Max Dauthendey

>> Sunday, September 21, 2008

Max Dauthendey (1867-1918) was a poet born in Würzburg, Germany. At the peak of his career, in 1914, he started on a world tour, but the outbreak of World War I made it impossible for him to return to his homeland and beloved wife. He spent the last four years of his life on Java as a virtual prisoner, including in the Parahyangan region, and died tragically just a few months before the end of the war. From Java he wrote in November 1917: “Man is not born to be competitive, but rather to become enthusiastic…. The West will perish in competitiveness. Out of genuine enthusiasm Asia will become new and strong….” The following excerpts are from Dauthendey’s Letzte Reise (Last Journey), published posthumously in 1925.

Garoet, Hotel Papandajan, 11 April 1915 (Diary)
Little Javanese landscape…One morning on the way to a bench with a view, I came upon a group of people in a rice field. Most of the water had been drained off and they were wading in mud and catching mud fish in flat baskets. Many women, children, men, young and old. In the background, on a green meadow beyond which were red leaves and the blue peak of the Papandajan showing above, a colorfully clad boy ran with his pink paper kite soaring above the coconut palms. It was a genuine Javanese landscape airy, playful, yet gentle and fragile.

Garoet, Hotel Papandajan, 18 August 1915 (Letter to his wife)
The days are warm and pleasantly fanned with breezes. It is really a paradisiacal climate in these Javanese winter months now. The world of palms and fruit trees is a great solace, just as the fruit trees at home are now full with fruit. If there ever was a Paradise, it can only have been here on Java.

Read more...

Dari Bukit Hijau ke Kota Beton

Oleh Indah Surya Wardhani

Pembangunan kota yang lapar tanah mencakari lembah dan bukit yang pernah menghijaukan Kota Bandung. Lereng-lereng perbukitan di Bandung utara pun tak luput dari incaran pengembang. Kawasan dengan kontur di atas 750 meter dari permukaan laut ini merupakan kawasan lindung bagi Kota Bandung.
Mengacu pada Peraturan Daerah (Perda) Kota Bandung Nomor 2 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandung, kawasan Punclut tampak memiliki warna kuning tua yang menandakan kawasan ini terbuka bagi permukiman dengan luas terbangun sekitar 20 persen.
Padahal, setahun sebelumnya, sesuai Perda Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2003 tentang RTRW Provinsi Jabar, kawasan Punclut digambarkan berwarna hijau, artinya sebagai kawasan lindung yang tidak boleh dibangun.
Tarik-menarik kepentingan ekologis dan komersial terus berlangsung. Pembangunan pun marak di wilayah yang termasuk dalam Kelurahan Ciumbuleuit, Kecamatan Cidadap. Berdasarkan data Bappeda Kota Bandung tahun 2005, dari 268 hektar kawasan Punclut, hampir 38 persen di antaranya merupakan kawasan pengembangan milik tiga pengembang.
Dengan kondisi itu, pemulihan kawasan Punclut sebagai zona hijau pun menjadi terhambat. Kawasan ini seharusnya berfungsi sebagai pengendali tata air dan konservasi sumber daya hayati. Rusaknya ekologi di kawasan ini dapat berakibat buruk bagi Kota Bandung dan daerah di sekitarnya.
Padahal, pada 2000, di kawasan itu masih dijumpai pohon-pohon yang tumbuh di antara lahan tegalan yang digarap penduduk setempat. Jumlah penduduk asli saat itu 4.082 jiwa (1.074 keluarga). Dari jumlah itu, sekitar 80 persen di antaranya adalah penduduk asli dari perkawinan antarkeluarga dalam satu kampung atau dengan kampung lain.
Pembangunan juga merangsek perbukitan Dago Pakar. Kawasan dengan kemiringan sekitar 18 derajat ini merupakan kawasan lindung luar hutan yang hanya boleh dibangun tidak lebih dari 2 persen luas kawasan. Kenyataannya, kawasan ini justru dipadati vila dan perumahan elite. Padahal, 10 tahun lalu kawasan itu masih ranum oleh hamparan lahan nan hijau.

Pembangunan kota
Menyusutnya ruang terbuka hijau di Kota Bandung tidak terlepas dari pembangunan Kota Bandung yang lebih mengedepankan aspek ekonomi ketimbang aspek edukasi dan konservasi. Konflik kepentingan atas ruang ini akan selalu terjadi seiring dengan pertumbuhan penduduk.
Perumahan misalnya. Dengan pertumbuhan penduduk rata-rata 1,74 persen per tahun, perumahan yang mengambil lahan terbuka pun tidak terhindarkan. Tercatat hingga April 2008, jumlah penduduk 2,22 juta jiwa. Dari luas 16.729,64 hektar wilayah Kota Bandung, 52 persennya dipergunakan untuk perumahan.
Padahal, idealnya bangunan tidak lebih dari 60 persen luas kota. Hetifah Sjaifudian Sumarto, planolog dari ITB, menyatakan, Pemerintah Kota Bandung harus memiliki konsep dan kebijakan tegas mengenai tata ruang. Menurut dia, masyarakat, pengembang, dan pemangku kebijakan di Kota Bandung harus duduk bersama merumuskan Rencana Detail Tata Ruang Kota Bandung yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
"Penanganan tata ruang dan lingkungan harus serius. Untuk kebutuhan ruang terbuka, Pemkot Bandung justru harus berani membebaskan lahan untuk ruang terbuka seperti yang sudah dilakukan di DKI, Kupang, dan Yogyakarta," ujar Hetifah, Jumat (19/9).
Menurut dia, daripada membangun di ruang hijau, Pemkot Bandung lebih baik membangun daerah coklat (brown field). Daerah coklat adalah kawasan komersial kota yang saat ini mulai meredup, seperti kawasan alun-alun dan sekitarnya.
Kawasan itu dapat dibenahi dengan citra baru antara lain melalui pembangunan ruang hijau, restoran, atau ruang terbuka untuk kegiatan masyarakat. Dengan demikian, ruang kota tidak sekadar untuk kegiatan rekreatif, tetapi juga bernilai historis dan edukatif. (Litbang Kompas)

Sumber: Kompas, Sabtu, 20 September 2008

Read more...

Wisata

Wisata adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat untuk menikmati objek dan daya tarik wisata.

[sumber: UU No. 9 Tahun 1990]

Read more...

Babakan Siliwangi Menangis...

Oleh Mohammad Hilmi Faiq

Kota Kembang yang indah permai
Sejuk nyaman hawanya
Dengan gadis lemah gemulai
Indah dipandang mata

Dua tupai meloncat berkejaran di dahan pohon akasia saat terdengar suara gaduh dari dalam gubuk di hutan kota Babakan Siliwangi, Jumat (19/9). Tupai-tupai itu celingukan sebelum menghilang di antara rimbunan daun. Seorang bocah keluar dari gubuk di bawah pohon akasia itu. Dia mengucek-ngucek matanya dan menguap sambil berjalan menuju sumber mata air tak jauh dari gubuknya. Bocah itu lantas membasuh mukanya sembari menahan dingin.
Meskipun waktu menunjukkan pukul 08.00, hawa di Babakan Siliwangi terasa dingin. Embun-embun di daun pun masih tersisa. Ini lantaran sinar matahari tak leluasa masuk karena terhalang dedaunan.
Saat ini hutan kota Babakan Siliwangi adalah sebuah pengecualian. Warga Kota Bandung kesulitan mencari kesejukan di tempat lain seperti di Babakan Siliwangi ini. Namun, hutan terakhir Kota Bandung itu kini tengah "menangis". Kekuatan kapitalisme berkolaborasi dengan birokrasi korup yang tak peduli lingkungan tengah merongrong eksistensi hutan penyerap karbon dan tandon air itu.
Tokoh senior Bandung, Tjetje Hidayat Padmadinata (73), mengakui, saat ini sulit ditemukan tempat sejuk di Kota Bandung. Pohon-pohon telah digantikan dengan bangunan dan gedung. Pejalan kaki gerah karena tak bisa berteduh dan diterpa asap kendaraan yang terjebak macet.
Kondisi ini berbeda dengan Bandung dulu. Tjetje ingat betul, 25 tahun lalu, di berbagai jalan, terutama sepanjang Jalan Abdul Muis, tumbuh ratusan pohon kenari dan akasia yang batangnya sebesar dua kali rangkulan orang dewasa. Tingginya mencapai 25-30 meter.
Saat itu, kata Tjetje, suhu di Kota Bandung berkisar 18-22 derajat Celsius. "Sekarang yang suhunya sedemikian paling hanya Lembang," ujarnya. Apa yang diutarakan Tjetje persis dengan potongan lagu "Kota Kembang" ciptaan A Rianto yang dipopulerkan Tetty Kadi pada awal tulisan ini.

Tinggal kenangan
President Republic of Entertainment Wawan Juanda (49), pada saat remaja, masih merasakan kesejukan serupa. Pada akhir dekade 1970-an, dia kuliah di Universitas Padjadjaran di Jalan Dipati Ukur dan National Hotel Institute (NHI) di Jalan Setiabudi. Setiap pergi kuliah pada pagi hari, dia harus mengenakan jaket karena dingin. "Dingin sekali. Sampai-sampai setiap saya bernapas pasti mengeluarkan uap seperti asap," ujarnya.
Di sepanjang jalan yang dilalui Wawan tumbuh ratusan, bahkan ribuan, pohon. Pohon kenari tumbuh di sepanjang tepi Jalan Pasirkaliki. Pohon mahoni tumbuh di tepi Jalan Wastukancana. Pohon angsana, akasia, mahoni, dan damar juga tumbuh di jalan-jalan yang biasa dia lalui. Dia kerap menunggu buah kenari jatuh untuk dijadikan mainan atau cincin.
Bagi Wawan, Kota Bandung saat itu seperti kota di tengah hutan. Di mana-mana tumbuh pohon rindang, udara sejuk, dan kulitnya tak pernah terbakar matahari. Kini, semua itu sudah berubah total. Suasana sejuk kini tinggal kenangan.
Wawan sadar, kondisi masa lalu Kota Bandung tidak akan bisa pulih seperti sediakala. Akan tetapi, bukan berarti pemusnahan hutan kota dilegalkan. Pohon, taman, dan hutan yang tersisa perlu dipelihara dan dilestarikan.
Jangan biarkan Babakan Siliwangi menjadi hutan terakhir yang terancam hilang di Kota Bandung. Jangan sampai warga menciptakan lagu sedih karena kotanya tak teduh lagi. Tahun 1978, lewat lagu "Kemarau", The Rollies sudah berteriak:
Mengapa, mengapa hutanku hilang dan tak pernah tumbuh lagi.
Sumber: Kompas, Sabtu, 20 September 2008

Read more...

Pelabuhan Ratu

>> Wednesday, September 17, 2008

One of the two beach resorts on West Java’s south coast, Pelabuhan Ratu is quiet village in a remote area. This is a place where you have two basic choiceness: do nothing and relax, or drive out into the countryside and go exploring. Compared to Pangandaran’s beaches, Pelabuhan Ratu’s are neither as ample nor as inviting, and there is little opportunity to stroll or bicycle down quiet beachside lanes; Pelabuhan Ratu is, however, closer Bandung. To Fully appreciate the area, a stay of a couple of days is recommended. Pelabuhan Ratu is about 160 km southwest of Bandung and a 3- to 4- hour drive.

Whereas Pangandaran is developing quickly and just as quickly losing its famed “small fishing village” status, Pelabuhan Ratu shows no signs of rapid development at present. Yet it should be noted that neither does it have quite the charm of Pangandaran. A favorite retreat for Jakartans, it is less favored by Bandung expatriates, mostly because the beaches and swimming are not as good as at Pangandaran.

The south coast of Java, as a rule rough and inhospitable, is fabled to be the realm of Nyai Roro Kidul, the Queen of the South Seas. Though beautiful, she is not an entirely friendly spirit-she is powerful, possessive and many a swimmer and boat crew have fallen prey to her. Strong currents and undertow make swimming extremely dangerous. Local residents may deny the danger, yet every year Nyai Roro Kidul claims her due.

The stretch of road from Padalarang to Cianjur is crowded during rush hours, but the closer you get the coast, the less traffic there is and the more scenic the landscape becomes Near Cikembar is a vast Chinese graveyard, and after Cikembang are rubber plantations.

As a “tourist” you have to pay a small fee to enter the village of Pelabuhan Ratu-local official will flag you down from their desk on the sidewalk. Inexpensive losmen are left and right, after which is the main part of town, a cluster of shops on each side of the road. The fish market is just around the bend, and beyond that are several small hotels and guest houses.

If you travel all the way to Pelabuhan Ratu, you will certainly want to stay at least a couple of days.

Compiled from: All Around Bandung, Exploring The West Java Highlands, Gottfried Roelcke, Gary Crabb.

Read more...

Goa Layay

>> Tuesday, September 16, 2008

At sundown thousands of bats swarm out of the Goa Lalay Caves just east of the main village area. It’s an eerie sight from the edge of the car park to watch what seems an endless stream of small bats swirling out of the dark caves and up into the evening sky.

Compiled from: All Around Bandung, Exploring The West Java Highlands, Gottfried Roelcke, Gary Crabb.

Read more...

Karang Hawu, Beachside Rock Formations

A popular spot for climbing about and exploring is Karang Hawu, about 5 km beyond Samudra Beach Hotel, or about 13 km from the village. Resulting from a lava flow that stopped here at the sea, this cliff is said to be where Nyai Roro Kidul, as a result of unhappy circumstances, jumped into the sea and became the powerful Queen of the South Seas. A few minibuses travel up and down the coast, making it easy to get around if you are not in a hurry.

Compiled from: All Around Bandung, Exploring The West Java Highlands, Gottfried Roelcke, Gary Crabb.


Photo: www.surfingpalabuhanratu.blogspot.com

Read more...

Cisolok Hot Springs

A few kilometers beyond (west of) Karang Hawu is the sleepy village of Cisolok. Just past the market area is a road to the right that ends at the Cisolok hot springs. A good footpath also leads to the springs, going along the side of a hill through tropical vegetation. The beginning of the trail is marked with a small crude sign just a few meters beyond the road mentioned above. This is an easy walk taking about thirty minutes. A small obstacle is that you have to ford a springs. However, t is likely that one of the people at the warung nearby will come to guide you across. You can return on foot or take an ojek back to the village for about $0.5.

The springs themselves are very popular with local people. Five-meter high geysers keep the water warm. The more adventurous can follow the creek up into the hills and search for other springs.

Beyond Cisolok, it’s a leisurely drive with superb coastal views, quiet villages along the way, and many opportunities to explore rural areas.

Compiled from: All Around Bandung, Exploring The West Java Highlands, Gottfried Roelcke, Gary Crabb.


Foto: www.travelermadness.tripod.com


Read more...

Pangumbahan, A Remote Turtle Beach

At Pangumbahan, giant sea turtles come ashore to lay their eggs at night, especially around October and November, a truly wonderful sight and best at full moon. The beach is near Ujung Genteng, a cape about 90 km, or three hour’s journey by car, from Pelabuhan Ratu. It’s difficult to find and you have to ask frequently for the pantai penyu on the last section of road. Near some large shrimp pond is a private station where rangers guard the beach and raise small turtles from the eggs (you can see them in some ponds). Very basic accommodation is available, or you can camp on the beach. Expect to pay the rangers $ 10-15, a fee well worth the experience.

Compiled from: All Around Bandung, Exploring The West Java Highlands, Gottfried Roelcke, Gary Crabb.

Read more...

Nyai Roro Idul

As many variations of the Nyai Ryo Kidul legend exist as there names for her. What is undisputed is that she is the Queen of the South Seas.

Read more...

Mt. Galunggung

>> Monday, September 15, 2008

Mt. Galunggung is the volcano which dominates not only the skyline of the Tasikmalaya area but also much of the town’s history as well.
This volcano erupts at fairly regular intervals of roughly seven to nine decades. Between eruptions, lava plugs form in the crater, only to be blown out again with the next eruption. There was a catastrophic eruption in the year 1822, after which a lava plug formed and gradually blocked the vent. The next big bang came in 1894, and sometime after 1918 the lava plug formed anew. The crater fell silent, and by 1973 even all solfatara activity had totally ceased. But based on past experiences, experts predicted the next eruption would not be far off. And indeed it wasn’t. On 5 April 1982 Mt. Galunggung erupted yet again and blanketed the whole surrounding area in ash. Moreover, its dust clouds reached so high into the atmosphere that the pilots of two international jetliners who were not taking this too seriously found themselves suddenly with stalled engines. The volcano’s violent activities lasted for about two years before subsiding.

Now Mt. Galunggung is quiet again, but the scars of recent events are still very much visible large areas on the mountain are barren of vegetation and more than five dozen hot springs are scattered around its slopes. Most of these springs are near the village of Cipanas, where they feed into the creek called Cibukur, sections of which contain nothing but hot water for several hundred meters. Further evidence of recent eruptions is the mining and quarrying of volcanic products, an activity which provides a live hood for many local people.

Climbing Mt. Galunggung
A hike to Mt. Galunggung’s newest crater (dating 1982) affords a splendid view from the crater rim. There are two approaches leading to the crater. The one near Singaparna requires a climb up of about two hours and can be hot and tiring; the climb should therefore be undertaken as early as possible in the morning. The climb from near Indihiang takes less than an hour.

From the crater rim you enjoy a fine view all across the Tasikmalaya Plain. Imbedded in the mountain flank is the crater proper, with steep, almost vertical walls. In the crater is a lake you can climb down to and where you can even swim. The path to the lake initially leads along the crater rim to the south and then down.
Directions:
For the Singaparna approach, drive to Singaparna from Tasikmalaya (6 km) and turn right (north) at a junction marked only by a small police station just opposite the turnoff (from Garut, Singaparna is about 60 km). Once on the turnoff, you travel several kilometers on a rough road; a minibus can normally get through but a four-wheel drive vehicle would be a safer bet. The road ends at a car park where you enter the Telagabodas Nature Reserve. Nearby is hot water to bathe in. To get to the crater, you pass through an entrance gate, turn left, cross a small stream and begin the climb through the forest. It takes about half an hour before you reach a plateau with open bush and grass. Because of small deceptive erosion gullies, the trail is not always very clear here, so be careful not to lose the way. You walk another; half hour and then begin the last, steep climb to the crater rim, which takes another hour. This is a shadeless, hot and tiring stretch straight uphill across loose rubble.

For the Indihiang approach, if you are coming from Bandung, turn right (west) off the main Bandung -Tasikmalaya road in Indihiang. The turnoff is through a portal near the market. After a dozen or so kilometers, you pass sand quarries and then the road gets rougher (four-wheel drive is advisable). A small car park is several kilometers more down the road. From here it’s less than an hour’s walk up the slopes of lava and ash to the rim of crater.

Compiled from: All Around Bandung, Exploring The West Java Highlands, Gottfried Roelcke, Gary Crabb.

Foto: http://www.langsing.net/

Read more...

Menanti Senyum Ratu dari Timur...

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO / Kompas Images Seorang wisatawan asing melintas di depan gedung bekas Kantor Jakarta Lloyd di kawasan Kota Tua, Jakarta Barat, Senin (23/6). Banyak bangunan tua yang merupakan aset wisata Jakarta kondisinya rusak parah dan rawan roboh


Upaya menghidupkan kembali kawasan Kota Tua di Jakarta Utara telah dimulai 40 tahun silam. Akan tetapi, kondisi kawasan seluas 649 hektar yang membentang dari Pelabuhan Sunda Kelapa, Kampung Luarbatang di utara, dan Jalan Petakbaru dan Jembatanbatu di selatan itu hingga kini masih karut-marut.
Sebagian besar bangunan tampak kumuh tak terurus. Warisan sosial budayanya pun nyaris tenggelam.
Revitalisasi Kota Tua dimulai pada era Gubernur Ali Sadikin (1966-1977). Waktu itu, Ali mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 11 Tahun 1972 tentang Penetapan Kawasan Cagar Budaya Kota Tua Jakarta. Blok Taman Fatahillah, Pasar Ikan, dan Glodok ditetapkan sebagai zona konservasi.
Pemugaran Balaikota menjadi Museum Fatahillah, gudang rempah menjadi Museum Bahari, Museum Keramik, trotoar Kali Besar, dan Jembatan Gantung Kota Intan merupakan sebagian yang pernah dikerjakan Ali. Revitalisasi berorientasi pada bangunan fisik dan bersifat parsial. Konsep revitalisasi sosial budaya masih belum tampak.
Sepeninggal Ali, hampir semua gubernur Jakarta, mulai Tjokropranolo (1977-1982) sampai Sutiyoso, juga mencanangkan program revitalisasi Kota Tua. Namun, tidak ada perkembangan berarti. Dari 284 bangunan tua di sana, kurang dari 10 bangunan yang diperbaiki. Aspal jalan diganti dengan batu andesit, tetapi baru sebagian kecil yang diperbaiki.
Revitalisasi fisik butuh puluhan miliar rupiah. ”Untuk perbaikan jalan saja habis Rp 5 miliar. Total yang digulirkan sejak tahun 2006 mencapai Rp 70 miliar untuk perbaikan Kali Besar, kawasan inti dari Kota Tua,” ujar Kepala Unit Pelaksana Teknis Penataan dan Pengembangan Kota Tua Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Candrian Attahiyat.
Bangunan lain dibiarkan terbengkalai. Sebagian tak berpenghuni, sebagian lagi difungsikan sebagai gudang barang-barang elektronik maupun kebutuhan rumah tangga. Setiap hari puluhan truk berlalu-lalang sehingga berpotensi mempercepat kerusakan bangunan yang rata-rata berumur 200-300 tahun itu.
”Kami tidak mungkin merevitalisasi semua. Dari 284, hanya 10 yang milik kami. Harapan kami, masyarakat ikut aktif merevitalisai bangunan tua yang mereka miliki,” katanya.
Arah revitalisasi makin tidak jelas karena belum adanya masterplan. ”Masterplan sedang dalam tahap penyelesaian. Mungkin akhir tahun ini rampung,” kata Candrian.
Kurang sosialisasi
Di sisi lain, masyarakat di kawasan Kota Tua mengaku tak pernah mendapat sosialisasi memadai mengenai revitalisasi. ”Kalau kami tidak diberi arahan, bagaimana bisa membantu revitalisasi?” papar tokoh masyarakat di Kelurahan Pakojan, A Rachman Alatas (80).
Selama ini, Rachman berinisiatif menjaga rumahnya yang merupakan salah satu bangunan tua. Bangunan berusia lebih dari 200 tahun itu setiap tahun diperbaiki, dengan biaya Rp 5 juta.
Sayang, tidak banyak warga seperti Rachman. Sebagian besar tetangga maupun ahli warisnya memilih menjual rumahnya dan tinggal di luar Kota Tua.
Tahun 1965 terdapat 10.000 keluarga keturunan Arab di Pakojan. Kini tinggal 15 keluarga. Rumah tua yang dijual lalu beralih fungsi menjadi bangunan seperti rumah susun dan toko.
Menurut warga sekitar Pecinan, Glodok, membongkar bangunan kuno lebih mudah asal ada uang pelicin. Padahal, ada aturan yang jelas-jelas melarang pembongkaran bangunan bersejarah.
Pemerhati kawasan Kota Tua sekaligus dosen Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Tarumanagara, Danang Priatmodjo, mengatakan, mustahil merevitalisasi kawasan Kota Tua hanya dari sisi fisik dan parsial.
Kunci menghidupkan kembali Kota Tua sebagai kota wisata bersejarah adalah membangun secara serentak berbagai aspek, termasuk sosial dan budaya. Mengajak pemangku kepentingan (stakeholders) berdialog merumuskan konsep. Setelah itu pemerintah harus memfasilitasi keinginan mereka dengan membangun infrastruktur jalan, jaringan listrik, telepon, dan saluran air bersih.
Alumnus Institut Teknologi Bandung ini mengatakan, revitalisasi Kota Tua tidak sulit seandainya pemerintah berkaca pada pembangunan kawasan Kemang di Jakarta Selatan.
Kota Tua bisa lebih hebat dari Kemang. Di sana terdapat pelabuhan kecil, Sunda Kelapa, yang menjadi pelabuhan utama Kerajaan Pajajaran di Bandung, Kerajaan Jayakarta, dan pusat perusahaan dagang Belanda, Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC).
Selain itu, untuk menumbuhkan, kawasan Kota Tua harus diisi dengan kegiatan masa kini, seperti membuka jasa penginapan, tempat makan, tempat nongkrong, dan pertokoan. Tidak cukup dengan membangun museum-museum yang mengoleksi benda-benda mati.
”Siapa yang mengisi kegiatan itu? Serahkan saja pada komunitas-komunitas yang tinggal, seperti etnis China dan Arab. Undang investor untuk meramaikan,” ujar pria yang sudah 15 tahun meneliti Kota Tua ini.
Kepala Subdinas Pengkajian dan Pengembangan dari Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta Tinia Budiati mengatakan, kesempatan dan ruang bagi komunitas Kota Tua untuk mengekspresikan budayanya sebenarnya telah dibuka.
Berbagai pertunjukan tradisional barongsai dan perayaan Tahun Baru Imlek pernah digelar. Akan tetapi, hanya pada saat-saat tertentu, seperti saat perayaan 17 Agustus. Belum ada rangkaian kegiatan yang terencana agar eksistensi budaya lokal tumbuh.
Populasi dan tradisi
Kurangnya perhatian terhadap kelestarian budaya lokal ini melahirkan kecemasan bagi komunitas di Kota Tua, khususnya orang Arab. Akhirnya banyak di antaranya yang menjual rumah dan memilih tinggal di daerah lain. Alasannya, kawasan Kota Tua tidak lagi mampu menampung kebutuhan mereka, secara materi, sosial, maupun budaya. ”Saya tidak tahu berapa lama lagi orang Arab bertahan di sini,” kata Rachman.
Masalah pelik juga dihadapi komunitas Pecinan di Glodok. Sebagian generasi mudanya memilih tinggal di luar Kota Tua, bahkan di luar negeri. Hal itu mengancam kelestarian tradisi khas mereka.
Persoalan lain adalah pluralisme etnis yang menguat. Komunitas China di Pecinan kian beragam. Contohnya di Gang Petak Sembilan. Di sana hidup beragam etnis China, seperti Kwang Tung, Hokkian, dan Kanton. Mereka memiliki kepentingan berbeda sehingga sering muncul konflik. ”Untuk menggelar perayaan Cap Go Meh saja sering ada beda pendapat,” kata Wong Wan Ai (55), Ketua Rukun Tetangga 02 RW 02 Kelurahan Glodok, Kecamatan Tamansari, Jakarta Utara.
Sebenarnya Kota Tua kaya dengan tradisi lokal yang masih bertahan. Tradisi China yang masih bertahan, antara lain, perayaan Tahun Baru Imlek, Cap Go Meh di hari ke-15 Imlek, dan Peh Cun di hari ke-100 Imlek.
Tradisi Arab pun belum hilang. Khatam Tarawih diselenggarakan setiap tanggal 27 Ramadhan dan tradisi kesenian Hadrah untuk mengiringi pesta pernikahan masih subur.
Sayangnya, sampai sekarang pemberian panggung bagi ekspresi budaya komunitas lokal tersebut belum terwujud. Padahal, pemberdayaan sosial dan budaya sangat menentukan, bukan saja bagi revitalisasi, tetapi juga eksistensi dan keunikan komunitas di dalamnya.
Memang tidak mudah mewujudkan itu semua. Butuh kerja keras semua kalangan agar membuat Ratu dari Timur itu tersenyum kembali.


Oleh: M Hilmi Faiq/ Runik Sri Astuti/ M Burhanudin


Sumber: Kompas, Selasa, 16 September 2008

Read more...

Supriatin, Menikmati Manisnya Stroberi

Oleh: Dwi Bayu Radius dan Cornelius Helmy

”Let me take you down cause I’m going to strawberry fields/ nothing is real/ and nothing to get hung about… strawberry fields forever...”

Read more...

Kebun Stroberi "Ngalingkung" Bandung

Oleh: Oleh Dwi Bayu Radius

Hawa di sepanjang jalan Kecamatan Ciwidey, Kabupaten Bandung, cukup sejuk. Di kiri dan kanan jalan, hamparan kebun stroberi terasa menyegarkan mata. Di beberapa sisi jalan terpasang papan yang mengajak pengendara untuk memetik stroberi di kebun.

Read more...

Museum

>> Tuesday, September 9, 2008


Read more...

Kebun Strawberry

Kebon StrawberryTak hanya lezat sebagai buah namun juga bisa diolah menjadi bernagai macam bidangan lezat seperti puding, keik, es krim, atau jus. Buah yang satu ini memang tampilannya menarik dan rasanya segar. Tak heran, strawberry memang digemari banyak orang.

Di Bandung, tak hanya kenikmatan melahap buah strawberry yang dapat Anda jumpai namun sensasi memetik strawberry langsung dari kebun strawberry yang biasanya terletak di dataran tinggi. Bayangan seperti memasuki dunia Allice in Winderland. Anda akan dibiarkan asyik di kebun penuh dengan buah strawberry yang siap petik dengan warna yang amat memikat. Biasanya untuk strawberry seberat 1 kg dihargakan Rp. 40.000,-. Di Bandung sendiri tempat memetik strawberry biasanya terletak di daerah atas seperti Ciwidey, Lembang, Cihanjuang, Cihideung, dll.

CIWIDEY

Strawberry merupakan salah satu komoditas buah-buahan unggulan dari Kabupaten Bandung. Di Ciwidey, tepatnya di Pusat Pengembangan Agrowisata para wisatawan dapat berkunjung ke perkebunan strawberry dan dapat menicicipinya. Letak perkebunan ini sekitar 25 m dari Soreang, ibu kota Kabupaten Bandung, ke arah selatan.

CIHIDEUNG

Memtik strawberry setelah itu menikmati berbagai panganan yang menggugah selera, seperti Nasi Timbel, Gurame Goreng, dll. Jika ingin memetik strawberry di sini waktu yang tepat adalah pada pagi hari karena jika siang maka strawberry sudah habis dipetik.

CIHANJUANG

Kebun strawberry di daerah iini tidak terlalu besar namun yang mengasyikkan adalah tempatnya yang berada satu kawasan dengan restoran, factory outlet, arena bermain, dan tempat jajanan. Jadi, sehabis lelah memetik strawberry, Anda dapat makan, berbelanja, atau mengajak anak bermain di taman bermain.

Read more...

Jajanan Bandung

>> Monday, September 8, 2008

Prices
In Bandung, meal prices are vary according to the places. In warung areas, the prices are approx 10.000-20.000 rupiah, in cafes, or local restaurants, the prices are approx 20.000-40.000 rupiah, while in foreign restaurants who serve international standard cuisine, the price is approx 40.000-100.000 rupiah.

Read more...

heritage architectures

Read more...

Arcitecture

Read more...

Heritage Culture

Read more...

Destinantions

Read more...

Kebun Binatang Bandung

Jl. Kebon Binatang No. 6 Taman Sari Bandung - 40132
West Java, Indonesia
phone: +62 22 2507302
Facilities:
Information
Toilet
Mosque
Place shelter
Settee
Ash can
Food booth & beverage
Building demonstrate
Museum pickling of animal
Kebun Binatang Bandung
Belajar mengenal lingkungan alam dan kekayaan flora dan fauna dapat Anda lakukan di Kebun Binatang Bandung. Kebun Binatang Bandung terletak di sebelah barat kampus Institut Teknologi Bandung, tepatnya di Jalan Taman sari.

Di halaman depan Anda akan disambut oleh kawanan gajah dan bebearapa kandang burung. Berjalan agak ke dalam Anda akan melihat kawasan tempat berbagai jenis ular. Tak jauh dari sana terdapat wisata hewan tunggang, antara lain gajah dan unta. Tak hanya itu, wisata bermain perahu di kolam buatan dapat Anda nikmati. Untuk dapat berkeliling kolam dengan menggunakan perahu kayuh Anda harus membayar Rp. 2000,-.

Ada juga arena bermain bagi anak-anak dengan berbagai macam permainan. Untuk memasuki area Kebun Binatang, Anda cukup membayar Rp. 9000,- saja dan bebas menikmati isi Kebun Binatang. Kebun Binatang Bandung dibangun pada tahun 1933 yang merupakkan penggabungan 2 kebun binatang yaitu dari Cimindi dan Dago atas yang dirancang oleh Dr. W. Treffers. Penggabungan ini dimaksudkan karena kedua tempat ini sudah tidak layak lagi untuk menyimpan berbagai binatang yang semakin lama semakin banyak.

Read more...

Sisi Lain Industri Kreatif Kaus

Oleh: Mamat Sasmita

Di dalam masyarakat Sunda ada yang disebut pakasaban, ada juga yang menyebutnya patukangan, yaitu jenis pekerjaan yang menjadi keahlian seseorang. Seperti anjun, yaitu tukang membuat barang sehari-hari dari tanah liat; gending, yaitu tukang membuat alat-alat dari bahan logam kuningan; kamasan, yaitu tukang yang membuat alat-alat dari bahan logam emas, itu yang berkaitan dengan pembuatan alat-alat.

Begitu juga dengan pekerjaan lain seperti tukang berburu di hutan disebut paninggaran atau pamatang. Sedangkan untuk tukang menangkap ikan dengan cara menyelam di sungai disebut palika, untuk tukang menangkap ikan di laut disebut pamayang.

Apabila membaca naskah Sanghyang Siksakandang Karesian (SSK), naskah kuno bahasa Sunda yang dibuat pada tahun 1518 M (transkripsi dan terjemahan, Saleh Danasasmita dkk, 1987), terdapat beberapa nama patukangan di antaranya pangeuyeuk (ahli kain/tekstil), paraguna (ahli karawitan), maranggi (ahli ukir), hareupcatra (ahli masak), darmamurcaya (ahli bahasa), dan sebagainya.

Apabila ingin tahu bentuk kain yang namanya kembang muncang, sebaiknya lihat saja bentuk bunga kemiri, bentuk gagang senggang kita lihat batang jenis tanaman perdu yang namanya bayam. Memang tidak semua nama jenis kain yang ada di SSK dikenal, dipilih saja yang bisa dibuat, yang tidak bisa biarkan saja, itu tugas para peneliti akademis. Tampaknya semua yang ada di SSK yang berkaitan dengan hal pakasaban pada dasarnya adalah industri kreatif.

Industri kreatif adalah proses peningkatan nilai tambah hasil dari eksploitasi kekayaan intelektual berupa kreativitas, keahlian, dan bakat individu menjadi suatu produk yang dapat dijual sehingga meningkatkan kesejahteraan bagi pelaksana dan orang-orang yang terlibat. Sedangkan kreativitas bisa muncul dengan latar belakang pendidikan, budaya, dan tentu saja talenta.

Salah satu klaster industri kreatif, yaitu tekstil dan produk tekstil (TPT), bisa berupa bordir, garmen baju, kaus, dan lain-lain yang berkaitan dengan produk tekstil. Misalnya daerah Suci sekitar Pasar Cihaurgeulis, Bandung, terkenal dengan produk kaus, entah itu kaus oblong, pakaian olahraga, atau produk lainnya yang berkenaan dengan kain kaus.

Desain

Dalam hal produksi kaus ini, ada hal yang perlu dipertimbangkan baik mulai desain tekstilnya (bahan kaus), desain fashion (potongan baju kaus), dan desain grafisnya sebagai ilustrasi atau gambar yang ditampilkan melalui media kaus itu. Memang kaus bisa dianggap sebagai media kreatif, selain tujuan utama sebagai hasil industri kreatif melalui desain fashion dan desain grafis.

Barangkali di sinilah bisa berpadunya antara kaus sebagai industri kreatif dan keunikan-keunikan budaya lokal melalui eksplorasi desain grafis. Kalau pada naskah SSK ada desain yang disebut kalangkang ayakan, rasanya bentuknya bisa ditebak, ayakan masih dipergunakan sampai sekarang. Kalau hanya ingin melihat kalangkangnya tinggal ditempatkan di terik matahari dan dilihat bayang-bayangnya, itulah desain kalangkang ayakan. Yang diperlukan supaya menjadi bentuk menarik di situlah kerja kreatif dari desainer.

Ciri khas Jawa Barat yang paling sering ditampilkan adalah gambar Gedung Sate, kujang, kecapi, atau angklung. Padahal masih banyak benda tradisional lain yang pantas ditampilkan seperti kele (ruas bambu untuk mengambil air), kolanding (ruas bambu untuk tempat air sadapan), lodong (sama dengan kolanding tetapi lebih panjang, beberapa ruas bambu), boboko (tempat nasi), aseupan, dan lain-lain.

Hal lain yang bisa "dijual" adalah bahasa Sunda itu sendiri. Ungkapan seperti ditilik ti gigir lenggik, disawang ti tukang lenjang, diteuteup ti hareup sieup....eta kabogoh abdi barangkali akan menjadi daya tarik bagi anak muda laki-laki. Keunikannya ada pada purwakanti (permainan bunyi kata pada susunan sebuah kalimat) bahasa Sunda. Untuk anak muda perempuan bisa saja sebagai jawaban ungkapan tadi mengambil kata-kata terong peot saboko, lumayan coel-coeleun, koboy gondrong nongtot leho lumayan toel-toeleun.

Tetapi, menampilkan bahasa Sunda seperti itu jangan sampai ada kesan merusak bahasa Sunda itu sendiri. Ada peribahasa Sunda yang berbunyi cikaracak ninggang batu, laun-laun jadi legok, secara guyon sering dilanjutkan dengan kata-kata tai cakcak dina huntu, laun-laun ge dilebok, itu bukan arti dari peribahasa tersebut, hanya keisengan yang murwakanti. Sebaiknya disisipkan juga arti sebenarnya dari peribahasa tersebut, yaitu awahing ku leukeun laun-laun jadi bisa (karena terus-terusan dilakukan dengan tekun akhirnya bisa terlaksana).

Bagi yang senang berkaitan dengan kritik sosial bisa dipakai ungkapan mipit teu amit, ngala teu menta, korupsi amit-amit, atau ilmu tungtut dunya siar, hade turut goreng singlar, lamun korupsi burut..!. Atau yang lainnya jaman kiwari babari muji, sologoto moyok,...kalakuan tukang pulitik.

Gelombang keempat

Sepertinya pesan itu disampaikan sebagai kritik sosial yang bernada humor, tetapi bukankah orang Sunda senang humor? Rasanya kata-kata bernuansa seperti itu tidak akan kering bila terus digali dari kekayaan budaya dan bahasa Sunda, tinggal keuletan untuk mencarinya dan memadukan antara teks dan desain grafis yang enak dinikmati.

Contoh desain sangat melimpah di internet, namun kebanyakan hasil dari luar negeri. Barangkali tidak terlalu salah untuk memulai kembali membuka buku-buku tentang Sunda melalui perpustakaan atau rumah baca. Memang ekonomi kreatif membutuhkan orang-orang yang memiliki kemampuan berpikir dari berpikir literal menuju berpikir metaforikal.

Hasilnya biasanya melalui pengamatan sepintas yang ada di sekitar kita. Industri kreatif ini lemah pada detail, bila dilihat dari jauh tampak sangat menarik. Tetapi, bila didekati dan dicermati misalnya jahitan tidak rapi terkesan asal jadi, begitupun kerapian desain gambarnya.

Hal lain yang berkaitan industri kreatif adalah membuat barang suvenir dari bahan logam. Sungguh sangat susah mencari jepitan dasi atau gantungan kunci yang berbentuk kujang, berbentuk keris, berbentuk kele, lodong.

Padahal, bagi kamasan atau gending, bukan suatu pekerjaan yang susah. Hal bahan tentunya mudah didapat, pemasaran bisa dilakukan melalui art shop baik yang ada di hotel-hotel maupun yang tersendiri. Itulah sisi lain industri kreatif yang bisa saling mengisi dengan keunikan budaya lokal (Sunda). Bukankah ke depan industri ekonomi kreatif akan menjadi andalan malah disebut sebagai industri ekonomi gelombang keempat setelah industri informasi dan teknologi.

MAMAT SASMITA Penggiat Rumah Baca Buku Sunda di Bandung

Sumber: Kompas, Kamis, 17 Januari 2008.


Read more...

Sri Baduga Museum, West Java's historical treasury

An orange mailbox dating from the Dutch colonial period, located to the left of the entrance, welcomes visitors to the Sri Baduga Museum in Bandung.
Few know exactly what exhibits are kept in the building, located at the BKR-Inhoftank crossroads, a busy spot south of the city.
This is understandable, as the museum, inaugurated on June 5, 1980, by Education and Culture Minister Daud Yoesoef, is generally frequented by elementary-, secondary- and high-school students. Their teachers may ask them to find out more about the history and culture of West Java, the province in which they live.
Run by the provincial administration, the museum has a collection of historical objects that mostly describe life in earlier periods of the region's Sundanese community. According to Rochmaniah, the museum's marketing officer, the exhibits shown comprise natural objects and cultural artifacts.
""The diversity of its collection covers 10 classifications ranging from geology, archeology, fine art and technology,"" Rochmaniah, who has worked with the museum for only four years, told The Jakarta Post recently.
To date, it has collected 5,893 exhibits, looked after by 82 employees. That number is inclined to increase in line with a public desire to hand over historical objects to the treasury to serve as resources for the museum.
It has three floors with an open display room, where the Inscription of Ciaruteun, an eight-ton black rock found in Ciampea, Bogor, is put on show. It is one of the seven inscriptions of the Tarumanegara kingdom built in 450 AD, and attracts a lot of visitors.
The first floor displays various natural objects and items of cultural interest found in West Java. Animals and plants of the Leuweung Sancang tropical forest reserve, Garut, can be seen at the entrance, along with a single-horn rhino (Rhinoceros sundaicus), a surviving ancient species whose population keeps shrinking in Ujung Kulon National Park, in the extreme southwest of Java.
A model portraying the geomorphology of Lake Bandung some 6,000 years ago, which resulted from the blockage of the ancient Citarum River by Mt. Tangkuban Perahu's eruption, provides a glimpse into the history of Bandung and its environs.
The same floor also presents cultural tools used by Sundanese ancestors such as axes in Tasikmalaya and Parigi, Ciamis, and crude knives in Tangerang. Museum personnel estimated that the Mesolithic devices were used for hunting and preparing food.
Animism is indicated by stone graves complete with stone axes and bangles offered to the dead, which were discovered in Mandiracan, Kuningan and Anyer Lor, Serang.
Sundanese traditional community life depicted on the second floor is no less appealing, with molds for cikak and satu cookies from Majalengka and Cirebon respectively, a miniature of the Kampung Naga communal house, Tasikmalaya, classroom furniture of the Dutch period and a replica of the Nagaliman carriage of Cirebon's sultanate.
Another heritage item dating from Dutch colonial times includes a grave dome measuring one meter by 0.5 meter, found in Dayeuhkolot, southern Bandung, before being moved later to the Christian graveyard of Kerkhof, Jl. Padjadjaran.
It belonged to Anna Maria, who died on Dec. 28, 1756, the daughter of Sgt. de Groote, a Dutch soldier stationed in Bandung. There are also village chief stamps of Cibodas, Ciparay and Bandung, of the same period, that were donated by Garut residents.
On the third floor are different kinds of Sundanese musical instruments like flutes, zithers and gamelan, besides wooden and leather puppets, as well as traditional wedding attire. The museum also keeps over 140 ancient manuscripts. Regrettably, owing to the small number of translators and limited financial resources, only 35 texts have been translated into Indonesian.
The diversity of the items is what prompts schoolteachers to take or assign their students to the museum. During the Travel Exchange (Travex) 2005 exhibition held in Bandung in the middle of last year, Sri Baduga was one of the tourist destinations that attracted guests from Singapore and Malaysian.
Rochmaniah said she received about 100,000 visitors per year, mostly students. They usually come Mondays through Fridays, with the general public predominating at weekends,"" she added.
Given the extent of its collection, however, the museum provides inadequate information. Amanda, a second-year state junior high school student in Bandung complained about the absence of guides. ""If no personnel are available, at least there should be booklets to describe historical facts for us,"" she said.
Fachrich, Amanda's friend, pointed to the dirty walls of the building. ""The brown stains on the walls make it look sleazy. Museums should be tidy and clean -- like those abroad,"" he remarked.

Source: The Jakarta Post, Fri, 05/19/2006

Read more...

Barli Museum Boosts Bandung's Fame

Just 110 unsold works of the late artist Barli Sasmitawinata remain in Bandung's Barli Museum as part of an exhibition held since the painter died earlier this year, aged 85.

According to his daughter-in-law, Agung Wiwekaputra, the family doesn't want the masterpieces to go on the market. But the pressure to sell remains, for many collectors are keen to buy works from the exhibition.

There's been no slump in enthusiasm for the artist and his work since he passed away on Feb. 8.

A steady stream of local and overseas visitors to the museum continues, and the fact that the artist is deceased seems to spur additional curiosity. Field trips from elementary through senior high schools are also frequent.

""The number of visitors has remained constant prior to and since Barli died,"" Wiwekaputra said, though she didn't reveal the actual figures. ""We're proud of this, because so many are young people keen to know more about his work.""

It was Barli's dream many years ago to start a museum, but the idea took time to germinate. The proposal was supported by his large family and by Charles Ali, a young architect who gave shape to the concept in 1992.

Barli was born in Bandung and educated in the Netherlands and France. One of the principle visions of the Barli Museum was to provide a showcase that would demonstrate how his painting style had developed over the decades.

He started with realism, and then moved through impressionism and into expressionism. Rural lifestyles were a hallmark of his art.

Early in his career (he took up the palette in 1935 while still a teenager), Barli became a member of the seminal collective, Lima Bandung Kelompok (Bandung five).

Other members of the grouping were master impressionist Affandi (1907-1990), perhaps the most acclaimed Indonesian painter from the last century; social realist Hendra Gunawan (1918-1983), who featured the lives of ordinary people; landscape artist Wahdi (1917-1996), and Indonesia's ""of realism"" Sudarso (1914-2006), famous for his portraits of beautiful women.

The Barli Museum later became a center for the appreciation of the finer things in life, promoting and celebrating the history and development of art in the Bandung region.

The facility has also helped strengthen the public's appreciation of art and the important contributions made by creative individuals to the intellectual life of the nation.

Many events and activities have been held in the museum. Among them have been exhibitions of arts and crafts for sale, formal and informal discussions on art and culture, and meetings to raise social, economic and technical issues.

Space has been allocated for visitors and locals to talk about developments in science and the arts. It also has shops selling souvenirs and other merchandise, and rooms for training, ceramics and publishing.

The Barli Museum's efforts have been part of an endeavor to boost art appreciation in Indonesia, to conserve important works for their historical and cultural values, and to commemorate Barli's name as a critical figure in Indonesian painting.

""Up to now, all the students who have come here want to know more about painting and have been encouraged by what they've seen and learned,"" said Wiwekaputra.

""Although the number has not yet reached the hundreds, since Barli passed away we feel that interest is increasing.""

As so often happens in the art world, the value of an artist's work generally escalates after their death, and when enthusiasts are keen to buy from limited stock.

This certainly holds true for Barli; many collectors are vying for his artwork and their value has jumped sharply -- although the museum will not sell from its collection.

The same thing happened when Hendra Gunawan died 24 years ago. While he was still active at the easel, prices for his art remained static, but following his death, some of his creations reached a staggering Rp 1 billion (US$110,000).

Art connoisseur Heru Hikayat from the Bandung Institute of Technology said holding back the work of a deceased painter was a market strategy. Staging a retrospective featuring aspects of the artist's life would also help boost prices.

Ranking equally with the Barli exhibit are the museum's activities promoting appreciation of fine arts and creating a center of excellence and education. These were the lifelong goals of the artist, who co-founded the fine arts department at the Bandung teachers' college in 1961.

Heru said he hoped the Barli Museum would help enhance the reputation of Bandung as a center of culture, joining other public and private collections to consolidate the West Java city's fame.

Bandung already has a geology museum and the Sri Baduga Museum, which has a collection of artifacts, old manuscripts and historical farming equipment used by Sundanese farmers.

Meanwhile, the Mandala Wangsit Siliwangi Museum has preserved weapons and artifacts from the independence struggle. Bandung also has a philately museum and the Asia-Africa Museum, the latter of which holds an historical collection from the inaugural 1956 Asia-Africa Conference in Bandung.

Other fine arts galleries in the city include the A.D. Pirous Gallery, the Pohaci Studio, the R-66 Gallery, the Hidayat Gallery and the Selasar Seni Sunaryo Gallery.

Besides learning more about art and culture, and enjoying and appreciating the celebrated painter's works, visitors to the Barli Museum can discover more about the artist's life and philosophy by reading the 2004 biography, Kehidupanku Bersama Barli (My life with Barli), written by his wife Nakisbandiah.

A separate biography of the artist was published in 2003 as part of a discourse on Indonesian art.

Kehidupanku Bersama Barli features Barli's work from the 1943-2004 period, and was Nakisbandiah's special gift to her husband on his 83rd birthday, when the artist held a solo exhibition.

Half the 200-page book is devoted to his work, the rest to comments and tributes by aficionados and supporters, including collector Oei Hong Djien, former education and culture minister Fuad Hasan, academic Jim Supangkat, collector Agus Dermawan, art curator and academic Mamannoor, and the former tourism and culture minister, I Gde Ardika.

Barli Museum, Jl. Prof. Dr. Ir. Sutami No. 91, Bandung. Open daily from 9 a.m. to 5 p.m., including public holidays.

By: Matdon

Source: The Jakarta Post, Fri, 07/20/2007


Read more...

Gajah Pernah Hidup di Tatar Sunda

>> Sunday, September 7, 2008

Benda keras yang semula dikira catang kalapa (tunggul kelapa) itu ternyata fosil geraham gajah purba yang pernah berkeliaran di Tatar Sunda. Penemuan fosil ini tidak terduga.

Di musim kemarau tahun 2004, sumur keluarga Ishak Surjana (55) pun makin hari semakin berkurang airnya. Maka diputuskanlah untuk memperdalam sumur yang bentuknya persegi empat itu. Putranya, Imam Rismansyah (31) dibantu Ishak melakukan pekerjaan memperdalam sumur tersebut.

Saat Imam menggali lapisan yang terdiri dari pasir dan bebatuan seukuran jeruk siam, linggisnya menghantam benda keras. Saking kerasnya benda tersebut, Ishak menyarankan Imam untuk memahatnya, dan benda keras itu berhasil diangkat. Tapi sungguh mengagetkan.

Benda yang baru saja diterimanya itu bukan batu biasa. Ia memperlihatkan kepada istrinya, yang mengomentarinya, “Seperti catang kalapa!” katanya, karena bentuknya seperti serat-serat akar pohon kelapa, ada galur-galur seukuran kelingking.

Keluarga itu semakin penasaran, apalagi Imam yang saat SMP dulu pernah berkunjung ke Museum Geologi, Bandung, dan melihat banyak fosil di sana. Atas dasar itulah Imam dengan diantar saudaranya mengantarkan sepotong benda itu ke Museum Geologi di Jln. Diponegoro No. 57, Bandung.

Ketika fosil gajah yang ditemukan di Rancamalang, Kabupaten Bandung, 7 Juli 2004 itu diperlihatkan kepada ahlinya di Museum Geologi, Dr. Fachroel Aziz dengan hanya mengamati sepintas pun sudah langsung dapat menduga, ini adalah fosil geraham gajah Asia (Elephas maximus). Dari segi keutuhan fosil geraham, fosil dari Rancamalang ini bisa jadi merupakan fosil geraham paling utuh, bahkan di dunia. Akar giginya masih lengkap dan utuh.

Di Jawa Barat, sebenarnya sudah banyak ditemukan fosil stegodon dan gajah, seperti di Baribis, di Punggungan Tambakan (Subang), di Cibinong (Bogor), di Cikamurang (Sumedang), di Cijurai (Cirebon), atau di Mauk (Tangerang).

Melihat banyaknya fosil gajah yang ditemukan di Jawa Barat, rasanya tak kebetulan bila karuhun kita menamai tempat memakai kata gajah. Di Kota Cimahi ada Leuwigajah, di Kabupaten Bandung ada Kampung Gajah, Gajahcipari, Gajaheretan, Gajahkantor, Gajahmekar, di Garut ada Gununggajah dan Karang Gajah, di Cirebon ada Pagajahan dan Palimanan.

Nama tempat lainnya yang memakai kata gajah dicatat oleh Bujangga Manik (abad ke 16) dalam perjalanannya yang kedua mengelilingi Pulau Jawa dan Bali. Bujangga Manik menulis:

“….Samungkur aing ti Tumbuy,
meuntasing di Ci Haliwung,
nanjak di sanghyang Darah,
nepi ka Caringinbentik,
sananjak ka Balagajah,
ku ngaing geus kaleumpangan.
Nanjak aing ka Mayangu,
ngalalar ka Kandangserang
na jalan ka Ratujaya,
ku ngaing geus kaleumpangan.
Datang ka Kadukadaka,
meuntas aing di Ci Leungsi,
nyangkidul ka Gunung Gajah….”

Melihat begitu banyaknya nama tempat yang menggunakan kata gajah, dan hampir di setiap daerah ada, sangat mungkin manusia prasejarah di Tatar Sunda sudah sangat terkesan dengan binatang berkaki empat yang ukurannya sangat besar ini.

Bahkan, anak-anak di Pameungpeuk, Kabupaten Garut, yang pada tahun 1960-an belum pernah melihat gajah, tetapi kalau tatarucingan (teka-teki) sehabis salat isa di masjid, ada saja anak yang memberikan soal, “Gajah depa ngegel rokrak/ruhak!” atawa “Gajah depa beureum hatena!” Jawabannya adalah hawu atau tungku.

Bukan hanya nama tempat yang memakai kata gajah, tapi juga nama tokoh dalam cerita pantun Sunda, seperti Gajah Lumantung (Carita Gajah Lumantung), Prabu Munding Liman (Lalakon Kuda Wangi), Bagawad Liman Sanjaya, Dipati Gajah Waringin, Dipati Gajah Cina (Carita Raden Rangga Sawung Galing), Dipati Gajah Waringin (Carita Raden Tanjung), Gajah Hambalang (Carita Nyi Sumur Bandung), Raden Pati Gajah Menggala (Carita Panggung Keraton), Gajah Taruna Jaya (Carita Lutung Leutik), atau Gajah Siluman, Liman Sanjaya (Carita Raden Mungdinglaya Di Kusumah).

Dalam babad, ada juga Gajah Manggala dan Arya Gajah, dua pembesar Pajajaran yang menjadi utusan Prabu Siliwangi untuk melamar putri Limbangan yang cantik jelita.

Walaupun pada awalnya Nyi Putri menolak lamaran itu dengan jalan menghilang dari kampungnya, sehingga meninggalkan jejak berupa nama-nama Kampung Buniwangi atau Kampung Sempil. Setelah dinasihati orangtuanya, Nyi Putri berkenan dinikahi Prabu Siliwangi.

Dari pernikahannya itu mereka dikaruniai dua putra, Basudewa, dan yang satunya lagi namanya menggunakan kata gajah, Liman Sanjaya. Atau juga Anggaranting Gajah, putra dari Sanghyang Cakradewa, atau adik dari Sanghyang Borosngora dari Panjalu.Dalam cerita Sunda kuna dari kaki Gunung Cikuray, Kabupaten Garut yang berjudul Ratu Pakuan terdapat kata gajah.

Perjalanan hidup

Kata gajah hampir dipakai dalam setiap kesempatan yang sangat penting dalam perjalanan hidup manusia Sunda. Ketika menanam padi di sawah, ada sejenis rumput yang tinggi, dengan buahnya seperti gandum yang biasa disebut petani sebagai gagajahan.

Ketika berbahasa, ada peribahasa Banteng ngamuk gajah meta. Di Kepulauan Sunda Besar ada juga peribahasa, Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, dan Tiada gading yang tak retak.

Rumput yang biasa ditanam di halaman rumah pun namanya jukut gajah. Ada juga jenis rumput jukut cengceng yang disebut juga , tapak liman, atau tanaman pot berdaun lebar di teras rumah, kuping gajah, yang pernah menjadi tanaman kesayangan para ibu.

Ketika membangun rumah (ngadegkeun imah), tiang-tiang rangka dengan palang dan siku-sikunya dinamai gagajah. Demikian juga nama penyakit, kakigajah, dan Museum Nasional di Jakarta.

Tampaknya masyarakat Sundakalapa tak ambil pusing dengan nama resmi, karena di depan gedung itu ada patung gajah, maka disebutlah Gedonggajah atau Museum Gajah!

Sedangkan di Kesultanan Cirebon ada kereta zaman kesultanan yang diberi nama Joli paksi naga liman. Kereta berkepala gajah, berbadan naga yang bersayap.

Bahasa Jawa kuno untuk gajah adalah liman, artinya binatang buas dengan satu tangan. Bahasa Kawinya adalah asthi.

Bila melacak lebih ke belakang, dalam naskah Sunda kuna, gajah adalah binatang yang sudah sangat akrab, seperti terulis dalam Carita Parahyangan. Pada saat Raja Tarumanagara, Sri Maharaja Suryawarman melepas kepergian Resiguru Manikmaya yang menikah dengan putrinya Dewi Tirthakancana, menghadiahi pengantin baru itu berupa Mandala Kendan lengkap dengan hamba sahaya, pasukan bersenjata lengkap, dan beberapa ratus warga masyarakat anak negeri. Lebih lanjut dituliskan:

“Kepada menantunya, Sri Maharaja juga memberikan berbagai harta benda, perhiasan raja, begitu juga pakaian dan tanda kebesaran raja beserta istri dan sejumlah menteri, abdi raja, para pejabat kerajaan,bahkan seluruh harta-benda, dan berbagai makanan dan minuman yang lezat, berbagai kendaraan, yaitu kereta, liman (gajah), kuda, sapi, lembu, kambing, anjing, ayam dan yang lainnya pula.(Dalam Drs. Atja dan Dr. Edi S. Ekadjati, 1988).

Naskah Sunda kuna yang juga memuat kata gajah (gajendra) adalah Sanghyang Siksakandang Karesian, seperti tertulis dalam seloka:

“Telaga dikisahkan angsa

Gajendra (gajah) mengisahkan hutan

Ikan mengisahkan laut

Bunga dikisahkan kumbang.”(dalam Saleh Danasasmita, dkk., 1987)

Dalam naskah Sunda kuna Darmajati pun terdapat kata gajah, seperti yang ditulis di bawah ini:

“Mengitarai kenyataan itu, kegiliran jadi hamba sahaya, sebab sudah ketentuan Hiyang Guru, menjadi penyelam dan pemburu, menjadi penjaring dan pemarak ikan, menjadi penggembala dan sarati (pawang gajah), menjadi pembantu dan pengusung, menjadi penyapu orang, pelindung penopang orang, perahu tidak berhenti, tersapu banjir jadi mengembang, egois jadi malu bercampur marah, racun ikan tidak mempan.”(dalam Undang A. Darsa, dkk., 2004).

Naskah Sunda kuna lainnya yang memuat kata gajah adalah Sanghyang Raga Dewata:

“Adalah sepotong kayu di jalan, direbahkan ditegakkan,

diberdirikan untuk dihalangkan, dipalangkan waktu kita berperang, tatkala kekuatan kita (akan) kalah. Sepertinya semua bergerak, gajah singa macan beruang,

kerbau sapi badak lasun.

Jangan takut oleh musuh!”(dalam Edi S. Ekadjati dan Undang A. Darsa, 2004)

Selain dalam naskah Sunda kuno, Dr. N.J. Krom, pada tahun 1914 melaporkan, banyak patung yang ditemukan di Tatar Sunda berbentuk gajah. Patung-patung itu ada yang disimpan di Museum Gajah di Jakarta. Demikian juga dalam Yantra/Mandala yang ditemukan di Tapos (Bogor). Dalam batu itu terukir gambar stilisasi gajah.

Kapan gajah datang?

Bila mengamati peta bumi Kala Plestosen, keadaan itu terjadi akibat adanya perubahan iklim yang ekstrem di kawasan lintang tinggi, sehingga kawasan yang maha luas itu membeku, bersatu dengan kutub-kutubnya. Akibatnya, air laut menyusut, sehingga Paparan Sunda dan Paparan Sahul yang semula kedalamannya kira-kira 200 meter itu menjadi kering. Situasi inilah yang dijadikan alasan bagi binatang, kemudian diikuti oleh manusia untuk berjalan dari Asia menuju kawasan di daerah tropika. Pada Kala Plestosen inilah gajah datang ke Indonesia, dan hidup dengan nyaman di Jawa Barat, yang saat itu suhunya kira-kira 170C.

Kapan gajah musnah?

Anak gajah (menel) yang berupa boneka kain, kini menjadi sahabat setia anak-anak. Gajah cilik yang empuk dan manis itu disukai dan dapat digendong ke mana saja oleh anak-anak.

Dalam dunia usaha, gajah masih menjadi pilihan simbol yang dapat menggambarkan kekuatan atau prodak yang berukuran besar atau mempunyai daya muat besar (jumbo), seperti merek sarung, iklan kulkas, iklan mobil buntung (pick up), printer, atau kuaci.

Alfred Russel Wallace, pada bulan Oktober 1861 menjelajahi Jakarta, Bogor, Gunung Gede dan Gunung Pangrango, tidak melaporkan adanya gajah yang secara alami berada di alam asli kawasan ini.

Dalam ekspedisinya itu Wallace tidak mengadakan perjalanan di Bandung, yang sesungguhnya masih sangat alami. Bisa jadi karena jalan kereta untuk berkuda belum masuk ke Bandung. Keadaan jalan sampai tahun 1811 baru menyambungkan Anyer – Jakarta – Bogor – Cirebon – Semarang – Surabaya - Panarukan. Berselang 27 tahun kemudian, baru ada jalan kereta kuda antara Jakarta – Bogor – dan berakhir di Bandung.

Perburuan di Bandung yang dilakukan orang-orang Eropa pun tidak menceritakan adanya gajah yang hidup secara alami. Mereka hanya menemukan badak, tak terkecuali di sekitar Bandung.

Sampai kapan gajah-gajah itu berkeliaran di Tatar Sunda? Ataukah gajah-gajah asli yang bermigrasi secara alami dari daratan Asia itu musnah ketika manusia prasejarah di Tatar Sunda menemukan perkakas, sehingga mereka mempunyai kekuatan untuk membunuh gajah yang dimanfaatkan dagingnya sebagai bahan makanan?

Bila fosil gajah yang ditemukan di Rancamalang itu ditaksir hidup kira-kira 35.000 tahun yang lalu, pada saat itu Danau Bandung purba sedang berada pada kondisi puncak. Air danau berada pada posisi tertinggi, mencapai kontur 712,5 meter dpl.

Danau Bandung purba mengering sejak 16.000 tahun yang lalu. Pada masa ini di Bandung sudah dihuni manusia, seperti adanya kerangka ngaringkuk di Gua Pawon, di perbukitan kapur Citatah, lengkap dengan perkakas batu, obsidian, tulang, cangkang siput, cangkang kemiri (muncang), bahkan ada perhiasan/kalung dari gigi ikan hiu yang sudah dilubangi.

Mungkinkah musnahnya gajah di Tatar Sunda karena adanya perubahan iklim yang ekstrem? Apakah suatu perubahan iklim yang ekstrem itu hanya berlaku di suatu kawasan, dan tidak terjadi di kawsan lain atau di pulau lainnya? Mengapa gajah di Sumatra tetap hidup hingga kini walau jumlahnya kian hari kian berkurang karena kawasannya terus dipersempit manusia?

Gajah adalah binatang raksasa yang berat dan tak tahan panas. Itulah yang menyebabkan telinganya selalu mengipas-ngipas, agar suhu di dalam dapat tetap seimbang. Karena tak kuat panas itulah gajah sering pergi ke sungai atau rawa untuk berkubang.

Pada umumnya, fosil gajah yang ditemukan di Jawa Barat, berada di pinggir sungai, di bekas danau atau sungai purba. Kebiasaan gajah berendam inilah yang dimanfaatkan manusia untuk membunuhnya. Daging gajah adalah sumber protein bagi manusia prasejarah.

Musnahnya gajah di Tatar Sunda adalah pelajaran bagi manusia saat ini, di kawasan ini pernah dihuni binatang raksasa, dan hampir merata di setiap daerah, mulai dari pantai hingga dataran tinggi.

Saat ini, kehauskuasaan, kerakusan, sedang berjangkit di kawasan ini. Sangat mungkin, perilaku inilah yang akan atau sudah memusnahkan beberapa mahluk Tuhan, yang kita sendiri belum menyadari betapa pentingnya keberadaan mereka bagi manusia, sementara mahluk itu sudah musnah dan tak akan pernah lahir kembali. Sayang!

T. Bachtiar, Anggota Masyarakat Geografi Indonesia, dan Kelompok Riset Cekungan Bandung.

Sumber: Pikiran Rakyat, Kamis, 21 Juli 2005.

Read more...

About This Blog

Lorem Ipsum

  © Free Blogger Templates Skyblue by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP