Visit "Banjir" Indonesia 2008

>> Wednesday, March 26, 2008

Oleh: Rhenald Kasali
Setelah 17 tahun tertidur, Indonesia kembali mencanangkan Tahun Kunjungan untuk merengkuh tujuh juta wisatawan mancanegara. Bagi negeri berpanorama indah, jumlah ini terbilang kecil dari segala hal, tetapi penting untuk memulai komitmen baru. Bagaimanapun, pariwisata terkait erat dengan lingkungan hidup, nilai-nilai sosial, investasi, dan keamanan.
Meski demikian, saat bendera start dikibarkan, bukan berita indah yang muncul, tetapi banjir, kesemrawutan pengelolaan bandara, kemiskinan, flu burung, dan lainnya. Benarkah Indonesia berkomitmen membangun masa depan pariwisatanya?

Potensi pasar pelancongan
Setelah menghadapi berbagai tekanan (perang Irak, wabah SARS, tragedi WTC, dan tsunami) sepanjang 2001-2004, pariwisata dunia bangkit kembali. Menurut World Tourism Organization (WTO), kunjungan internasional 2006 mencapai 846 juta (tahun 2000, 684 juta). Kenaikan terbesar terjadi tahun 2006, 43 juta.
Dari tambahan itu, sebagian besar dinikmati Eropa (22 juta) dan Asia (12 juta). Sayang, kenaikan pesat ke Asia itu belum dinikmati Indonesia yang terkesan pasif, kurang peduli.
Saat wisatawan ke Malaysia meningkat dari 16,4 juta menjadi 17,5 juta dan ke Thailand naik dari 11,5 juta menjadi 13,9 juta, Indonesia justru kehilangan 0,2 juta (dari lima juta) wisatawan. Berbagai masalah keamanan tidak diimbangi peningkatan pelayanan di bandara. Bahkan, terjadi pembiaran, perusakan lingkungan, ketidakmampuan menangani sanitasi (khususnya sampah), dan terakhir terlihat betapa amatir dan tradisionalnya penanganan bandara internasional dan bencana alam yang terjadi berulang-ulang.
Padahal, jika dikelola dengan baik, ekonomi pariwisata lebih prospektif ketimbang pertambangan yang menyisakan kerusakan lingkungan. UN–WTO memperkirakan pariwisata dunia tahun 2006 mencapai 733 miliar dollar AS. Bahkan, 75 negara yang panorama dan kebudayaannya tidak begitu penting masing-masing berhasil meraih minimal satu miliar dollar AS dari sektor ini.
Bisnis ini menampung pekerja dengan spektrum amat luas, mulai dari transportasi, travel, perhotelan, telekomunikasi, hiburan, pendidikan, makanan, cenderamata, dan perdagangan. Jika pariwisata berkembang, kita bisa memindahkan ribuan sopir angkot yang sulit hidup dan memacetkan kota menjadi petugas antar- jemput yang lebih sopan dan sejahtera.

Rambut hitam atau pirang
Setiap kali berbicara tentang turis, biasanya kita membayangkan turis-turis bule, berambut pirang (blonde), yang datang dari Eropa, AS, atau Australia. Apakah mereka turis-turis kaya yang menetap di desa-desa seni di Ubud atau backpackers yang hanya bersepeda dengan sandal jepit dan menempati losmen-losmen murah di sekitar Kuta–Legian (Bali).
Gambaran itu tidak seratus persen salah karena wisman yang datang dari jauh belakangan ini meningkat signifikan. Bahkan, dari daftar top 10 spenders, tujuh di antaranya wisman dari negara-negara blonde. Sisanya, tiga bangsa dari Asia, yaitu Jepang, China, dan Korea Selatan.
Indonesia harus realistis. Wisman blonde adalah pelancong yang hidupnya sudah amat teratur, terencana, dengan standar kehidupan tinggi. Jika ada sedikit masalah, bisa menimbulkan pembalikan dan omongan negatif yang dahsyat. Kita baca data lebih jernih. Sekitar 80 persen pasar pariwisata di seluruh dunia adalah wisman regional, atau lokal yang datang dengan kendaraan darat, atau sekadar menyeberang selat-selat kecil. Potensi pasar itu bukan cuma dekat secara fisik, tetapi juga lidah dan kebiasaan hidupnya tidak berbeda secara ekstrem.
Jadi, sekitar 80 persen wisman di Malaysia dan Thailand berasal dari Indonesia, Singapura, China, dan India. Maka, mudah ditebak, potensi pasar wisman Indonesia sebenarnya juga tidak jauh-jauh. Itu sebabnya badan promosi pariwisata Malaysia dan India tak henti-hentinya berpromosi di berbagai hotel di Indonesia. Sayang jika Indonesia mengejar yang jauh, sementara yang pasti-pasti dilepas. Selain pemborosan, dalam pemasaran berlaku pepatah, if you want to sell to everyone you’ll end up to sell to no one.

Perlu komitmen baru
Dengan anggaran promosi pariwisata yang terbatas (Rp 150 miliar) dan kurang siapnya daya dukung di berbagai sisi di dalam negeri, wajar bila kita bertanya: Benarkah Indonesia berkomitmen membangun pariwisatanya? Komitmen bukan pesan-pesan PR (public relations) bahwa kita benar-benar siap. Komitmen tampak dalam tindakan dan gerak irama yang saling mengisi, complementarity seluruh komponen bangsa dalam menghadapi segala kemungkinan.
Negara-negara yang komit, jumlah kunjungan wismannya naik signifikan. Komitmen itu bukan hanya urusan promosi wisata, tetapi juga urusan penerbangan, otoritas bandara, jalan tol, dan permukiman yang dilewati wisatawan, pekerja yang santun dan berkualitas, birokrasi yang sigap, keamanan, imigrasi, lingkungan hidup, tata krama, kaum adat, pendidikan, industri, dan sebagainya.
Komitmen juga tampak dalam allignment yang menyatu dan saling mengisi. Allignment yang buruk akan tampak dalam wujud fisik interior bandara yang kusam dan lampunya redup, kemacetan lalu lintas, penataan jalan dan parkir, pengaturan arus puncak wisatawan, sikap dan etos pedagang cenderamata dan petugas keamanan, standar kebersihan industri kuliner, dan penanganan banjir.
Komitmen juga tampak pada peremajaan produk. Produk pariwisata yang itu-itu saja menghambat pengulangan kunjungan. Pariwisata kontemporer adalah wilayah luas, yang menggabungkan keindahan, impian, petualangan, pembelajaran, teknologi, hedonisme, dengan kesenian. Itu sebabnya arena balap, shopping festival, snoorkling, diving, dan sport festival mulai menjadi jangkar wisata yang penting. Jika ada komitmen, mudah meremajakan dan memperluas produk pariwisata yang mulai terkesan ketinggalan.
Dalam setiap proses evolusi, selalu ditemukan penuaan yang bukan disebabkan usia, tetapi karena tetangga berdandan, tampak lebih muda. Dan jika hal-hal seperti banjir saja tak bisa ditangani, bukan cerita baik yang akan dibawa pulang wisatawan. Bukan sekadar backfired, sejarah akan mencatat Indonesia sebagai negara yang memperkenalkan kampanye baru, Visit Banjir Indonesia 2008.
Rhenald Kasali Pengajar di Universitas Indonesia

Sumber: Kompas, Sabtu, 16 Februari 2008.

0 comments:

About This Blog

Lorem Ipsum

  © Free Blogger Templates Skyblue by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP