Warga Cikondang Taat pada Aturan Leluhur

>> Tuesday, March 4, 2008

MASYARAKAT Kampung Adat Cikondang menjunjung tinggi gotong royong dalam menyelesaikan pekerjaan, seperti mencari bambu dan membuat bumbung (tempat air dari bambu) di "leuweung larangan" Cikondang.* RETNO HY/"PR"

KAMPUNG Adat Cikondang tidak jauh berbeda dengan kampung-kapung adat lainnya di Jawa Barat dan Banten. Mereka masih memegang teguh dan melaksanakan adat istiadat peninggalan leluhur.
Kampung Adat Cikondang berdasarkan catatan sejarah yang turun-temurun, semula di daerah tersebut ditemukan adanya seke (mata air) yang keluar dari pohon besar Kondang. Oleh karena itu, daerah tersebut dikenal dengan nama Cikondang atau kampung Cikondang. Nama kampung tersebut merupakan perpaduan antara sumber air dan pohon kondang, ci yang berarti cai (air) atau sumber air, serta kondang nama dari pohon besar tempat air keluar.
Kampung Adat Cikondang menurut Ki Ilin, diperkirakan sudah ada sejak abad ke-17 Masehi antara tahun 1703 M atau tahun 1126 Hijriah.
Masyarakat setempat meyakini, karuhun (leluhur) mereka adalah salah seorang wali yang menyebarkan agama Islam di daerah Pangalengan. Mereka memanggilnya dengan sebutan uyut pameget dan uyut istri yang diyakini membawa berkah dan dapat ngauban (melindungi) anak cucunya.Tidak ada bukti konkret yang menerangkan kejadian itu baik tertulis maupun lisan.
Pada awalnya, bangunan di Cikondang ini merupakan permukiman dengan pola arsitektur tradisional seperti yang digunakan pada bangunan Bumi Adat. Sekitar tahun 1940-an, terdapat kurang lebih 60 rumah. Sekitar tahun 1942, terjadi kebakaran besar yang menghanguskan semua rumah kecuali Bumi Adat. Ada dugaan, Kampung Cikondang dijadikan persembunyian atau markas para pejuang yang berusaha membebaskan diri dari cengkeraman Belanda. Kemungkinan tempat itu diketahui Belanda dan dibumihanguskan.
Selanjutnya, masyarakat di sana ingin membangun kembali rumahnya. Namun, karena bahan-bahan untuk membuat rumah seperti Bumi Adat yang berarsitektur tradisional membutuhkan bahan cukup banyak, sementara bahan yang tersedia di hutan keramat tidak memadai, akhirnya mereka memutuskan untuk membangun rumah mereka dengan arsitektur yang umum, yang sesuai dengan kemajuan kondisi saat itu.
Mereka pun mendirikan rumah dengan arsitektur umum kecuali Bumi Adat yang tetap dijaga kelestariannya sampai kapan pun.
Sampai sekarang, baru ada lima kuncen yang memelihara Bumi Adat yaitu, Ma Empuh, Ma Akung, Ua Idil (Anom Idil), Anom Rumya, dan Aki Emen. Jabatan kuncen di Bumi Adat atau ketua adat Kampung Cikondang memiliki pola pengangkatan yang khas.
Ada beberapa syarat untuk menjadi kuncen Bumi Adat, yaitu harus memiliki ikatan darah atau masih keturunan leluhur Bumi Adat. la harus laki-laki dan dipilih berdasarkan wangsit, artinya anak seorang kuncen yang meninggal tidak secara otomatis diangkat untuk menggantikan ayahnya. Dia layak dan patut diangkat menjadi kuncen jika telah menerima wangsit.
Pergantian kuncen biasanya diawali dengan menghilangnya Cincin Wulung milik kuncen. Selanjutnya, orang yang menemukannya dapat dipastikan menjadi ahli waris pengganti kuncen. Kuncen yang telah terpilih, dalam kehidupan sehari-hari, diharuskan mengenakan pakaian adat Sunda, lengkap dengan iket (ikat kepala).
Jabatan kuncen Bumi Adat mencakup pemangku adat, sesepuh masyarakat, dan pengantar bagi para peziarah. Seluruh warga masyarakat Kampung Cikondang beragama Islam, namun dalam kehidupan sehari-harinya masih mempercayai adanya roh-roh para leluhur. Leluhur itu pula yang dipercaya dapat menyelamatkan mereka dari berbagai persoalan, sekaligus dapat mencegah marabahaya yang setiap saat selalu mengancam.
Leluhur utama mereka yang sangat dipuja adalah Eyang Pameget dan Eyang Istri, kedua eyang ini dipercaya masyarakat setempat sebagai salah seorang wali yang bertugas menyebarkan agama Islam di kawasan Bandung selatan, khususnya di Kampung Cikondang. Di tempat inilah, akhirnya kedua eyang ini mengakhiri hidup mereka dengan tidak meninggalkan jejak (tilem).
Adat istiadat yang bertalian dengan leluhur di antaranya kebiasaan mematuhi segala pantangan-pantangan (tabu) dan melaksanakan berbagai upacara adat. Upacara adat tersebut pada hakikatnya merupakan komunikasi antara masyarakat dan leluhurnya yang dianggap sangat berjasa kepada mereka yaitu sebagai orang yang membuka atau merintis permukiman Cikondang. Dalam upacara tersebut, warga menyampaikan rasa syukur dan terima kasih kepada leluhurnya.
Beberapa pantangan atau tabu yang berlaku di masyarakat Kampung Cikondang, khususnya tabu saat pelaksanaan upacara adat musiman, antara lain sebagai berikut, melangkahi nasi tumpeng terutama untuk kegiatan upacara. Begitu juga konca, susudi, dan takir. Selain itu, menendang duwegan (kelapa muda), terutama duwegan untuk keperluan sajian (sesajen). Bagi yang melanggar, akan mendapatkan musibah. "Masih banyak pantangan yang harus dijaga tidak hanya oleh warga adat, tetapi juga siapa pun yang datang ke kampung adat," ujar Ki Ilin.
Selain larangan atau pantangan, menurut Ki Ilin, ada empat pesan dari kabuyutan, yang harus diingat masyarakat kampung adat. Pesan tersebut adalah, atap rumah tidak boleh menggunakan genting dan rumah harus menghadap ke utara. Maknanya, jangan lupa akan asal muasal kejadian bahwa manusia dari tanah dan mati akan menjadi tanah. Maksudnya jangan sampai menjadi manusia yang angkuh, sombong, dan takabur.
Jika beribadah haji harus menjadi haji yang mabrur yaitu haji yang mempunyai kemampuan baik lahir maupun batin. Tidak boleh menjadi orang kaya, dikhawatirkan menjadi orang kaya tidak mau bersyukur atas nikmat dari Tuhan, dan tidak boleh menjadi pejabat di pemerintahan karena takut menjadi pejabat yang tidak dapat mengayomi semua pihak.

0 comments:

About This Blog

Lorem Ipsum

  © Free Blogger Templates Skyblue by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP