Nasibmu Kota Cimahi...

>> Thursday, March 27, 2008

Eforia otonomi daerah masyarakat Cimahi rupanya tidak berumur lama. Hanya dalam kurun waktu lima tahun sejak diresmikan menjadi kota, Cimahi sudah mulai megap-megap menghadapi berbagai masalah perkotaan yang muncul karena luas wilayahnya yang terbatas.
Letak wilayah kota tua di Jawa Barat yang menyimpan sejarah kolonial dengan peninggalannya berupa bangunan-bangunan tua itu sebenarnya tidak jauh-jauh amat dari Kota Bandung yang menjadi pusat pemerintahan daerah Provinsi Jawa Barat.

Read more...

Visit "Banjir" Indonesia 2008

>> Wednesday, March 26, 2008

Oleh: Rhenald Kasali
Setelah 17 tahun tertidur, Indonesia kembali mencanangkan Tahun Kunjungan untuk merengkuh tujuh juta wisatawan mancanegara. Bagi negeri berpanorama indah, jumlah ini terbilang kecil dari segala hal, tetapi penting untuk memulai komitmen baru. Bagaimanapun, pariwisata terkait erat dengan lingkungan hidup, nilai-nilai sosial, investasi, dan keamanan.
Meski demikian, saat bendera start dikibarkan, bukan berita indah yang muncul, tetapi banjir, kesemrawutan pengelolaan bandara, kemiskinan, flu burung, dan lainnya. Benarkah Indonesia berkomitmen membangun masa depan pariwisatanya?

Potensi pasar pelancongan
Setelah menghadapi berbagai tekanan (perang Irak, wabah SARS, tragedi WTC, dan tsunami) sepanjang 2001-2004, pariwisata dunia bangkit kembali. Menurut World Tourism Organization (WTO), kunjungan internasional 2006 mencapai 846 juta (tahun 2000, 684 juta). Kenaikan terbesar terjadi tahun 2006, 43 juta.
Dari tambahan itu, sebagian besar dinikmati Eropa (22 juta) dan Asia (12 juta). Sayang, kenaikan pesat ke Asia itu belum dinikmati Indonesia yang terkesan pasif, kurang peduli.
Saat wisatawan ke Malaysia meningkat dari 16,4 juta menjadi 17,5 juta dan ke Thailand naik dari 11,5 juta menjadi 13,9 juta, Indonesia justru kehilangan 0,2 juta (dari lima juta) wisatawan. Berbagai masalah keamanan tidak diimbangi peningkatan pelayanan di bandara. Bahkan, terjadi pembiaran, perusakan lingkungan, ketidakmampuan menangani sanitasi (khususnya sampah), dan terakhir terlihat betapa amatir dan tradisionalnya penanganan bandara internasional dan bencana alam yang terjadi berulang-ulang.
Padahal, jika dikelola dengan baik, ekonomi pariwisata lebih prospektif ketimbang pertambangan yang menyisakan kerusakan lingkungan. UN–WTO memperkirakan pariwisata dunia tahun 2006 mencapai 733 miliar dollar AS. Bahkan, 75 negara yang panorama dan kebudayaannya tidak begitu penting masing-masing berhasil meraih minimal satu miliar dollar AS dari sektor ini.
Bisnis ini menampung pekerja dengan spektrum amat luas, mulai dari transportasi, travel, perhotelan, telekomunikasi, hiburan, pendidikan, makanan, cenderamata, dan perdagangan. Jika pariwisata berkembang, kita bisa memindahkan ribuan sopir angkot yang sulit hidup dan memacetkan kota menjadi petugas antar- jemput yang lebih sopan dan sejahtera.

Rambut hitam atau pirang
Setiap kali berbicara tentang turis, biasanya kita membayangkan turis-turis bule, berambut pirang (blonde), yang datang dari Eropa, AS, atau Australia. Apakah mereka turis-turis kaya yang menetap di desa-desa seni di Ubud atau backpackers yang hanya bersepeda dengan sandal jepit dan menempati losmen-losmen murah di sekitar Kuta–Legian (Bali).
Gambaran itu tidak seratus persen salah karena wisman yang datang dari jauh belakangan ini meningkat signifikan. Bahkan, dari daftar top 10 spenders, tujuh di antaranya wisman dari negara-negara blonde. Sisanya, tiga bangsa dari Asia, yaitu Jepang, China, dan Korea Selatan.
Indonesia harus realistis. Wisman blonde adalah pelancong yang hidupnya sudah amat teratur, terencana, dengan standar kehidupan tinggi. Jika ada sedikit masalah, bisa menimbulkan pembalikan dan omongan negatif yang dahsyat. Kita baca data lebih jernih. Sekitar 80 persen pasar pariwisata di seluruh dunia adalah wisman regional, atau lokal yang datang dengan kendaraan darat, atau sekadar menyeberang selat-selat kecil. Potensi pasar itu bukan cuma dekat secara fisik, tetapi juga lidah dan kebiasaan hidupnya tidak berbeda secara ekstrem.
Jadi, sekitar 80 persen wisman di Malaysia dan Thailand berasal dari Indonesia, Singapura, China, dan India. Maka, mudah ditebak, potensi pasar wisman Indonesia sebenarnya juga tidak jauh-jauh. Itu sebabnya badan promosi pariwisata Malaysia dan India tak henti-hentinya berpromosi di berbagai hotel di Indonesia. Sayang jika Indonesia mengejar yang jauh, sementara yang pasti-pasti dilepas. Selain pemborosan, dalam pemasaran berlaku pepatah, if you want to sell to everyone you’ll end up to sell to no one.

Perlu komitmen baru
Dengan anggaran promosi pariwisata yang terbatas (Rp 150 miliar) dan kurang siapnya daya dukung di berbagai sisi di dalam negeri, wajar bila kita bertanya: Benarkah Indonesia berkomitmen membangun pariwisatanya? Komitmen bukan pesan-pesan PR (public relations) bahwa kita benar-benar siap. Komitmen tampak dalam tindakan dan gerak irama yang saling mengisi, complementarity seluruh komponen bangsa dalam menghadapi segala kemungkinan.
Negara-negara yang komit, jumlah kunjungan wismannya naik signifikan. Komitmen itu bukan hanya urusan promosi wisata, tetapi juga urusan penerbangan, otoritas bandara, jalan tol, dan permukiman yang dilewati wisatawan, pekerja yang santun dan berkualitas, birokrasi yang sigap, keamanan, imigrasi, lingkungan hidup, tata krama, kaum adat, pendidikan, industri, dan sebagainya.
Komitmen juga tampak dalam allignment yang menyatu dan saling mengisi. Allignment yang buruk akan tampak dalam wujud fisik interior bandara yang kusam dan lampunya redup, kemacetan lalu lintas, penataan jalan dan parkir, pengaturan arus puncak wisatawan, sikap dan etos pedagang cenderamata dan petugas keamanan, standar kebersihan industri kuliner, dan penanganan banjir.
Komitmen juga tampak pada peremajaan produk. Produk pariwisata yang itu-itu saja menghambat pengulangan kunjungan. Pariwisata kontemporer adalah wilayah luas, yang menggabungkan keindahan, impian, petualangan, pembelajaran, teknologi, hedonisme, dengan kesenian. Itu sebabnya arena balap, shopping festival, snoorkling, diving, dan sport festival mulai menjadi jangkar wisata yang penting. Jika ada komitmen, mudah meremajakan dan memperluas produk pariwisata yang mulai terkesan ketinggalan.
Dalam setiap proses evolusi, selalu ditemukan penuaan yang bukan disebabkan usia, tetapi karena tetangga berdandan, tampak lebih muda. Dan jika hal-hal seperti banjir saja tak bisa ditangani, bukan cerita baik yang akan dibawa pulang wisatawan. Bukan sekadar backfired, sejarah akan mencatat Indonesia sebagai negara yang memperkenalkan kampanye baru, Visit Banjir Indonesia 2008.
Rhenald Kasali Pengajar di Universitas Indonesia

Sumber: Kompas, Sabtu, 16 Februari 2008.

Read more...

Miss Tjitjih, Pengabdian Seorang Gadis Sumedang

Oleh Fandy Hutari
Nyi Tjitjih awalnya hanyalah seorang pemain sandiwara Sunda biasa di Sumedang. Perannya di atas panggung juga terbilang biasa saja dengan peran sebagai penyanyi atau seorang putri raja di waktu lain. Namun, kisah perjalanan hidup Nyi Tjitjih perlahan berubah setelah bertemu dengan Aboe Bakar Bafaqih. Ketika itu, Bafaqih, seorang Arab kelahiran Bangil (Jawa Timur), bersama rombongan stambulnya sedang melakukan pertunjukan keliling di Jawa Barat.

Read more...

Schoemaker dan Penanda Kota Bandung

>> Thursday, March 13, 2008

Boleh jadi belum banyak orang tahu bahwa arsitek bernama lengkap Prof Ir Kemal Charles Proper Schoemaker (1882-1949) memiliki banyak peran dalam pembangunan gedung bersejarah di Kota Bandung, kota di mana ia dimakamkan. Ia seorang dari beberapa arsitek Belanda ternama yang banyak berkarya di Indonesia selain Thomas Karsten, dan Henry McLaine Pont. Dia juga guru presiden pertama RI Soekarno dan para insinyur pribumi angkatan pertama semasa kuliah di Technische Hogeschool (kini menjadi Institut Teknologi Bandung/ITB). Selain bangunan, tidak sedikit tulisan hasil penelitiannya mengenai kebudayaan Indonesia khususnya tentang arsitektur tradisional termasuk candi. Bersama McLaine Pont, arsitek yang merancang Kampus ITB, arsitek kelahiran Banyubiru, Ambarawa, ini membentuk kesatuan pandangan arsitektur yang sangat memperhatikan potensi dan budaya setempat yang tampak pada karyanya. Berikut ini sebagian karyanya yang bertebaran di penjuru Kota Bandung, mulai dari gedung pertemuan, hotel, bangunan kantor/komersial, masjid dan gereja, rumah tinggal, penjara, hingga laboratorium penelitian. Hampir semua karya itu menjadi penanda fisik penting di Bandung.
GEDUNG Merdeka di Jalan Asia-Afrika merupakan salah satu artefak yang sangat menyejarah di Kota Kembang karena di gedung tersebut pernah diselenggarakan Konferensi Asia-Afrika tahun 1955. Pada abad ke-19 gedung itu mulanya digunakan sebagai gedung Societeit Concordia yang merupakan perkumpulan orang-orang terkemuka. Namun, pada tahun 1930 bangunan itu dirombak total dari idiom klasik ke Arsitektur Modern oleh Schoemaker. Karena menjadi bangunan yang teramat penting, sejak tahun 1955 hingga saat kini tidak ada sedikit pun dilakukan perubahan berarti. Karya lain adalah hotel paling eksotik yang dibangun pada masa kolonial yakni Hotel Preanger. Hotel ini jelas mengingatkan pada langgam seni dekoratif Frank Lloyd Wright pada awal 1920-an, khususnya karya Imperial Hotel di Tokyo (1915-1925).Motif geometrik secara dekoratif mengisi pada bidang dan pertemuan elemen bangunan. Karya ini memberi identitas tersendiri yang menegaskan sebutan Art Decorative. Pengaruh ini sebenarnya muncul dalam banyak bangunan kolonial di Bandung. Boleh jadi, gejala ini juga merupakan imbas dari maraknya langgam serupa di kota-kota Eropa sekitar tahun 1920-an. Jika ia pernah merancang bangunan komersial di Surabaya seperti Kolonial Bank (Jalan Jembatan Merah) dan Java Store (Jalan Tunjungan), Schoemaker pernah juga merancang bangunan bernama Jaarbeurs de Bandung yang bergaya modern dan kini dipakai sebagai Markas besar Kodam III Siliwangi. Kompleks Jaarbeurs awalnya direncanakan untuk keperluan pameran hasil industri organisasi pengusaha industri bernama Vereniging Nederland Indische Jaarbeurs de Bandung.Kompleks Jaarbeurs yang mulai dibangun tahun 1920 ini dikelilingi empat jalan, yakni Jalan Banda, Jalan Menado, Jalan Blitar, dan Jalan Sunda. Meskipun beberapa telah mengalami perubahan, namun unit bangunan utama paling depan dekat gapura masih utuh, kecuali elemen dekoratif klasik tiga buah patung yang ditutup badannya di bagian pintu masuk. Desain dan tata letak berbagai ventilasi untuk memasukkan cahaya dan udara alami tertata sangat baik.Perpaduan langgam Eropa dengan gaya setempat terlihat mantap dalam rancangan bangunan religius seperti Masjid Cipaganti di Jalan Cipaganti dan Gereja Bethel di Jalan Wastukencana. Masjid Cipaganti yang dibangun pada tahun 1933 memperlihatkan unsur seni bangunan Jawa, yaitu berupa penggunaan atap tajug tumpang dua, empat saka guru di tengah ruang shalat dan detail ornamen seperti bunga maupun sulur-suluran. Sedangkan unsur Eropa terlihat pada pemakaian kuda-kuda segi tiga penyangga atap dan secara khusus penataan massa bangunan pada lahan ”tusuk sate” antara Jalan Cipaganti dengan Jalan Sastra. Penataan massa bangunan seperti ini menjadikan bangunan tampak paling menarik jika dilihat dari Jalan Sastra karena terbingkai deretan pepohonan rindang. Penataan seperti itu merupakan cara ”Eropa” yang menjadi sesuatu yang baru pada bangunan masjid di Jawa.Begitu pula Gereja Bethel yang menghadap Sythof Park Pieter atau sekarang disebut Taman Merdeka. Pada bagian atap, Schoemaker mengambil bentuk atap tajug Jawa, namun bentuk bangunannya mengambil sentral Palladian dengan menara sudut. Langgam Eropa makin jelas jika dilihat pada pintu utama yang mengingatkan bentuk gereja Romanesk meskipun samar-samar mengambil pula inspirasi Gothik. Arsitek ini juga pernah mendesain bangunan yang biasa dikenal sebagai Penjara Sukamiskin. Bangunan penjara ini masih berdiri dengan kokoh yang dapat kita lihat dari arah perjalanan Cicaheum ke Ujung Berung di sebelah kanan jalan. Sungguh suatu bangunan yang juga tidak kalah menarik di pinggiran Kota Bandung.
JIKA kita lanjutkan penelusuran makin ke arah Bandung Utara, kita akan menemui beberapa rumah tinggal yang sangat unik karya Schoemaker. Dua di antaranya adalah Villa Merah, ITB di Jalan Tamansari, dan Villa Isola di Jalan Setiabudi yang kini menjadi gedung rektorat IKIP/UPI Bandung. Bangunan rumah tinggal pertama Schoemaker terkenal dengan sebutan Villa Merah karena menggunakan bata berwarna merah. Material ini dipaparkan terbuka sehingga warna merah mendominasi hampir seluruh permukaan bangunan kecuali atap yang menjulang dan menjadikan vila itu sangat unik karena tanpa-padanan. Bangunan dua lantai ini juga sangat menonjol dalam upaya memadukan seni bangunan Eropa dengan Indonesia yang beriklim tropis panas dan lembab. Adapun Villa Isola disebut-sebut sebagai bangunan megah bergaya Arsitektur Modern yang dianggap sangat berhasil dalam menyatukan bangunan dengan lingkungannya. Bangunan yang awalnya adalah rumah tinggal milik orang Belanda bernama DW Barrety ini berada di pinggiran kota. Penataan lansekap dan bangunan mengikuti sumbu utara-selatan sebagaimana penataan lansekap Kampus ITB dengan taman memanjang menuju arah Gunung Tangkuban Perahu. Penataan ini memperlihatkan kesatuan dengan bentuk geometri bangunan yang meliuk-liuk plastis, dan dengan ornamen garis-garis moulding yang memanfaatkan efek gelap-terang sinar Matahari.Karena terletak di dataran yang cukup tinggi dan bersumbu utara-selatan, kita bisa menikmati pemandangan ke utara yakni Gunung Tangkuban Perahu dan ke selatan ke arah Kota Bandung. Pemandangan ke berbagai arah ini dapat dinikmati dari berbagai sudut seperti ruang tidur, keluarga, makan, dan terutama teras atau balkon. Bangunan yang dibangun pada tahun 1933 ini dapat menjadi contoh perpaduan serasi antara seni bangunan barat dan timur. Sebagai catatan akhir, jika menelusuri Jalan Setiabudi menuju Lembang kita akan menemui bangunan untuk pengembangan ilmu dan penelitian tentang bintang dan benda luar angkasa yaitu Laboratorium Bosscha yang sampai kini merupakan satu-satunya di Indonesia. Itulah sederetan bangunan karya Schoemaker yang sangat lekat dengan landmark Kota Bandung. Karya-karya itu, selain selalu memiliki kualitas desain arsitektural yang baik, juga memberi manfaat begitu besar karena terus digunakan meski sebagian di antaranya telah berubah fungsi. Dan, yang tak kalah penting, hampir semua artefak bangunan itu masih bisa disaksikan hingga kini.

Bambang Setia Budi, staf pengajar Departemen Arsitektur Institut Teknologi Bandung.

Kompas: Minggu, 4 Agustus 2002.

Masjid Cipaganti


Masjid Cipaganti — Peletakan massa bangunan Masjid Cipaganti dalam posisi ”tusuk sate” merupakan cara ”Eropa”. Bangunan ini memperlihatkan dengan jelas upaya memadukan unsur seni bangunan Jawa dan Eropa.

Villa Isola

Villa Isola — Vila ini adalah sebuah bangunan modern di pinggiran Kota Bandung yang dianggap sangat berhasil dalam menyatukan bangunan dengan lingkungannya.



Read more...

Things To Do in Pangandaran

>> Monday, March 10, 2008

Many people go to Pangandaran simply to relax; however, for those who relax by doing something there are plenty of things to do.

To begin with, a number of small industries are located in Pangandaran itself, including a wayang golek puppet carver near the village center. Take a becak or rent a bicycle and explore the very local village center of Pangandaran, which is just outside the perimeter of tourist area.

Pangandaran’s foremost attraction, however, is the beach. The east beach is not as good for swimming and rather serves the fishermen’s needs, while the west beach is quite popular for walking, swimming and hanging out. Be forewarned, though, that dangerous currents and undertows are frequent and cost several lives every year. The safest place to swim is the south end of the beach; it is usually monitored and posted for safe swimming.

An attractive little beach on the nature reserve is Pasir Putih (white sand). It’s about a 20 minute walk from the fishing village. You go through the reserve entry gate and pay an admission fee, then walk for about a quarter of an hour, keeping right and following the signs to Pasir Putih. You can also go there by boat from the west beach, but be sure to bargain for the fare, the boat will wait until you are ready to return. While you are there, beware of the cheeky monkeys, they may take away your food or even your clothes!

Bicycling has become popular in Pangandaran because of scant car traffic, flat terrain, and the many routes for local tours. Bicycles of all sizes, colors and models can be rented at a number of places. The best time to cycle is of course in the morning, for it gets hot quickly. You can cycle around in the village and explore kampung life by means of the many paths and narrow streets, or you can make a longer tour and cycle out west parallel to the beach. Turning inland from the beach road takes you along sandy lanes and through coconut and cacao groves. More ambitious cyclist might want to pedal 7 km west to the lagoon, or even farther by crossing the road to Cijulang and venturing north into the hills where forests and waterfalls are.

Read more...

Tempe ITB

Pada tahun 1966, Team Berdikari Himpunan Mahasiswa Teknik Kimia ITB berhasil membuat tempe berkualitas. Pembuatan tempe ini menggunakan plastic sebagai pembungkus dalam proses fermentasinya. Tempe ini sangat digemari masyarakat dan akhirnya terkenal dengan sebutan Tempe ITB.

Read more...

Tempe ITB

Pada tahun 1966, Team Berdikari Himpunan Mahasiswa Teknik Kimia ITB berhasil membuat tempe berkualitas. Pembuatan tempe ini menggunakan plastic sebagai pembungkus dalam proses fermentasinya. Tempe ini sangat digemari masyarakat dan akhirnya terkenal dengan sebutan Tempe ITB.

Read more...

Tempe ITB

Pada tahun 1966, Team Berdikari Himpunan Mahasiswa Teknik Kimia ITB berhasil membuat tempe berkualitas. Pembuatan tempe ini menggunakan plastic sebagai pembungkus dalam proses fermentasinya. Tempe ini sangat digemari masyarakat dan akhirnya terkenal dengan sebutan Tempe ITB.

Read more...

Tempe ITB

Pada tahun 1966, Team Berdikari Himpunan Mahasiswa Teknik Kimia ITB berhasil membuat tempe berkualitas. Pembuatan tempe ini menggunakan plastic sebagai pembungkus dalam proses fermentasinya. Tempe ini sangat digemari masyarakat dan akhirnya terkenal dengan sebutan Tempe ITB.

Read more...

Sandal ITB

Sekitar tahun 1970-an sangat populer sandal ITB yang banyak dijual di sepanjang jalan Ganesha Bandung. Sandal ini banyak digemari para mahasiswa bahkan digunakan pula dalam mengikuti perkuliahan. Akhirnya pihak Rektorat ITB pada akhir tahun 1970-an melarang penggunaan Sandal ITB dalam ruang perkuliahan. Lalu apaan sih sandal ITB itu? Sandal ITB singkatan dari Sandal Ieu Tilas Ban (sandal yang dibuat dari ban bekas). Sampai sekarang sandal ITB masih bisa dijumpai dijual di sekitar kota Bandung.

Read more...

Pangandaran

>> Thursday, March 6, 2008

Noted for its generally safe swimming and its quietness, Pangandaran is one of Java’s most beautiful beach resorts. This once sleepy fishing village is located o the south coast just west boundary between West and Central Java and is about 210 km southeast of Bandung-a drive of five to six hours. From Bandung and Yogjakarta, it is easily reached by public transportation (taxi, bus or train).

Read more...

Ram Fight

>> Tuesday, March 4, 2008

A surprisingly high number of Bandung residents have never seen one of the famous ram fights. First of all, don’t worry: this is not bloody spectacle along the lines of Spanish bull-fight! I have seen many fights, and no blood was ever spilled. It is just great fun, even for small children. The fights are staged fortnightly on Sunday.

Rams are brought from Bandung as well as from other areas because the occasion is also a big event for breeders. At the site, dozens of rams are tied to pegs and await their turn for a showdown. Under a thatched roof, overlooking a fenced-in square, a music group beats the drums to the squeaking sound of a Sundanese flute, somewhat oblique to Western ears but perhaps just the right thing to make those rams go wild.

Then the first two rams are paired, selected from among the contestants to be of more or less equal physical strength, and the square is cleared. The referee declares the first round should begin, and the respective owners let their rams go. Each of the rams takes up position (about 10 m apart), and then they charge forward simultaneously for a crashing head-on collision. Some hair floats to the ground but the fighting spirit is unbroken. Again they take up position, run forward, and crash against each other. This contest continues until the superiority of one of them has been established. Mostly the weaker on turns away and the fight comes to an end in this very natural manner, but sometimes the referee calls a technical knockout. As I said, I have never seen a real knockout or any serious injury occur.
Source: All Around Bandung, Gottfried Roelcke, Gary Crabb.

Read more...

Warga Cikondang Taat pada Aturan Leluhur

MASYARAKAT Kampung Adat Cikondang menjunjung tinggi gotong royong dalam menyelesaikan pekerjaan, seperti mencari bambu dan membuat bumbung (tempat air dari bambu) di "leuweung larangan" Cikondang.* RETNO HY/"PR"

KAMPUNG Adat Cikondang tidak jauh berbeda dengan kampung-kapung adat lainnya di Jawa Barat dan Banten. Mereka masih memegang teguh dan melaksanakan adat istiadat peninggalan leluhur.
Kampung Adat Cikondang berdasarkan catatan sejarah yang turun-temurun, semula di daerah tersebut ditemukan adanya seke (mata air) yang keluar dari pohon besar Kondang. Oleh karena itu, daerah tersebut dikenal dengan nama Cikondang atau kampung Cikondang. Nama kampung tersebut merupakan perpaduan antara sumber air dan pohon kondang, ci yang berarti cai (air) atau sumber air, serta kondang nama dari pohon besar tempat air keluar.
Kampung Adat Cikondang menurut Ki Ilin, diperkirakan sudah ada sejak abad ke-17 Masehi antara tahun 1703 M atau tahun 1126 Hijriah.
Masyarakat setempat meyakini, karuhun (leluhur) mereka adalah salah seorang wali yang menyebarkan agama Islam di daerah Pangalengan. Mereka memanggilnya dengan sebutan uyut pameget dan uyut istri yang diyakini membawa berkah dan dapat ngauban (melindungi) anak cucunya.Tidak ada bukti konkret yang menerangkan kejadian itu baik tertulis maupun lisan.
Pada awalnya, bangunan di Cikondang ini merupakan permukiman dengan pola arsitektur tradisional seperti yang digunakan pada bangunan Bumi Adat. Sekitar tahun 1940-an, terdapat kurang lebih 60 rumah. Sekitar tahun 1942, terjadi kebakaran besar yang menghanguskan semua rumah kecuali Bumi Adat. Ada dugaan, Kampung Cikondang dijadikan persembunyian atau markas para pejuang yang berusaha membebaskan diri dari cengkeraman Belanda. Kemungkinan tempat itu diketahui Belanda dan dibumihanguskan.
Selanjutnya, masyarakat di sana ingin membangun kembali rumahnya. Namun, karena bahan-bahan untuk membuat rumah seperti Bumi Adat yang berarsitektur tradisional membutuhkan bahan cukup banyak, sementara bahan yang tersedia di hutan keramat tidak memadai, akhirnya mereka memutuskan untuk membangun rumah mereka dengan arsitektur yang umum, yang sesuai dengan kemajuan kondisi saat itu.
Mereka pun mendirikan rumah dengan arsitektur umum kecuali Bumi Adat yang tetap dijaga kelestariannya sampai kapan pun.
Sampai sekarang, baru ada lima kuncen yang memelihara Bumi Adat yaitu, Ma Empuh, Ma Akung, Ua Idil (Anom Idil), Anom Rumya, dan Aki Emen. Jabatan kuncen di Bumi Adat atau ketua adat Kampung Cikondang memiliki pola pengangkatan yang khas.
Ada beberapa syarat untuk menjadi kuncen Bumi Adat, yaitu harus memiliki ikatan darah atau masih keturunan leluhur Bumi Adat. la harus laki-laki dan dipilih berdasarkan wangsit, artinya anak seorang kuncen yang meninggal tidak secara otomatis diangkat untuk menggantikan ayahnya. Dia layak dan patut diangkat menjadi kuncen jika telah menerima wangsit.
Pergantian kuncen biasanya diawali dengan menghilangnya Cincin Wulung milik kuncen. Selanjutnya, orang yang menemukannya dapat dipastikan menjadi ahli waris pengganti kuncen. Kuncen yang telah terpilih, dalam kehidupan sehari-hari, diharuskan mengenakan pakaian adat Sunda, lengkap dengan iket (ikat kepala).
Jabatan kuncen Bumi Adat mencakup pemangku adat, sesepuh masyarakat, dan pengantar bagi para peziarah. Seluruh warga masyarakat Kampung Cikondang beragama Islam, namun dalam kehidupan sehari-harinya masih mempercayai adanya roh-roh para leluhur. Leluhur itu pula yang dipercaya dapat menyelamatkan mereka dari berbagai persoalan, sekaligus dapat mencegah marabahaya yang setiap saat selalu mengancam.
Leluhur utama mereka yang sangat dipuja adalah Eyang Pameget dan Eyang Istri, kedua eyang ini dipercaya masyarakat setempat sebagai salah seorang wali yang bertugas menyebarkan agama Islam di kawasan Bandung selatan, khususnya di Kampung Cikondang. Di tempat inilah, akhirnya kedua eyang ini mengakhiri hidup mereka dengan tidak meninggalkan jejak (tilem).
Adat istiadat yang bertalian dengan leluhur di antaranya kebiasaan mematuhi segala pantangan-pantangan (tabu) dan melaksanakan berbagai upacara adat. Upacara adat tersebut pada hakikatnya merupakan komunikasi antara masyarakat dan leluhurnya yang dianggap sangat berjasa kepada mereka yaitu sebagai orang yang membuka atau merintis permukiman Cikondang. Dalam upacara tersebut, warga menyampaikan rasa syukur dan terima kasih kepada leluhurnya.
Beberapa pantangan atau tabu yang berlaku di masyarakat Kampung Cikondang, khususnya tabu saat pelaksanaan upacara adat musiman, antara lain sebagai berikut, melangkahi nasi tumpeng terutama untuk kegiatan upacara. Begitu juga konca, susudi, dan takir. Selain itu, menendang duwegan (kelapa muda), terutama duwegan untuk keperluan sajian (sesajen). Bagi yang melanggar, akan mendapatkan musibah. "Masih banyak pantangan yang harus dijaga tidak hanya oleh warga adat, tetapi juga siapa pun yang datang ke kampung adat," ujar Ki Ilin.
Selain larangan atau pantangan, menurut Ki Ilin, ada empat pesan dari kabuyutan, yang harus diingat masyarakat kampung adat. Pesan tersebut adalah, atap rumah tidak boleh menggunakan genting dan rumah harus menghadap ke utara. Maknanya, jangan lupa akan asal muasal kejadian bahwa manusia dari tanah dan mati akan menjadi tanah. Maksudnya jangan sampai menjadi manusia yang angkuh, sombong, dan takabur.
Jika beribadah haji harus menjadi haji yang mabrur yaitu haji yang mempunyai kemampuan baik lahir maupun batin. Tidak boleh menjadi orang kaya, dikhawatirkan menjadi orang kaya tidak mau bersyukur atas nikmat dari Tuhan, dan tidak boleh menjadi pejabat di pemerintahan karena takut menjadi pejabat yang tidak dapat mengayomi semua pihak.

Read more...

About This Blog

Lorem Ipsum

  © Free Blogger Templates Skyblue by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP