Babakan Siliwangi Menangis...

>> Sunday, September 21, 2008

Oleh Mohammad Hilmi Faiq

Kota Kembang yang indah permai
Sejuk nyaman hawanya
Dengan gadis lemah gemulai
Indah dipandang mata

Dua tupai meloncat berkejaran di dahan pohon akasia saat terdengar suara gaduh dari dalam gubuk di hutan kota Babakan Siliwangi, Jumat (19/9). Tupai-tupai itu celingukan sebelum menghilang di antara rimbunan daun. Seorang bocah keluar dari gubuk di bawah pohon akasia itu. Dia mengucek-ngucek matanya dan menguap sambil berjalan menuju sumber mata air tak jauh dari gubuknya. Bocah itu lantas membasuh mukanya sembari menahan dingin.
Meskipun waktu menunjukkan pukul 08.00, hawa di Babakan Siliwangi terasa dingin. Embun-embun di daun pun masih tersisa. Ini lantaran sinar matahari tak leluasa masuk karena terhalang dedaunan.
Saat ini hutan kota Babakan Siliwangi adalah sebuah pengecualian. Warga Kota Bandung kesulitan mencari kesejukan di tempat lain seperti di Babakan Siliwangi ini. Namun, hutan terakhir Kota Bandung itu kini tengah "menangis". Kekuatan kapitalisme berkolaborasi dengan birokrasi korup yang tak peduli lingkungan tengah merongrong eksistensi hutan penyerap karbon dan tandon air itu.
Tokoh senior Bandung, Tjetje Hidayat Padmadinata (73), mengakui, saat ini sulit ditemukan tempat sejuk di Kota Bandung. Pohon-pohon telah digantikan dengan bangunan dan gedung. Pejalan kaki gerah karena tak bisa berteduh dan diterpa asap kendaraan yang terjebak macet.
Kondisi ini berbeda dengan Bandung dulu. Tjetje ingat betul, 25 tahun lalu, di berbagai jalan, terutama sepanjang Jalan Abdul Muis, tumbuh ratusan pohon kenari dan akasia yang batangnya sebesar dua kali rangkulan orang dewasa. Tingginya mencapai 25-30 meter.
Saat itu, kata Tjetje, suhu di Kota Bandung berkisar 18-22 derajat Celsius. "Sekarang yang suhunya sedemikian paling hanya Lembang," ujarnya. Apa yang diutarakan Tjetje persis dengan potongan lagu "Kota Kembang" ciptaan A Rianto yang dipopulerkan Tetty Kadi pada awal tulisan ini.

Tinggal kenangan
President Republic of Entertainment Wawan Juanda (49), pada saat remaja, masih merasakan kesejukan serupa. Pada akhir dekade 1970-an, dia kuliah di Universitas Padjadjaran di Jalan Dipati Ukur dan National Hotel Institute (NHI) di Jalan Setiabudi. Setiap pergi kuliah pada pagi hari, dia harus mengenakan jaket karena dingin. "Dingin sekali. Sampai-sampai setiap saya bernapas pasti mengeluarkan uap seperti asap," ujarnya.
Di sepanjang jalan yang dilalui Wawan tumbuh ratusan, bahkan ribuan, pohon. Pohon kenari tumbuh di sepanjang tepi Jalan Pasirkaliki. Pohon mahoni tumbuh di tepi Jalan Wastukancana. Pohon angsana, akasia, mahoni, dan damar juga tumbuh di jalan-jalan yang biasa dia lalui. Dia kerap menunggu buah kenari jatuh untuk dijadikan mainan atau cincin.
Bagi Wawan, Kota Bandung saat itu seperti kota di tengah hutan. Di mana-mana tumbuh pohon rindang, udara sejuk, dan kulitnya tak pernah terbakar matahari. Kini, semua itu sudah berubah total. Suasana sejuk kini tinggal kenangan.
Wawan sadar, kondisi masa lalu Kota Bandung tidak akan bisa pulih seperti sediakala. Akan tetapi, bukan berarti pemusnahan hutan kota dilegalkan. Pohon, taman, dan hutan yang tersisa perlu dipelihara dan dilestarikan.
Jangan biarkan Babakan Siliwangi menjadi hutan terakhir yang terancam hilang di Kota Bandung. Jangan sampai warga menciptakan lagu sedih karena kotanya tak teduh lagi. Tahun 1978, lewat lagu "Kemarau", The Rollies sudah berteriak:
Mengapa, mengapa hutanku hilang dan tak pernah tumbuh lagi.
Sumber: Kompas, Sabtu, 20 September 2008

0 comments:

About This Blog

Lorem Ipsum

  © Free Blogger Templates Skyblue by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP