more and he became more absorbed in this ""activity"". It was after a full 15 minutes that he finished his telephone conversation and turned to me.
After being a little upset because I had been neglected, I could feel slightly comforted when the man, smiling, politely apologized to me for making me wait.
The man's name is Ajid Suryana, 40, the only person available at the Tourist Information Center. I learned that before me, four Belgian tourists came there for some information about how to get to Tangkuban Perahu, a crater in Lembang, North Bandung, which is popular among tourists.
""Well, this Tourist Information Center has been like this for a year now. Just part of the mosque building,"" said Ajid about the poor condition of the center. Without being asked, he gave me some brochures, a map of Bandung, a tourist brochure and a copy of the ""Yellow Pages"" for tourists. These items are freely distributed to every visitor here.
The condition of the Tourist Information Center, the only such center in Bandung, has been like this since March 2005 despite its strategic location in the Alun-Alun area of downtown Bandung. Ajid, who works at the tourism service of Bandung municipality administration on a contract basis, agreed that the place was not properly presentable as a tourist center that provides services to tourists, particularly foreign ones.
""As it is part of the mosque building, foreign tourists sometimes feel reluctant to visit us. Most of them are not Muslims,"" said Ajid, who has worked at this center since 1989.
Before being moved to its present location, this center was situated in the southern Alun-Alun and was quite presentable as a tourist center. Unfortunately, the Alun-alun, which is precisely in front of the Grand Mosque, is undergoing renovation but the process has been protracted. As a result, this center is yet to have its permanent and presentable place.
Ajid is the only official in charge of this tourist center. He can speak English and a little Dutch and Japanese.
Despite its limited facilities, the center's visitor book shows about 465 foreign tourists visited it between March 2005 and February 2006. These visitors, who came from, among other places, Belgium, France, Holland, Switzerland, Germany, Poland and even the Ivory Coast, came there either because they had lost their way or because they needed information about tourist destinations in Bandung.
""Very helpful. Good. Nice,"" are typical of the comments that some of the visitors have written about Ajid. Besides Tangkuban Perahu, other tourist destinations that foreign tourists usually need information about include Maribaya in Lembang, a hot spring in Garut and Pangandaran beach in Ciamis. Some tourists have also inquired about cheap transportation from Bandung to Bali.
Tourist Information Center was established in 1973 to support Bandung as a tourist city, he said. However, the tourism service seems to pay little attention to its well-being.
Yuli Tri Suwarni
Source: The Jakarta Post, Fri, 03/17/2006

Read more...

Imperialisme Baru dan Ketergantungan dalam Pembangunan Kepariwisataan Indonesia

>> Tuesday, August 19, 2008

Studi Kasus Pariwisata di Kota Bandung
Oleh: Dieny Ferbianty
Sekilas Mengenai Teori Ketergantungan
Teori ini berawal dari teori struktural, yang pada dasarnya menyetujui pendapat bahwa adanya ketergantungan satu negara atas negara lain, karena adanya kekurangan modal dan kurangnya tenaga-tenaga ahli pada negara tersebut. Adapun faktor penyebabnya adalah karena adanya proses imperialisme atau neo imperialisme yang menyedot surplus modal yang terjadi di negara-negara pinggiran ke negara-negara pusat. Teori ini juga menjelaskan bahwa imperialisme ada hubungannya dengan kapitalisme. Perkembangan yang wajar dari negara-negara pinggiran, yang seharusnya menuju pembangunan yang mandiri, terganggu akibat masuknya kekuatan ekonomi dan politik negara pusat. Ada dua pendapat mengenai teori ketergantungan ini. Teori dari Frank menyebutkan bahwa struktur ketergantungan yang ada di negara satelit tidak memungkinkan negara ini melakukan pembangunan. Sedangkan Dos Santos beranggapan bhawa hal tersebut memungkinkan, walaupun pembangunan yang terjadi merupakan bayangan dari negara pusat. Peter Evans dan Cardoso menguraikan bahwa pembanguan dan industrialisasi bisa saja terjadi, tetapi sangat peka terhadap gejolak yang muncul di negara pusat.

Teori ketergantungan dari John A Hobson. menjelaskan imperialisme dan kolonialisme melalui motivasi keuntungan ekonomi. Teori ini merupakan kelompok teori Gold, yang menjelaskan, bahwa terjadinya imperialisme karena adanya dorongan untuk mencari pasar dan investasi yang lebih menguntungkan. Ketika pasar dalam negeri telah jenuh atau pasar dalam negeri terbatas, maka mereka mencari pasar baru di Negara-negara lain. Menurut Vladimir Ilich Lenin, imperialisme merupakan

Read more...

Ada Bosscha di Kebun Teh

Oleh: Dwi Dwiayana

Mencari Bosscha tentu harus ke Lembang. Kok ke Malabar? Pertanyaan yang lumrah. Ilmuwan Belanda itu memang lebih lekat dengan Observatorium Bosscha, di Lembang, Bandung Utara. Banyak yang belum tahu, termasuk warga Bandung sendiri--di luar Lembang--Karel Albert Rudolf Bosscha mempunyai sejumlah jejak di tempat lain. Salah satunya, di Malabar, Kecamatan Pangalengan, Bandung Selatan. Di sekitar Gunung Malabar, ia mengawali pembuatan perkebunan teh pada 1896. Setelah Indonesia merdeka, areal tersebut dikelola oleh PTP Nusantara VIII. Pada Minggu, pekan lalu, Tempo News Room berkesempatan untuk menikmati hijaunya perkebunan teh Malabar. Itung-itung, menengok salah satu peninggalan Bosscha, yang lahir di St. Gravenhage, Belanda itu. Berada di ketinggian 1.550 meter di atas permukaan laut, kesejukan udaranya langsung terasa. Data resmi menyebut, suhu udara setempat berkisar 16-26 derajat Celcius. Tak sulit untuk mencapai lokasi yang jaraknya sekitar 45 kilometer dari Kota Bandung itu. Dengan kendaraan pribadi, ada dua rute yang bisa ditempuh: Bandung-Banjaran-Pangalengan-Malabar, atau Bandung-Ciparay-Lemburawi-Pacet-Cibeureum-Kertosaro-Santosa-Malabar. Tapi, kalau tak mau capek memegang stir mobil atau stang motor, bisa juga ditempuh dengan kendaraan umum. Dari Bandung, bisa naik bus Jurusan Pangalengan dari terminal Kebon Kelapa, atau naik minibus, lazim disebut Elf, dari terminal Tegallega. Sampai terminal Pangalengan, selain naik ojek, untuk ke lokasi bisa juga ditempuh dengan angkutan pedesaan jurusan perkebunan Malabar. Dari pintu masuk perkebunan, tujuan pertama dan paling dekat adalah cagar alam Malabar. Di areal seluas 8,3 hektar ini, bersemayam jasad Bosscha. Di atasnya dibangun makam berbentuk lingkaran dengan delapan pilar penyangga atap yang mirip atap Observatorium Bosscha. Diameter makam sekitar dua meter dengan tinggi pilar sekitar tiga meter. Makam ini terjaga baik dan ramai dikunjungi wisatawan, terutama pada akhir pekan I dan II setiap bulan. Pada pekan III dan IV alias bulan tua, pengunjung relatif sepi. "Untunglah, anak datang sekarang sehingga kita bisa ngobrol karena pengunjung sepi," kata Ohim, 77 tahun, penunggu makam. Suara encuing dan tonggeret menemani percakapan siang itu. Pensiunan pegawai perkebunan Malabar ini mengaku sudah menjaga makam selama tujuh tahun. Meski terhitung sudah berumur, tapi ingatannya tentang riwayat dan karya-karya Bosscha (yang didapat dari buku dan cerita turun-temurun) masih tokcer. Soal kematian Bosscha misalnya, ia menyebut ajal menjemput setelah Bosscha mendapat celaka saat mengontrol perkebunan dengan menaiki kuda putihnya. Akibat kecelakaan itu, kaki Bosscha patah, dan harus dirawat beberapa bulan. Selanjutnya, seperti tertulis di nisan, Bosscha meninggal pada 26 November 1928. Kalaupun jasadnya dimakamkan di situ, dan tidak dibawa pulang ke negara asalnya, lantaran Bosscha sudah berwasiat: bila mati, ia ingin dimakamkan di lokasi yang belum dipakai untuk perkebunan teh. Berdasar GB (Besluit van den Gouverneur-Generaal) tertanggal 7 Juli 1927, nomor 27 Staatsblad 99, lokasi itu sebelumnya telah ditetapkan sebagai cagar alam, dan diteruskan hingga kini. Di sini, selain menengok makam Bosscha, pengunjung juga bisa menikmati kekayaan cagar alam Malabar. Beragam pohon tinggi menjulang dan menciptakan keteduhan, seperti Saninten yang diameter batangnya sekitar satu meter. Selain itu, ada Puspa, Anggrit, Rasamala, Boros, Cerem. Tak hanya itu, pengunjung yang tertarik dengan dunia flora bisa menemukan tanaman dari golongan liana dan epiphyt yang tumbuh di pepohonan besar tersebut. Misalnya, Kiseureuh, Nanangkaan, Areuy Garut, Anggrek Vanda, dan Kadaka. Untuk faunanya, kalau beruntung, pengunjung bisa menjumpai bajing, kalong, burung Caladi, burung Uncal, burung Haur, burung Ekek, dan ular hijau. Lazimnya cagar alam, peringatan agar pengunjung tak mengusik keberadaan satwa tersebut dipancangkan. Salah satunya adalah larangan untuk menembak. Sembari menengok keragaman potensi biotik cagar alam Malabar, tak salah jika pandangan mata diarahkan ke sekeliling. Di kanan-kiri, dan depan-belakang, hijaunya perkebunan teh milik PT Nusantara VIII terhampar. Panorama makin indah dengan deretan gunung yang melingkupi wilayah tersebut, seperti Gunung Windu, Wayang, Geulis, Puntang, Pabeasan, dan Gunung Nini. Apalagi, di atas pegunungan, kabut tipis tampak menggelayut. Puas menengok cagar alam Malabar, pengunjung bisa menengok Wisma Malabar, yang jaraknya sekitar satu kilometer. Aslinya, rumah ini dibuat pada 1894 sebagai kantor administratur perkebunan Malabar, sekaligus rumah tinggal Bosscha. Juga, bisa datang ke Wisma Melati, yang aslinya dibuat pada 1898, sebagai tempat tinggal wakil administratur perkebunan Malabar. Jika ingin menggenapi pengetahuan dengan kondisi rumah tinggal pemetik teh saat itu, wisatawan bisa menengok rumah yang masih tampak otentik dengan rumah asli Sunda tempo doeloe. Rumah kayu dengan bilik bambu tersebut sengaja dilestarikan karena bernilai sejarah. Menurut catatan yang ada, "Rumah itu dibuat pada 1890," kata Syarief Hidayat, Kepala Urusan Humas dan Agro Wisata PTP Nusantara VIII. Mereka yang gemar berjalan santai di sela-sela perkebunan teh, silakan! Salah satu tempat yang menarik adalah Gunung Nini, yang berada di belakang Wisma Malabar. Lokasi ini lazim dijadikan sebagai tujuan tiwok (tea walk). Menurut Aman, 59 tahun, pelayan Wisma Malabar, untuk menuju ke puncak Gunung Nini dibutuhkan waktu sekitar 1,5 jam. Yang menarik, di puncaknya ada bangunan saung atau pesanggrahan (watching tower). Selain menikmati hamparan perkebunan teh, dari bangunan ini, pengunjung juga bisa melihat hamparan air danau Cileunca. Keindahan panorama alam seperti itu pula yang dulu biasa dilakukan Bosscha semasa hidupnya. Belum puas menikmati hamparan teh di Malabar, bisa melangkah ke perkebunan Purbasari, sekitar sembilan kilometer dari Wisma Malabar. Di sini, tepatnya di desa Wanasuka, Pangalengan, orang bisa menengok "museum hidup" peninggalan seorang Belanda peranakan Jerman, Franz Wilhelm Junghun, berupa perkebunan kina. Kini, jumlah pohon kina yang usianya sudah lebih 100 tahun dan dilestarikan itu tinggal seratusan saja. Kulitnya pun sudah tak lagi diambil untuk pembuatan obat. Maklum, untuk keperluan komersial pembuatan obat, PTP Nusantara VIII mempunyai lahan di sejumlah tempat, termasuk di kebun Kertamanah. Pohon kina yang pertama kali ditanam Junghun itu berada di areal seluas kira-kira 200 meter persegi. Dulu, pohon kinanya banyak, "Tapi, sekarang sudah banyak yang tua dan tumbang," kata Ade Komaruddin, 43 tahun, warga setempat. Di luar museum kina, lewat jalan yang berkelok-kelok, naik turun perbukitan teh, wisatawan juga bisa mampir dan menengok sejumlah tujuan. Misalnya, ke pabrik teh Malabar --yang dulu bernama pabrik Tanara (didirikan pada 1905), ke kebun bibit teh dengan pohon tehnya yang dibiarkan tumbuh hingga tujuh meter untuk diambil bijinya yang akan disemaikan, atau ke air terjun Cilaki dan pembangkit listriknya. Nah, kalau badan sudah capek setelah muter-muter seharian, tak ada salahnya mampir ke pemandian air panas Cibolang. Di sini, pengunjung bisa berendam sampai puas sembari menikmati hijaunya pepohonan Gunung Windu, tempat mata air panas berasal. Kalau masih ada waktu dan kesempatan, sebelum kembali ke Bandung, tak ada salahnya mampir ke Situ Cileunca untuk berperahu. Jarak dari Cibolang yang berair panas ke Cileunca yang berair dingin sekitar 15 kilometer, dan melewati keramaian kota Pangalengan. Dengan begitu, tak masalah jika wisatawan terlebih dulu membeli oleh-oleh yang berbahan serba dari susu khas Pangalengan, seperti karamel, krupuk, dodol, dan kembang gula susu.

Sumber: Koran Tempo, 13 Juni 2004

Read more...

Pasar Serba Ada di Gerbang Negara

Oleh: Soelastri soekirno

Kiranya tak salah menyebut Bandara Internasional Soekarno-Hatta sebagai ”pasar serba ada”. Di bandara itu ada penyemir sepatu, ojek, taksi gelap, pedagang asongan, resto terkenal, dan porter liar. Sungguh jauh dari bayangan wajah negara yang mestinya tertata, aman, dan nyaman.
Keluhan soal kondisi dan pelayanan di bandara yang lebih banyak tampak ”amburadul” daripada tertata sering terlihat. Namun, upaya pembenahan belum juga maksimal.
Hingga Rabu (13/8), kondisi bandara tetap belum sesuai harapan pengguna. Rasa tak aman dan tak nyaman masih menggelayuti perasaan.
Lewatlah di area publik dalam bandara niscaya bau dan asap rokok akan langsung menyergap hidung. Begitu duduk di bangku panjang di Terminal I dan II atau memesan makanan di salah satu resto dalam area bandara, dalam hitungan menit, pedagang asongan dan penjual jasa menghampiri menawarkan dagangan dan jasa mereka.
”Semir, semir sepatu,” kata bocah lelaki bersandal jepit bersahut-sahutan. Baru semenit menolak tukang semir, datang penjual parfum dan pulpen menawarkan dagangan. ”Parfum ini sama dengan yang dijual pramugari. Kalau di mal harganya sampai Rp 300.000, di sini saya jual Rp 150.000 saja,” kata Sri, penjual parfum, merayu calon pembeli.
Keluar dari resto, giliran penarik ojek dan sopir taksi gelap yang kini dilegalkan menjadi penyewaan mobil dan biro wisata menawarkan jasa untuk mengantarkan ke mana saja.
Untuk meyakinkan calon penumpang, Nafis, penarik ojek warga Bojong Renged (kampung di belakang bandara), bercerita, ia sering mengantar penumpang sampai wilayah Kota di Jakarta Barat. ”Kemarin saya antar seorang ibu yang ketinggalan pesawat. Rumahnya di Pamulang- Kabupaten Tangerang. Ongkosnya cuma Rp 70.000,” ujar Roni, pengojek, Selasa malam. Ia mangkal di Terminal II, penerbangan internasional, Garuda dan Merpati.
Kondisi lebih seru terjadi di area parkir. Kaum perempuan yang menjadi pedagang asongan makanan menggelar dagangan di banyak tempat. Ada yang di antara mobil, ada pula yang memilih berdagang di pangkalan ojek. Selain menjual teh, kopi panas, aneka kue, dan telur, pedagang juga menyediakan bermacam lauk dan nasi putih.
Harga satu porsi nasi putih dengan sayur dan salah satu lauk (bisa oseng kerang atau balado teri) plus sambal hanya Rp 7.000. Jika ditambah minum sebotol air mineral bermerek terkenal, pembeli cukup membayar Rp 9.500 sekali makan. Mereka tetap lahap makan walaupun aroma tak sedap tercium akibat banyak orang yang suka buang air kecil di sembarang tempat.
Harga makanan itu murah dibandingkan makan dengan menu yang hampir sama di warung makan resmi di area parkir atau terminal bandara yang harganya bisa tiga kali lipat.
Menurut Idah, penjual asongan makanan di area parkir bandara, berjumlah lebih dari 100 orang, termasuk dirinya. Mereka umumnya warga di balik pagar Bandara Soekarno-Hatta.
Bagi para perempuan, seperti Idah yang tak tamat SMP, berjualan makanan di bandara sangat membantu ekonomi keluarga. ”Sebagian yang jualan gini dulu korban gusuran, tetapi ada juga pendatang dari Sumatera,” kata Dedeh, pedagang makanan yang asli Tangerang.
Bermodal termos, tas berisi bungkusan nasi, lauk, telur, sambal, dan air mineral, para perempuan itu menyusuri area parkir bandara untuk mengais rezeki.
Beberapa orang di antara mereka mengaku mendapat penghasilan lebih dari Rp 100.000 per hari. ”Lumayan bisa bantu suami yang cuma ngojek. Kalau tidak begini, dari mana biaya sekolah anak,” kata Dedeh yang memiliki tiga anak.
Selain pedagang makanan, di balik ratusan mobil yang parkir, ada porter liar. Selasa malam, Kompas menyaksikan sebuah keluarga yang akan memasukkan koper dan tas ke mobilnya kaget saat tiga lelaki tiba-tiba muncul di belakang mobil dan membantu memasukkan empat koper dan tas mereka.
”Bos, bos,” kata seorang dari lelaki itu. Maksudnya ia meminta uang. Dengan mimik kesal, salah satu anggota keluarga itu memberi uang kepada para lelaki yang biasa disebut porter liar tersebut. Porter, tanpa kerja, yang tiba-tiba datang dan minta uang ini menjengkelkan pengguna bandara.
Tanggung jawab bersama
Manajer Humas PT Angkasa Pura II Trisno Heryadi mengakui adanya kekurangan sarana dan pelayanan di Bandara Soekarno-Hatta.
Akan tetapi, pihak badan usaha milik negara yang mengelola bandara tersebut menyatakan, hal itu sebagai tanggung jawab bersama. ”Maksudnya saya, mereka yang terkait dengan penggunaan bandara harus bersama- sama mewujudkan bandara yang nyaman dan aman,” kata Trisno pada Rabu.
Soal tumbuh suburnya ojek, taksi gelap, pedagang asongan bahkan pelanggaran oleh para perokok, ia berpendapat, hal seperti itu terjadi karena sikap dan tiadanya keinginan masyarakat untuk berubah menjadi baik.
Ia menambahkan, Angkasa Pura II juga tengah melakukan pembenahan dan pembangunan Terminal III.
Benar, mulai ada perbaikan total toilet di Terminal I (domestik) dan penambahan toilet, ruang ibadah di area parkir, tetapi kenyamanan pengguna juga berkurang oleh makin tersitanya ruang publik oleh penambahan kios makanan dan pakaian.
Sebagai bandara utama yang tiap tahun dikunjungi 34 juta penumpang dalam dan luar negeri, tak pantas dibiarkan dalam keadaan ”amburadul”.
Sumber: Kompas, Kamis, 14 Agustus 2008

Read more...

Pasar Serba Ada di Gerbang Negara

Oleh: Soelastri soekirno

Kiranya tak salah menyebut Bandara Internasional Soekarno-Hatta sebagai ”pasar serba ada”. Di bandara itu ada penyemir sepatu, ojek, taksi gelap, pedagang asongan, resto terkenal, dan porter liar. Sungguh jauh dari bayangan wajah negara yang mestinya tertata, aman, dan nyaman.
Keluhan soal kondisi dan pelayanan di bandara yang lebih banyak tampak ”amburadul” daripada tertata sering terlihat. Namun, upaya pembenahan belum juga maksimal.
Hingga Rabu (13/8), kondisi bandara tetap belum sesuai harapan pengguna. Rasa tak aman dan tak nyaman masih menggelayuti perasaan.
Lewatlah di area publik dalam bandara niscaya bau dan asap rokok akan langsung menyergap hidung. Begitu duduk di bangku panjang di Terminal I dan II atau memesan makanan di salah satu resto dalam area bandara, dalam hitungan menit, pedagang asongan dan penjual jasa menghampiri menawarkan dagangan dan jasa mereka.
”Semir, semir sepatu,” kata bocah lelaki bersandal jepit bersahut-sahutan. Baru semenit menolak tukang semir, datang penjual parfum dan pulpen menawarkan dagangan. ”Parfum ini sama dengan yang dijual pramugari. Kalau di mal harganya sampai Rp 300.000, di sini saya jual Rp 150.000 saja,” kata Sri, penjual parfum, merayu calon pembeli.
Keluar dari resto, giliran penarik ojek dan sopir taksi gelap yang kini dilegalkan menjadi penyewaan mobil dan biro wisata menawarkan jasa untuk mengantarkan ke mana saja.
Untuk meyakinkan calon penumpang, Nafis, penarik ojek warga Bojong Renged (kampung di belakang bandara), bercerita, ia sering mengantar penumpang sampai wilayah Kota di Jakarta Barat. ”Kemarin saya antar seorang ibu yang ketinggalan pesawat. Rumahnya di Pamulang- Kabupaten Tangerang. Ongkosnya cuma Rp 70.000,” ujar Roni, pengojek, Selasa malam. Ia mangkal di Terminal II, penerbangan internasional, Garuda dan Merpati.
Kondisi lebih seru terjadi di area parkir. Kaum perempuan yang menjadi pedagang asongan makanan menggelar dagangan di banyak tempat. Ada yang di antara mobil, ada pula yang memilih berdagang di pangkalan ojek. Selain menjual teh, kopi panas, aneka kue, dan telur, pedagang juga menyediakan bermacam lauk dan nasi putih.
Harga satu porsi nasi putih dengan sayur dan salah satu lauk (bisa oseng kerang atau balado teri) plus sambal hanya Rp 7.000. Jika ditambah minum sebotol air mineral bermerek terkenal, pembeli cukup membayar Rp 9.500 sekali makan. Mereka tetap lahap makan walaupun aroma tak sedap tercium akibat banyak orang yang suka buang air kecil di sembarang tempat.
Harga makanan itu murah dibandingkan makan dengan menu yang hampir sama di warung makan resmi di area parkir atau terminal bandara yang harganya bisa tiga kali lipat.
Menurut Idah, penjual asongan makanan di area parkir bandara, berjumlah lebih dari 100 orang, termasuk dirinya. Mereka umumnya warga di balik pagar Bandara Soekarno-Hatta.
Bagi para perempuan, seperti Idah yang tak tamat SMP, berjualan makanan di bandara sangat membantu ekonomi keluarga. ”Sebagian yang jualan gini dulu korban gusuran, tetapi ada juga pendatang dari Sumatera,” kata Dedeh, pedagang makanan yang asli Tangerang.
Bermodal termos, tas berisi bungkusan nasi, lauk, telur, sambal, dan air mineral, para perempuan itu menyusuri area parkir bandara untuk mengais rezeki.
Beberapa orang di antara mereka mengaku mendapat penghasilan lebih dari Rp 100.000 per hari. ”Lumayan bisa bantu suami yang cuma ngojek. Kalau tidak begini, dari mana biaya sekolah anak,” kata Dedeh yang memiliki tiga anak.
Selain pedagang makanan, di balik ratusan mobil yang parkir, ada porter liar. Selasa malam, Kompas menyaksikan sebuah keluarga yang akan memasukkan koper dan tas ke mobilnya kaget saat tiga lelaki tiba-tiba muncul di belakang mobil dan membantu memasukkan empat koper dan tas mereka.
”Bos, bos,” kata seorang dari lelaki itu. Maksudnya ia meminta uang. Dengan mimik kesal, salah satu anggota keluarga itu memberi uang kepada para lelaki yang biasa disebut porter liar tersebut. Porter, tanpa kerja, yang tiba-tiba datang dan minta uang ini menjengkelkan pengguna bandara.
Tanggung jawab bersama
Manajer Humas PT Angkasa Pura II Trisno Heryadi mengakui adanya kekurangan sarana dan pelayanan di Bandara Soekarno-Hatta.
Akan tetapi, pihak badan usaha milik negara yang mengelola bandara tersebut menyatakan, hal itu sebagai tanggung jawab bersama. ”Maksudnya saya, mereka yang terkait dengan penggunaan bandara harus bersama- sama mewujudkan bandara yang nyaman dan aman,” kata Trisno pada Rabu.
Soal tumbuh suburnya ojek, taksi gelap, pedagang asongan bahkan pelanggaran oleh para perokok, ia berpendapat, hal seperti itu terjadi karena sikap dan tiadanya keinginan masyarakat untuk berubah menjadi baik.
Ia menambahkan, Angkasa Pura II juga tengah melakukan pembenahan dan pembangunan Terminal III.
Benar, mulai ada perbaikan total toilet di Terminal I (domestik) dan penambahan toilet, ruang ibadah di area parkir, tetapi kenyamanan pengguna juga berkurang oleh makin tersitanya ruang publik oleh penambahan kios makanan dan pakaian.
Sebagai bandara utama yang tiap tahun dikunjungi 34 juta penumpang dalam dan luar negeri, tak pantas dibiarkan dalam keadaan ”amburadul”.
Sumber: Kompas, Kamis, 14 Agustus 2008

Read more...

100 Tahun Roosseno

Wiratman Wangsadinata
Tanggal 2 Agustus 2008 merupakan momentum 100 tahun kelahiran Prof Dr (HC) Ir Roosseno. Predikat Bapak Beton Indonesia tepat diberikan kepada Roosseno.
Sejak bekerja di Department van Verkeer en Waterstaat tahun 1935, Roosseno berhasil meyakinkan atasannya untuk mengutamakan penggunaan beton dalam pembangunan jembatan di Indonesia. Alasannya, bahan-bahan dasar beton, seperti pasir, batu pecah, semen, dan kayu perancah, dapat dibeli di Indonesia sehingga biaya pengadaannya akan masuk kantong dan menyejahterakan rakyat.
Pada masa pendudukan Jepang, 1 April 1944 Roosseno diangkat menjadi guru besar (kyodju) bidang ilmu beton di Bandung Kogyo Daigaku. Lalu, sebagai orang swasta yang baru hijrah dari Yogyakarta ke Jakarta, tanggal 26 Maret 1949, ia diangkat menjadi guru besar luar biasa ilmu beton di Universiteit van Indonesi¸, Faculteit van Technische Wetenschap di Bandung.

Beton pratekan
Roosseno menulis buku ajar beton pertama dalam bahasa Indonesia pada 1954. Beton pratekan mulai diperkenalkan di Indonesia oleh Roosseno melalui kuliahnya di ITB tahun 1949, juga melalui tulisan-tulisan dalam majalah Insinyur Indonesia tahun 1959. Struktur beton pratekan pertama di Indonesia terwujud tahun 1961 untuk pelataran Monas berukuran 45 meter x 45 meter dan Jembatan Semanggi di Jakarta berbentang 50 meter. Pelataran Monas dirancang Roosseno dengan sistem prategangan Freyssinet dari Perancis dan dilaksanakan PN Adhi Karya.
Dalam mendorong rasa percaya diri dan percaya kemampuan bangsa, dalam pidato pengukuhan guru besar Universiteit van Indonesi¸ di Bandung tanggal 26 Maret 1949 dan dalam pidato pengukuhan doktor honoris causa di ITB tanggal 25 Maret 1977, Roosseno menyanggah isi syair sastrawan Inggris Rudyard Kipling (1865-1936): Oh, East is East, and West is West, and never the twain shall meet.
Syair ini menyatakan, orang Timur tak mungkin setara orang Barat, ungkapan yang menyakitkan hati. Maka, Roosseno mengajak generasi muda untuk membuktikan, sajak itu harus berbunyi, ”Oh, East is East, and West is West, but this time the twain shall meet”. Roosseno telah membuktikan, dengan lulus Technische Hooge School Bandung, 1 Mei 1932, dengan nilai tertinggi di antara tujuh orang Belanda dan satu orang Tionghoa.

Kisah tak sukses
Pada pemugaran Candi Borobudur 1972 dengan bantuan UNESCO dan International Consultative Committee, tim dibentuk untuk mengawasi aspek teknis pemugaran. Anggotanya terdiri dari para ahli pemugaran dari Jepang, Amerika Serikat, Belgia, Jerman (Barat), dan Indonesia. Roosseno mewakili Indonesia ditunjuk sebagai ketua dan penulis sebagai asisten. Pekerjaan pemugaran meliputi pembongkaran dua juta batu dan batu arca, pemasangan pelat-pelat fondasi beton serta sistem pipa drainase, dan pemasangan kembali batu dan arca ke tempat semula.
Karena penanganan kestabilan lereng bukit Borobudur oleh dua konsultan UNESCO bertele-tele dan tidak tuntas, tahun 1975 Roosseno meminta penulis mengambil alih pengerjaannya. Dibentuklah tim terdiri dari penulis, Ir Aziz Djayaputra, Ir FX Toha, dan Ir Indradjati Sidi.
Laporan final menyimpulkan, semua tahap pemugaran aman terhadap kelongsoran. Faktor keamanan jangka panjangnya pun memadai. Laporan ini disetujui International Consultative Committee di Candi Borobudur tanggal 27 April 1976 sehingga pekerjaan fisik pemugaran dimulai.
Pemugaran Candi Borobudur diresmikan Presiden Soeharto 23 Februari 1983. Ketahanan Candi Borobudur atas gempa telah teruji, saat gempa Bantul, 27 Mei 2006, dengan magnitudo 6,3 skala Richter, kedalaman 10 km, dan jarak episenter—Candi Borobudur sekitar 45 km. Saat itu Candi Borobudur tidak mengalami kelongsoran atau kerusakan.
Selain cerita sukses, ada juga kisah kurang sukses terkait karya Roosseno. Misalnya, Jembatan Sarinah berbentang 40 m di atas Jalan Wahid Hasyim, Jakarta, yang runtuh pada 28 Februari 1981 akibat putusnya balok tarik beton pratekan penahan gaya reaksi horizontal di bawah Jalan Wahid Hasyim karena baja prategangnya berkarat.
Kekecewaan Roosseno lainnya, tak berhasilnya gagasan meningkatkan daya pikul gelegar komposit baja beton dengan memberi prakompresi dengan mengerjakan gaya horizontal dengan dongkrak pipih pada pelat beton. Sistem ini diuji pada Jembatan Kali Ciliwung di Condet. Namun, selang beberapa waktu prakompresinya hilang sehingga jembatan harus diperkuat tahun 1994. Ini menunjukkan pemberian prakompresi melalui transfer gaya tekan dari pelat beton ke gelegar baja harus diteliti. Namun, penelitian itu tak tuntas, Tuhan memanggil Roosseno pada 15 Juni 1996 saat usianya 88 tahun.

Wiratman Wangsadinata Guru Besar Emeritus Universitas Tarumanagara, Jakarta
Sumber: Kompas, Sabtu, 2 Agustus 2008

Read more...

Berwisata ke Tempat Pengolahan Sampah

>> Friday, August 15, 2008

Oleh: Harry Kurniawan
Tempat pengolahan sampah atau TPS adalah senjata terakhir pemerintah kota dalam mengelola sampah kotanya, tetapi hingga kini TPS bagi masyarakat bukan sesuatu yang layak dikenal.
Citra TPS sebagai tempat yang kotor dan sangat mungkin menjadi sumber penyakit menjadikan penolakan warga akan keberadaan TPS di lingkungannya menjadi dapat dimengerti.
Keberadaan teknologi yang menjamin sistem pengolahan sampah yang bersih dan aman menjadi salah satu solusi yang harus bisa disosialisasikan kepada masyarakat. Di samping itu, tampilan fisik dan program ruang TPS juga dapat mengubah citra buruk di mata masyarakat.
Beberapa kota dunia, seperti New York, Paris, dan Vienna, memanfaatkan kemampuan arsitektur untuk memperbaiki citra sekaligus mengubah persepsi masyarakat terhadap tempat pengolahan limbah tersebut.
Jepang, salah satu negara maju yang menerapkan aturan ketat mengenai sampah, juga memiliki Naka Waste Incineration Plant di Hiroshima dan Maishima Incineration Plant di Osaka yang dapat menjadi contoh usaha tersebut.
Kedua fasilitas pembakaran sampah (incineration) ini selesai dibangun tahun 2004 (Hiroshima) dan 2001 (Osaka) untuk melengkapi fasilitas pengolahan sampah di masing-masing kota. Pada kedua fasilitas itu tampilan fisik benar-benar berhasil ”menipu” persepsi masyarakat tentang fungsi tempat itu.
Citra arsitektur kontemporer dengan bentuk asimetris-geometris, nondekoratif, dan metal sebagai kulit bangunan Hiroshima Naka Waste Incineration Plant menimbulkan citra bangunan megah, bersih, dan formal. Sangat bertolak belakang dari citra fasilitas pengolahan limbah selama ini.
Yoshio Taniguchi, arsitek yang terkenal dengan desain museumnya, termasuk Museum of Modern Art New York, dengan bangga menyebut Hiroshima Naka Waste Incineration Plant sebagai desain museum of garbage-nya.
Pendekatan yang sama, tetapi dengan eksekusi berbeda terlihat di Osaka City Environmental Management Bureau’s Maishima Incineration and Water Treatment Plants yang didesain arsitek konservasi lingkungan terkenal dari Austria, Meister Friedensreich Hundertwasser.
Fasilitas pengolahan sampah ini tampil bagai lukisan di atas kanvas sehingga lebih layak diduga sebagai theme park. Bentuk bangunan lebih dinamis, material sangat bervariasi, permainan bentuk dan warna pada elemen bangunan (jendela, pintu, langit- langit) serta penghijauan, berhasil menyampaikan pesan positif ”the harmony between ecology, technology, and art” yang ingin disampaikan si arsitek.
Kedua fasilitas ini menjadi lebih istimewa karena memang dibangun untuk melayani dan menjadi bagian dari masyarakat.
Fungsi publik
Usaha awal yang dilakukan Pemerintah Kota Hiroshima dan Osaka adalah memasukkan fungsi fasilitas insinerasi ini ke dalam visi dan misi serta rencana infrastruktur pembangunan kawasan atau kota.
Hiroshima Naka Waste Incineration Plant tidak lain adalah bagian dari rencana kota Hiroshima untuk membangun infrastruktur sosial kota sebagai bagian dari proyek Hiroshima 2045: ”the city of Peace and Creation”, sekaligus memperkuat tema ”The Water City Hiroshima”.
Osaka Maishima Incineration Plant yang berada tepat di pintu masuk pulau buatan tidak lain adalah bagian penting dari rencana induk kawasan Maishima sebagai Maishima Sports Island dan pendukung kota Osaka untuk memenangi persaingan sebagai tuan rumah Olimpiade Musim Panas 2008 yang direncanakan berpusat di Pulau Maishima.
Bangunan Hiroshima Naka Waste Incineration Plant yang terdiri atas satu lantai basement, tujuh lantai kantor pengelola, dan satu lantai penthouse hanya menempati 27 persen luas total tapak sebesar 50.200 meter persegi, sementara sisanya didedikasikan bagi masyarakat dan kota Hiroshima dalam wujud waterfront park.
Bangunan tersebut dibagi menjadi tiga zona oleh Taniguchi. Salah satu zona di bagian tengah disulap sebagai zona publik. Zona publik yang terdiri dari atrium dan dikelilingi koridor viewing gallery ini memungkinkan masyarakat melihat isi perut insinerator, serta pemandangan laut, pelabuhan, dan kota Hiroshima.
Taniguchi juga menempatkan walkway ecorium sepanjang 400 kaki menembus atrium tersebut. Ecorium itu memiliki fungsi istimewa sebagai media informasi bagi masyarakat yang ingin mengetahui urutan proses dan teknologi pengolahan sampah, menghubungkan permukiman dengan waterfront park baru yang berada di sisi selatan bangunan, dan memainkan peran simbolik sebagai gerbang yang menghubungkan laut dengan kota Hiroshima. Terakhir, fungsi ekologis fasilitas bagi kota dan kawasan sekitarnya dipertegas dengan ditanaminya pepohonan di sekeliling bangunan dan juga di dalam atrium.
Begitu pula bangunan tujuh lantai Osaka Maishima Incineration Plant membuka dirinya untuk masyarakat. Masyarakat hanya perlu mendaftarkan diri satu minggu sebelumnya untuk mengikuti tur tersebut. Bangunan dibagi dalam tiga zona.
Sedangkan Hundertwasser meletakkan lobi dan visitor observation deck di bagian tengah bangunan untuk memberi kesempatan pengunjung melihat sebagian proses pengolah sampah berteknologi tinggi tersebut dan membuktikan TPS bisa menjadi tempat yang sangat bersih, indah, dan berkesan modern.
Dari luar, mosaik keramik, dan bentuk organis serta warna-warni semua elemen bangunan menjadi strategi tersendiri untuk mempercantik kawasan ini.
Proses pendataan setiap truk sampah masuk-keluar fasilitas juga bisa disaksikan masyarakat dari luar bangunan. Fasilitas ini tidak luput dari unsur penghijauan yang berada di taman-taman yang mengelilinginya, di atap bangunan serta pohon yang menjulur keluar dari jendela bangunan.
Dengan menginformasikan proses pengolahan sampah dan produksi sampah setiap harinya, diharapkan masyarakat lebih sadar dalam mengelola sampahnya.

Harry Kurniawan

Staf Pengajar Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan UGM dan Center for Universal Design and Diffabilities UGM

Sumber: Kompas, Minggu, 10 Agustus 2008

Read more...

"Nyukcruk" Jejak Bosscha di Pangalengan

>> Tuesday, August 12, 2008















Foto: Maison Bogerijen www.merpati.nl


HAMPARAN rumput gajah yang menghijau bak permadani terlihat masih basah sisa diguyur hujan yang turun hampir sepanjang malam. Di antara ujung-ujung dedaunan pohon zaitun, masih tampak butiran air yang belum terjatuh. Musim hujan yang belum kunjung juga berakhir hingga awal Mei ini, membuat udara pagi di kaki Gunung Malabar pada ketinggian 1.550 dpl (di atas permukaan laut) cukup dingin menusuk. Kabut tipis yang sesekali berarak mengganggu pandangan ke arah Gunung Nini yang menjulang di belakang Wisma Malabar.

Bangunan bergaya arsitektur Sunda modern yang dibangun tahun 1894 di Kampung Malabar, Dusun III, Desa Banjarsari, Kecamatan Pangalengan tersebut, pada masanya digunakan sebagai kantor sekaligus tempat tinggal Hoofdadministrateur (kepala administrator) Karel Albert Rudolf Bosscha.

Memasuki ruang tamu, kita akan disapa foto hitam putih K.A.R. Bosscha dengan kumis tebal yang merupakan ciri khasnya, tengah menatap ke samping kanan. Kita juga dapat menyaksikan foto hitam putih lain, tahun cetakan 1913. Ada foto rumah Hoofdadministrateur perkebunan Malabar, gerobak penuh berisi teh, pabrik teh Tanara yang kini menjadi pabrik teh Malabar, dan kesibukan para pemetik teh.

Salah satu foto yang paling menarik adalah foto sejumlah pemain musik degung di depan teras wisma. Semua pemain pribumi mengenakan ikat kepala dan berbaju tanpa dikancing, duduk lesehan. Seorang di antaranya yang memainkan rebab duduk di kursi mengenakan baju beskap (baju priyayi Sunda) tampak berbeda. Dialah Rudolf A. Kerkhoven, wakil administrator perkebunan.

Melangkah masuk ke ruang utama, di tengah bangunan kita akan melihat sejumlah sofa tertata rapih dengan meja bertaplak putih menghadap ke tungku. Di sudut ruangan, piano kesayangan Bosscha merek Zeitter Winkelmam Braunscheig, Gegr, (1837), masih berada di tempat yang sama saat Bosscha (dulu) selalu memainkannya di waktu senggang.

Barang peninggalan Bosscha lainnya, yang terselamatkan dari upaya pembumihangusan yang dilakukan Jepang adalah meja biliar. Meja bola sodok itu berada di lantai bawah. Ada juga seperangkat kursi tamu dan lemari terbuat dari kayu jati merah.

Tatang (38), salah seorang pengurus wisma mengemukakan, wisatawan yang datang ke kediamanan Bosscha umumnya hanya untuk melepas lelah. Karena aktivitas wisatawan lebih banyak di luar wisma. Selain menikmati segarnya udara pegunungan Malabar, juga menikmati keindahan alam sekelilingnya.

Melakukan pendakian Gunung Nini (tea walk), di belakang wisma merupakan kegiatan yang paling banyak dilakukan. Dibutuhkan waktu satu setengah jam untuk menuju ke puncak gunung yang sebenarnya lebih tepat disebut bukit itu. Yang menarik, di puncak Gunung Nini ada bangunan saung atau pesanggrahan untuk melepas lelah. Selain menikmati hamparan perkebunan teh Malabar dan pegunungan yang melingkungi Malabar, dari bangunan ini, pengunjung juga bisa melihat gemerlap air Situ Cileunca yang tertimpa cahaya matahari.

Bila pendakian dilakukan pagi hari, dapat kita saksikan matahari terbit di antara Gunung Wayang dan Windu. Keindahan panorama alam seperti itu pula yang dulu biasa dilakukan Bosscha semasa hidupnya seraya menyeruput teh panas.

**

Jejak K.A.R. Bosscha yang lahir di S`Gravenhage, Belanda, 15 Mei 1865 adalah hutan kecil tempat bos perkebunan teh itu melepas lelah di tengah hari dan minum teh setelah berkeliling perkebunan dengan kuda putihnya. Hutan kecil yang berada di sekitar perkebunan memiliki beragam pohon yang tinggi menjulang, menciptakan keteduhan. Misalnya, pohon saninten, puspa, anggrit, rasamala, boros, dan cerem.

Hutan kecil itu akhirnya menjadi tempat peristirahatan K.A.R. Bosscha untuk selamanya. Setelah sebelumnya menderita sakit berbulan-bulan akibat terjatuh dari kudanya dan mengalami patah kaki, hingga meninggal dunia pada 26 November 1928.

Berdasarkan cerita, kematian Bosscha mengundang tangis seluruh masyarakat perkebunan. Ribuan pekerja yng beriring-iringan mencapai 5 kilometer mengantar jasad Raja Teh Priangan itu ke hutan kecil tempat Bosscha biasa melepas lelah. Jasad Bosscha memang tidak dibawa pulang ke negara asalnya, lantaran Bosscha sudah berwasiat, ingin dimakamkan di lokasi yang belum dipakai untuk perkebunan teh.

Berdasarkan GB (Besluit van den Gouverneur-Generaal) tertanggal 7 Juli 1927, No. 27 Staatsblad 99, lokasi itu sebelumnya telah ditetapkan sebagai cagar alam dan masih dalam kondisi seperti itu hingga kini. Makam Bosscha berupa bangunan berbentuk lingkaran dengan delapan pilar penyangga atap. Bangunan itu mirip observatorium Bosscha di Lembang. Diameter makam sekitar dua meter dengan tinggi pilar sekitar tiga meter.

Selain rumah dan tempat peristirahatan terakhir Bosscha, tidak ada salahnya kita melihat rumah pekerja perkebunan bergaya khas arsitektur Sunda (Imah Hideung) yang menurut cerita dibangun tahun 1890. Juga ke sekolah pertama yang dibangun tahun 1913 di kebun teh Ciemas.

Seandainya belum juga puas menikmati hamparan teh di Malabar, perkebunan Purbasari terpaut sekitar 9 kilometer dari Wisma Malabar juga bisa menjadi alternatif kunjungan. Di sini, tepatnya di Desa Wanasuka, Kec. Pangalengan, berada "museum hidup" peninggalan seorang Belanda peranakan Jerman, Franz Wilhelm Junghun, berupa perkebunan kina.

Pengunjung juga mengunjungi air terjun Cilaki dan pembangkit listrik tenaga air yang didirikan atas perintah K.A.R. Bosscha. Pembangkit listrik itu hingga kini menjadi penyedia energi listrik bagi pabrik teh dan perumahan karyawan.

Setelah itu, kunjungan dapat diakhiri di Pabrik Teh Tanara yang didirikan tahun 1905 dan kini dikenal sebagai Pabrik Teh Malabar. Pabrik ini masih terus memproduksi teh dataran tinggi berkualitas baik dan terkenal di dunia. Untuk melepas penat, pemandian air panas Tirta Carmelia, Cibolang wajib dikunjungi.

Sementara, bagi wisatawan petualang, khususnya anak-anak muda bisa berkunjung ke PLTA Lamajang, salah satu pemasok listrik Jawa-Bali yang dibangun Belanda sekitar tahun 1925. PLTA tersebut berada sebelum masuk Kota Kecamatan Pangalengan dan merupakan pilihan pertama sebelum melanjutkan perjalanan ke perkebunan teh Malabar.

Bila kondisi cuaca memungkinkan, wisatawan akan ditawari menaiki lori buatan Belanda. Selain menyaksikan pemandangan indah selama berada di atas lori, wisatawan akan dibuat takjub dengan turbin warna kuning menyala yang panjangnya sekitar 500 meter dan berdiameter 1,5 meter.

Selain ke PLTA Lamajang, biasanya wisatawan petualang akan memilih berarung jeram (rafting) di Sungai Palayang. Sungai dengan air dari berasal dari Situ Cileunca dan sejumlah mata air di Gunung Malabar ini memiliki tingkat kesulitan kelas III hingga IV. Selama hampir satu jam wisatawan akan diajak menyusuri sungai menggunakan perahu karet dan menaklukan sejumlah jeram yang cukup menjanjikan dan sangat menantang untuk dijajal. Karena sekarang musim hujan, otomatis debit air sedang tinggi sehingga tingkat kesulitan lumayan menantang.

Untuk mencapai objek wisata perkebunan Malabar di Kecamatan Pangalengan, jaraknya sekitar 53 kilometer dari pusat Kota Bandung, dapat dijangkau dengan menggunakan kendaraan roda dua, empat, maupun angkutan umum. Ruas jalan dengan kondisi sangat baik, namun di sejumlah titik, terutama saat memasuki wilayah Kecamatan Pangalengan, dibutuhkan konsentrasi mengemudi karena jalanan cukup licin dan berkelok.

Soal penginapan, selain Wisma Malabar dan Melati, ada juga hotel maupun guest house untuk menginap dengan tarif antara Rp 100.000,00 hingga Rp 300.000,00 per malam. Seperti, Wisma Melati yang menampung pengunjung dalam rombongan besar. Setiap kamar dapat menampung 50 orang. Penginapan lainnya yang berada di luar kawasan perkebunan Malabar, antara lain Citere Resort Hotel di Jln. Raya Pintu Pangalengan dan Puri Pangalengan Hotel & Restoran di Jln. Raya Pangalengan. Jadi, jangan merasa khawatir untuk berkunjung ke Pangalengan.




Sumber: Pikiran Rkayat, Senin, 26 Mei 2008.

Read more...

Something for everyone in beautiful Bandung

Despite increasing traffic and a swelling population of more than three million, Bandung retains the charm which made it a favorite posting and retirement area for the Dutch during the colonial era. Yet while it proudly embraces its history seemingly on every corner, the city also offers very modern attractions.The Jakarta Post's Bruce Emond finds that Bandung beckons to a wide variety of travelers.

Only meters from major business areas are to be found lush parks and quiet residential streets, their architecture harking back to bygone times when Bandung was known as the ""Paris of Java"".
A surprisingly diverse range of bakeries, serving up a feast of traditional Dutch pastries and more modern delicacies such as brownies, are situated adjacent to clothing outlets, which have emerged in recent years as a major draw for domestic tourists.
Amid the modern scourges of the traffic jams on many of the city's narrow streets and increasing air pollution, there stand beautiful old buildings and shop-houses, which were designed by the colonists to assist in the process of acculturation from their temperate northern European homeland.
The marriage of old and new, with the tentacles of the past intertwining with those of the present, is the essence of Bandung's appeal. It is steeped in culture and history, but the modern trappings of the good life are widely available.
The city is still the leading center of trade in West Java and the home of the Siliwangi Military Command. It is also renowned as a university town, with several of the country's top universities.
""Despite the traffic jams and pollution, it has the same feeling of a university town that you find in places in America,"" said Michael, a 28-year-old American expatriate who makes occasional weekend visits to the city with his Indonesian girlfriend.
Although it was virtually unaffected by the May 1998 riots that rocked Jakarta, Surakarta and other cities, Bandung has not been able to escape the international fallout from the country's unrest and devastating economic crisis. Flights from Jakarta to the city were stopped due to the crisis; tourists must still make their way to Bandung via road or the stunningly scenic rail route.
Still, the city's shop and hotel owners have found other ways to compensate, including through drawing domestic tourists. Bandung has become a favorite destination for shoppers on account of its excellent bargains, particularly in textiles and clothing.
The city has long been known for Cihampelas, an entire street devoted to clothing, particularly jeans, sold at discount prices. Today, the catchword is outlets, to be found across the city. People from Jakarta and other cities in western Java flock to the shops, which offer well-known brands at bargain basement prices. The streets which are home to the outlets become virtual parking lots on weekends to accommodate the influx of shoppers.
Only three hours by train or car from Jakarta, the city is also emerging as a favorite site for conventions, company retreats and seminars.
The Hyatt Regency Bandung has recorded a 22 percent increase in guest numbers so far in 2000, according to the hotel's public relations manager, Keke Hidayat.
""It has also become the trend for the city to be selected as the site for business meetings and training courses organized by companies from Jakarta, which has caused a major increase in hotel occupancy and revenue during weekdays,"" Keke said.
""Domestic guests mostly come at weekends, while foreign guests come during the week on business, mostly connected with the textile industry.""
Geulis Hotel and Cafe, which opened in the past year, is out to tap into the ""boutique"" hotel market segment. The hotel put quality first in every detail of its 26 rooms, said Mulyadi M. of its management team.
""Our way of thinking (in opening the hotel) was that we would ,as a boutique hotel, be different. Bandung is a great location, and hotels are always full on weekends.""
What visitors to Bandung find is a diverse mix of attractions, from historical sites to excellent restaurants and shopping. Here is a selection of places around town.

Bandung Bites

  • The Peak, Jl. Desa Karyawangi Ciwaruga, Bandung (tel. 022-270-0759). Not in the city of Bandung, but way out in the hills of Lembang, at the end of a very long and winding road. It's the ""in"" place to eat, especially on Saturday nights. Great views, but the food, and spotty service, are a matter of taste.
  • Braga Permai, Jl. Braga (tel. 022-420-1831). Pleasant restaurant, formerly the Maison Bogerijen, on the onetime main Dutch shopping boulevard. Nice spot to while away an afternoon over coffee and bitterballen.
  • Dago Tea House, Jl. Bukit Dago Utara (tel. 022-2505364). Renowned for its stunning views over the city, and a favorite place for weekenders and out-of-towners. Worth a trip, if only to say that you have been there.
  • Gambrinus Pub and Restaurant, Jl. Prof. Drg. Surya Sumantri 59 (tel. 022-201-2704). A bit of an expatriate enclave (it's next to an international school) but welcoming to all. Better-than-average Indian cuisine, German specialities, a delicatessen and small bar.
  • Kintamani Restaurant, Jl. Lombok 45, (tel. 022-426-1673). Open until the wee hours, the two-story restaurant is a haunt of night owls and clubbers on their way home. Live entertainment on the second floor.
  • Riung Sari, Jl. R. E. Martadinata 22 (tel. 022-4206723). It's a must for visitors to try Sundanese food in the heart of West Java, and this is a friendly-enough restaurant to take the plunge. Central and only a short walk from major hotels.

Sweet Treats

  • Prima Rasa, Jl. Kemuning 20 (tel. 022-720-6468). Often known simply as Kemuning, this small store in a residential area is famed as the place for the best brownies in Bandung. They come in a variety of flavors, including raisin, cheese and Amaretto (!), and there are lots of other cakes and pastries available. Friendly, helpful staff, but a crush on Sundays.
  • Tizi Cake Shop and Restaurant, Jl. Kidang Pananjung (tel. 022-250-4963). Bread, cakes, sandwiches and more substantial meals served up in an al fresco setting. Pleasant place where you can hear yourself, and your dining companion, speak.
  • Kartika Sari, Jl. Kebon Jekut 3C (tel. 022-423-0788). Famed for its moelen, a scrumptious mix of pastry, bananas and cheese. Lots of other varieties of pastries available at its store, conveniently located near the train station.
  • Yogurt Cisangkuy, Jl. Cisangkuy 66, (022-727-3926). Long the place which has made yogurt into something more than sour milk. Great variety of flavors and something for every taste.

Rest Spots

  • The Chedi, Jl. Ranca Bentang 56-58, Ciumbeulit (tel. 022-203-0333). A boutique hotel of the highest order, far from the hoi polloi in a cool, leafy suburb of the city. Delicious food, dramatic black-tiled swimming pool plus the recent addition of a spa. Great for quiet, romantic getaways.
  • Hyatt Regency Bandung, Jl. Sumatera 51 (tel. 022-421-1234). Luxurious five-star accommodation in the heart of the city (it conveniently adjoins Bandung Indah Plaza, the swankest mall in town). Restaurants are something to write home about, and the hotel has a small but well-equipped fitness center.
  • Savoy Homann, Jl. Asia-Afrika 112 (tel. 022-423-2244). Worth a visit, if only for a peek at the grand old hotel of the city. Bit ragged around the edges, but the hotel does have a number of suites, kept very much the way they must have been in the 1930s (they even have bathtubs with ""feet"").
  • Santika Bandung, Jl. Sumatra 52-54 (tel. 022-420-3009). Spacious, bright hotel in the heart of the city, with the unusual attraction of a swimming pool perched above the lobby.
  • Geulis Hotel and Cafe, Jl. Ir. H. Juanda 129 (tel. 022-250-7777). A new addition to the hotel scene in the cool Dago area, it offers luxurious suites and a popular cafe on site. Pricey upmarket boutique hotel will suit those with time on their hands and cash to spare.
  • Sukajadi, Jl. Sukajadi 176 (tel. 022-203-3888). A cozy, homey no-frills hotel a little way from the city center. Right next door to one of the city's most popular clothing outlets.

Better Brew

  • Aroma, Jl. Banceuy 51 (tel. 022-423-2468). A visit to this shop-cum-factory is a fascinating experience. The friendly owner will take you to the back of the shop to see the old German machinery used to roast the coffee beans. The robusta and arabica coffee, aged for years, are simply superb, and make great gifts.

Source: The Jakarta Post, Fri, 12/22/2000

Read more...

Can Bandung be a trip down memory lane?

Far removed from the crowded tourist haunts of Bali and Jakarta, the provincial capital of West Java attracts its own unique type of tourists.

It's not what is sparkling and new about Indonesia that draws them to the city cradled in a ring of mountains, but rather the historical legacy which lives on along Bandung's streets.

Read more...

Angklung Urang Baduy

>> Monday, August 11, 2008

Baru-baru ini terbetik berita bahwa Malaysia tengah bersiap mengklaim dan mematenkan musik angklung sebagai miliknya. Berita tersebut sungguh mengagetkan beberapa kalangan urang Sunda, seperti Direktur Saung Udjo Taufik Udjo, mengingat musik angklung dianggap milik urang Sunda.
Taufik memberi tanggapan kritis terhadap rencana negeri jiran tersebut. Dia antara lain mendesak agar Pemerintah Indonesia lebih giat mempromosikan angklung Sunda, terutama dalam promosi parawisata. Promosi tersebut jangan sampai kalah dari negara lain, seperti Malaysia dan Korea Selatan, yang lebih giat menampilkan orkestra ataupun festival angklung.
Memang, kenyataannya, kini masyarakat lokal masih jarang mengkaji, mendokumentasikan, dan mempromosikan berbagai pengetahuan mengenai angklung, kesenian angklung, serta kaitannya dengan lingkungan hidup urang Sunda. Kendati demikian, suatu hal yang menggembirakan, dewasa ini ada upaya untuk mempromosikan dan menimbulkan kepedulian urang Sunda terhadap angklung.
Universitas Padjadjaran (Unpad) dalam rangka memperingati dies natalisnya ke-50 antara lain mengadakan pementasan kolosal angklung yang dimainkan 10.000 pemain. Selain itu, program Unpad ke depan ialah membangun kebun bambu seluas 50 hektar di Jatinangor, yang akan ditanami ratusan jenis bambu. Salah satu jenisnya adalah awi hideung yang dapat dimanfaatkan untuk pembuatan angklung.

Angklung buhun
Berdasarkan sejarah, pada masa silam musik angklung bagi urang Sunda tak terpisahkan dari kebiasaan mereka dalam berladang (ngahuma). Misalnya, hingga kini sisa-sisa kebiasaan tersebut masih ditemukan pada masyarakat Baduy, Banten selatan. Urang Baduy sejak masa pra-Islam telah akrab dengan musik angklung (lihat van Zanten, 1995 dan Iskandar, 1998).
Mengapa musik angklung? Hal itu terkait erat dengan kebiasaan Urang Baduy pada upacara ngaseuk pare huma yang biasanya menyertakan pementasan musik angklung. Kebiasaan itu tidak pernah luntur, tetapi tetap dipertahankan hingga kini.
Selain untuk upacara adat, pementasan angklung juga dipadukan untuk hiburan kesenian. Jadi, Urang Baduy dapat membedakan pementasan angklung untuk tujuan sakral bagi upacara adat dan untuk hiburan masyarakat.
Instrumen angklung buhun Baduy sangat khas, terdiri dari sembilan angklung dan tiga dogdog atau beduk. Instrumen angklung terdiri dari ukuran besar hingga kecil, yaitu indung, ringkung, dongdong, gunjing, engklok, indung leutik, tarolok, roel 1, dan roel 2, serta ditambah 3 dogdog, talingting, ketuk, dan bedug. Pada setiap angklung, ujung bambu penahannya dipasang daun pelah sebanyak 7-9 helai sebagai syarat, yang diikatkan pada tiap kepala angklung. Jadi, instrumen angklung Baduy sangat khas, berbeda dengan jenis angklung lainnya.
Pementasan angklung
Bagi urang Baduy, pementasan angklung di desanya tidak dapat dilakukan sembarang waktu. Namun, setiap tahun, waktunya khusus pada bulan Kapitu hingga Kasalapan dalam kalender urang Baduy (Iskandar, 1998). Pada saat itu urang Baduy biasanya sedang ngaseuk pare huma, berturut-turut ngaseuk huma serang (ladang sakral) di Baduy Dalam, huma puun (ladang pimpinan adat) di Baduy Dalam, dan huma dangka/huma tauladan (ladang Jaro Dangka) di daerah Dangka/Baduy Luar.
Mengapa harus disertai pentas musik angklung? Hal ini berkaitan erat dengan kepercayaan urang Baduy bahwa ngaseuk huma dianggap mengawinkan (ngareremokeun) dewi padi, Nyi Pohaci, dengan pertiwi (tanah). Oleh karena itu, untuk menjamin hasil padi yang memuaskan, Nyi Pohaci harus dihibur dengan pementasan musik angklung.
Pementasan biasanya dilakukan sehari semalam. Acara pada malam hari lebih bersifat sakral. Benih padi di boboko besar dikeluarkan dari rumah tetua adat, dan disimpan di atas tikar di ruang terbuka depan rumah. Lantas, tetua adat membakar kemenyan dan memberikan jampi-jampi di depan benih padi. Sementara itu, para pemain angklung-semuanya pria dengan pakaian adat-melakukan pementasan angklung.
Mereka bermain musik sambil berjalan beriringan, berputar-putar searah jarum jam mengelilingi benih padi, sambil menyanyikan lagu Marengo atau mengawinkan Nyi Pohaci dengan pertiwi. Permainan angklung bisanya dilakukan oleh dua grup. Mereka bermain angklung dan masing-masing pimpinan grup bernyanyi silih berganti.
Lewat tengah malam, permainan angklung berhenti sesaat dan benih padi dimasukkan lagi ke dalam rumah. Pertunjukan angklung diteruskan lagi dengan irama yang lebih cepat (ngagubrugkeun). Pada acara lanjutannya, pertunjukan angklung lebih bernuansa hiburan. Mereka bermain angklung sambil berkeliling melawan arah jarum jam. Beberapa lagu yang dipilih terutama bernuansa sisindiran penuh hiburan, seperti Ceuk Arileu dan Ayun Ambing. Selain itu, biasanya ada juga selingan tarian dan adu bahu antara dua pemain angklung.
Pertunjukan angklung itu dapat berlangsung hingga menjelang subuh keesokan harinya. Lantas, setelah istirahat sesaat, kira-kira jam 06.00, para pemain angklung beserta rombongan yang akan menanam padi pergi menuju huma. Jumlahnya dapat mencapai ratusan orang, terdiri dari orang dewasa, anak-anak, laki-laki dan perempuan.
Sesampainya di huma, tetua adat menyimpan benih padi di tengah-tengah petak huma yang disakralkan (pungpuhunan). Tetua adat memulai upacara dengan membakar kemenyan dan memberi jampi-jampi. Sementara itu, para pemain angklung memainkan angklungnya sambil mengelilingi benih padi searah jarum jam. Usai pemberian jampi-jampi oleh tetua adat, pertunjukan angklung dihentikan.
Selanjutnya, semua orang mulai menanam padi. Para pria berjalan di depan menugal tanah (ngaseuk), sedangkan para wanita menyimpan benih padi di lubang-lubang yang telah dibuat kaum pria (muuhan). Beberapa puluh menit saja, tanam padi di ladang seluas 0,5 hingga 2 hektar usai dilaksanakan. Biasanya acara dilanjutkan dengan makan bersama bagi peserta tanam padi sambil dihibur dengan pementasan angklung dan lagu-lagu sisindiran.
Urang Baduy tidak pernah peduli tentang klaim musik angklung oleh pihak lain. Baginya, yang penting dapat melanjutkan ngahuma sambil mementaskan musik angklung secara berkelanjutan. Sebab, hal itu merupakan kewajiban agama mereka, Sunda Wiwitan, sekaligus identitas utama kebudayaan Baduy.
JOHAN ISKANDAR Peneliti pada PPSDAL Lemlit Unpad

Sumber: Kompas, Sabtu, 08 September 2007

Read more...

Menolak Krisis Energi Kreatif

Susi Ivvaty & Ninuk Mardiana Pambudy
Pertunjukan orkestra di tengah hutan? Itulah salah satu acara HelarFestival yang digelar Bandung Creative City Forum, 2 Juli-31 Agustus 2008. Dari sana bisa dilihat ide kreatif yang muncul dari komunitas anak muda Bandung mampu bertumbuh menjadi industri kreatif.
Orkestra di tengah Hutan Raya Juanda Dago Pakar, hanya satu acara pengisi HelarFest. Pertunjukan itu pun bagian dari GreenFest gagasan event designer Wawan Juanda.
Wawan menampilkan string dan recycle orchestra yang alatnya barang bekas, seperti kaleng dan plastik. Selain orkestra yang dijuluki Wawan musik organik karena sedikit memakai bahan bakar, di situ juga ada pergelaran eco-fashion. ”Misalnya, akar wangi ditenun lalu dikreasikan menjadi bagian dari fashion atau interior,” terang Wawan.
HelarFest menjadi unik karena memuat festival-festival kecil yang semua mengusung kreativitas. Jadilah festival dengan rentang waktu dua bulan.
”Kami inginnya bisa setahun penuh festival terus,” seloroh Wawan, penasihat Bandung Creative City Forum (BCCF).
Dimulai dari ngobrol di markas lembaga komunitas Common Room di Jalan Kyai Gede Utama, muncullah gagasan membentuk festival untuk menampung potensi dan energi kreatif anak muda Bandung.
Ketua BCCF Ridwan Kamil bersama Direktur Common Room Gustaff Hariman Iskandar, Ketua Kreative Independent Clothing Kommunity Tubagus Fiki Chitara Satari, dan banyak anggota BCCF lantas menggelar HelarFest.
Helar bisa berarti sesuatu yang berderet-deret, bisa juga unjuk diri dalam pengertian positif. Festival ini menampilkan berbagai potensi ekonomi kreatif Bandung. ”Ini strategi jangka panjang pengembangan platform ekonomi kreatif berbasis komunitas,” ujar Gustaff, koordinator program HelarFest.
HelarFest juga menjadi indikator partisipasi masyarakat. ”BCCF punya 15 program pengembangan industri kreatif yang terbagi dalam tiga kategori: menjadikan masyarakat lebih kreatif yang antara lain ditandai partisipasi; membangkitkan nilai ekonomi dengan menumbuhkan entrepreneur; dan memperbaiki infrastruktur kota karena ruang publik dapt merangsang ide kreatif. Itu kami jabarkan dalam HelarFest,” papar Ridwan.
Kamis lalu, di Bandung diluncurkan Creative Network Forum yang merupakan jejaring para wiraswastawan bidang kreatif Asia. Selama sepekan lalu, dengan difasilitasi British Council, puluhan wiraswastawan Asia bidang kreatif datang ke Bandung dan Cirebon untuk belajar dari dua kota itu. Bulan November 2008, BCCF diundang ke Cebu, Filipina, untuk berbagi pengalaman pengembangan industri kreatif.
”Kalau tahun 1955 Konferensi Asia-Afrika mendeklarasikan semangat kebangkitan post-colonial, maka tahun 2008 Bandung menyimbolkan kebangkitan ekonomi baru,” kata Ridwan.

Komunitas sebagai ruh
Kegiatan HelarFest membukakan mata orang Bandung memang tempat orang kreatif berkumpul, khususnya anak muda. Mereka membentuk komunitas dan menumbuhkan energi kreatif lalu mengembangkannya menjadi bernilai ekonomi.
Menurut Ridwan, tumbuhnya komunitas karena pemerintah tidak memberi apa yang menjadi hak warga, seperti ruang publik yang memadai atau ruang untuk bermusik berbagia grup band.
Ridwan menyebut, BCCF telah memetakan 20 industri kreatif di kota itu dan berharap dapat terkumpul 30 industri kreatif.
Komunitas yang aktif, antara lain, musik, seni rupa, arsitektur, teater, komik, blogger (ada komunitas bernama Batagor-Bandung Kota Blogger), hacker, desain, programming, skateboard, dan sepeda motor.
”Mulai 1990-an komunitas, terutama musik dan distro, muncul dan berkembang. Enggak nyangka bisa jadi industri. Ngasih pemasukan ke PAD (pendapatan asli daerah). Kalau sudah begini, pemerintah datang ingin membantu,” papar Fiki.
Ryan Koesuma (23), mahasiswa Teknik Arsitektur Universitas Parahyangan, misalnya. Gara-gara sering nongkrong di Common Room teman jadi banyak. ”Dari sana, ada yang minta dibikinin web sambil ngajarin gratis. Lama-lama aku bisnis web beneran,” kata Ryan.
Dia konseptor situs jaringan yang saat ini berpenghasilan sampai Rp 16 juta sebulan. Mulanya, Ryan yang sejak SMP gemar utak-atik html ini membikin majalah musik online deathrockstar.info. Dia lalu juga iseng-iseng mendesain web dan membuat mailing list drs@yahoogroups.com yang memiliki 1.700 anggota, mulai musisi, produser musik, hingga label studio rekaman, menghubungkan komunitas musik seluruh Indonesia agar saling tahu kegiatan satu sama lain.
Arie Ardiansyah (26), lulusan Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, merancang VST Plugin (amplifier) yang ia beri nama Aradaz VST Plugin.
Terceburnya Arie di bidang ini bermulai dari kegemarannya bermain gitar dan band Disconnected. Sewaktu tengah ”pusing” menggarap skripsi yang tidak kunjung selesai, iseng-iseng dia belajar audio plugin, komponen perangkat lunak yang menjalankan fungsi pemrosesan sinyal digital. Jadilah empat jenis plugin selama dalam waktu dua tahun yang cocok untuk musik pop, blues, rock, hingga metal.
Plugin rancangannya sudah dipakai sekitar 15.000 pengguna di dunia. Dari empat plugin yang dirilis gratis melalui internet, satu jenis, yakni Aradaz Amp Crunch, dipakai gitaris Bulgaria, Dimitar Nalbantov, untuk albumnya.
Saat ini, Arie masih menggratiskan siapa pun yang mau memakai plugin rancangannya. Ia hanya memperoleh 100 dollar AS per bulan untuk iklan yang masuk ke blog-nya. Namun, ia berencana menjualnya. ”Aku ingin bikin industri VST Plugin yang mempekerjakan mahasiswa, jadi lebih komersial,” kata Arie.
Komunitas itu saling terhubung dan saling bantu. Dina, penulis dan pemrogram lagu, bersama grup bandnya, Homogenic, Oktober ini meluncurkan album yang direkam di Fast Forward Re- cord milik teman mereka sendiri, Helvi Sjarifuddin.
Komunitas Jendela Ide yang dipimpin perupa Andarmanik, karena tidak komersial, kemudian bekerja sama dengan Never Grow Up, distro yang memproduksi pakaian anak-anak, yang pemiliknya tak lain sahabat.

Orisinalitas
Satu syarat industri kreatif adalah keaslian karya yang memberi penghargaan pada kekayaan intelektual.
Arie contoh nyata bagaimana orisinalitas dikembangkan dan berpotensi ekonomis. Lewat Common Room, Arie menularkan kebiasaannya kepada anggota komunitas lain. ”Bisnis ini selain menjual orisinalitas, juga masih jarang peminatnya,” kata Arie.
Orisinalitas ini pula yang ditawarkan Dwinita Larasati, komikus yang doktor dari Delft Technical University, Belanda. Selain mengajar di Jurusan Desain Produk Institut Teknologi Bandung, ibu dua anak yang biasa dipanggil Tita ini menyisihkan waktu untuk menggambar.
Jenis komiknya graphic diary, semacam komik grafis yang bercerita mengenai perjalanan seseorang. Di situ, tokoh utama adalah Tita sendiri.
”Sejauh ini belum ada yang membuat komik graphic diary dengan karakter tokoh yang dikreasi sendiri dari banyak pengaruh, tidak berkiblat ke Jepang atau Amerika,” kata Tita.
Komik Tita, 40075 km Comics, diterbitkan di Belgia, berisi perjalanan hidup Tita. Angka 40075 adalah diameter bumi.
Ketika ada acara 24 Hour Comics Day di AS, dari 1.000-an peserta berbagai negara, Tita dengan komiknya Transition masuk sepuluh besar yang kesemuanya lalu diterbitkan dalam Highlight 2006.
Komik Tita yang lain, Curhat Tita, dijual dalam bentuk buku dan karakter serta adegan di dalamnya dijadikan pin, kantong telepon seluler, dan tas.
Begitu juga distro. Perancang pakaian bisa terus berkreasi lewat gambar dan narasi, seperti UNKL 347. Perusahaan yang terpilih menjadi industri paling inovatif di KickFest ini, misalnya, mendesain tiga sarung bantal bertuliskan ctrl, alt, dan del.
Kreativitas memang tidak mengenal krisis. Seperti ditegaskan Fiki, ”Kami menolak krisis energi kreatif.”

Sumber: Kompas, Minggu, 10 Agustus 2008

Read more...

About This Blog

Lorem Ipsum

  © Free Blogger Templates Skyblue by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP