Menjunjung Tinggi Kejujuran dan Saling Menghargai

>> Thursday, April 3, 2008

Oleh: Retno PR

KEJUJURAN dan rasa saling menghargai sesama merupakan modal utama yang paling dijunjung oleh mereka yang selama ini berbaur dalam komunitas peternak, pemilik, pecinta, penikmat, pemerhati, dan peneliti ketangkasan domba adu (Garut) di mana pun berada.

"Meski tidak ada aturan baku yang tertulis dan tidak terlibat langsung sebagai pengurus maupun anggota Himpunan Peternak Domba dan Kambing Indonesia (HPDKI), siapa pun yang hadir di pamidangan (arena-Red.) mau tidak mau harus taat aturan yang berlaku sejak dulu dan ditaati oleh leluhur kita," ujar Adih (44) salah seorang pengawas seni ketangkasan domba garut, saat ditemui di pamidangan Lapangan Arcamanik, Minggu (25/11).


Nilai-nilai kejujuran dan rasa saling menghargai antarsesama di pamidangan tersebut merupakan ciri asli orang Sunda, someah hade ka semah, tanpa melihat latar belakang dan kedudukan. Banyak pemilik domba garut yang memiliki jabatan, tetapi begitu berada di pamidangan, tidak seorang pun yang ngabageakeun atau menempatkan pada posisi yang istimewa.


Bahkan, adakalanya turut berbaur dan duduk bersila atau jongkok di pinggir pakalangan (arena) melihat dombanya diadu. Juga banyak di antara mereka yang tidak segan-segan turut menari pencak silat diiringi pukulan kendang manakala domba milik mereka mampu menjatuhkan lawan masing-masing.


"Kejujuran selama ini merupakan barang langka dan sangat mahal. Tidak demikian halnya di antara sesama pemilik domba adu atau siapa pun yang hadir di pamidangan, mereka harus menjunjung tinggi kejujuran tersebut karena tanpa itu dijamin orang yang bersangkutan tidak akan dapat berbaur di antara sesama mereka yang hadir," ujar Adih.


Demikian halnya dengan rasa saling menghargai antarsesama yang hadir di pamidangan. Meskipun mereka yang hadir di luar komunitas memiliki posisi atau kedudukan, tetap saja harus menghargai tukang cukur bulu domba atau tukang rumput.


"Karena kedua hal tersebut, di pamidangan sampai saat ini belum sampai terjadi, dan diharapkan jangan sampai terjadi keributan karena tidak memiliki sifat jujur dan tidak menjunjung rasa saling menghargai," ujar Aki Uce, salah seorang pemilik domba adu.


Perbedaan komunitas peternak, pemilik, pecinta, penikmat, pemerhati, dan peneliti ketangkasan domba adu (Garut) dalam hal menjunjung kejujuran dan rasa saling menghargai juga terjadi saat dilakukan transaksi. "Pembeli diibaratkan raja benar-benar berlaku di sini meskipun yang membeli orang awam atau pemula yang mengawali hobi domba adu, dijamin tidak akan tertipu barang maupun harga," ujar Aki Uce.


Memang, pada dasarnya domba dan kambing merupakan jenis hewan ternak pemakan rumput yang tergolong ruminansia kecil, populasinya hampir tersebar merata dan ada di seluruh dunia. Namun, di kalangan pecinta domba adu dari melihat visual fisiknya dengan cermat, maka domba berbeda dengan kambing.


Berdasarkan sejarahnya, domba garut atau domba adu, merupakan ovies aries hasil persilangan dari 3 rumpun bangsa domba, yaitu merino asal Australia dengan kaapstad dari Afrika dan jawa ekor gemuk di Indonesia. Domba jawa ekor gemuk sudah ada sebelumnya sejak lama sebagai jenis domba lokal, domba merino dibawa oleh pedagang Belanda ke Indonesia, sedangkan domba kaapstad didatangkan para pedagang Arab ke tanah Jawa sekitar abad 19.


Domba garut adalah jenis domba tropis bersifat proliflic yaitu dapat beranak lebih dari 2 (dua) ekor dalam 1 siklus kelahiran. Dalam periode 1 tahun, domba garut dapat mengalami 2 siklus kelahiran. Domba ini memiliki berat badan rata-rata di atas domba lokal Indonesia lainnya. "Namun yang biasanya dijadikan domba aduan adalah yang kelahiran tunggal, sementara kalau dua atau tiga, akan dianggap sebagai domba sayur," terang Aki Uce.


Domba adu ( garut) adalah domba jantan memiliki berat sekitar 60 hingga 80 kg bahkan ada yang dapat mencapai lebih dari 130 kilo gram. Akan tetapi, domba betina memiliki berat antara 30 hingga 50 kilogram. Ciri fisik domba garut jantan yaitu bertanduk, berleher besar, kuat, dan bercorak warna putih, hitam, cokelat, atau campuran ketiganya.


Karena kejujuran dan saling menghargai yang menjadi landasan, telah dilakukan perubahan peraturan oleh organisasi Himpunan Peternak Domba Kambing Indonesia (HPDKI) yang saat itu dipimpin Drs. H.A.M Sampurna, M.M. selaku ketua umum dan Drs. H. Uu Rukmana selaku ketua wilayah Provinsi Jawa Barat. Arena adu ketangkasan saat ini lebih menjadi arena seni dan budaya juga wisata.


Beberapa nama seperti Kang Ibing, dalang Asep Sunarya merupakan nama yang cukup dikenal sebagai penghobi dan pemilik domba garut berkualitas. "Hobi memelihara ternak domba garut dijamin tidak akan kalah kepuasannya dengan memelihara jenis hewan lainnya. Demikian pula halnya dengan pecinta yang hanya sekadar menyukai, menonton, dan turut berbaur," ujar Kang Aang Suganda (54), salah seorang pembibit domba garut. Suatu kepuasan ketika tanduk domba terbentuk dan tumbuh maksimal ataupun dengan keindahan corak serta warna bulu yang dihasilkan.


Apalagi kalau sang pemilik sudah mengenakan sepatu bot, bertopi koboi, dan pakaian hitam yang merupakan ciri penghobi ketika datang ke arena seni dan budaya adu ketangkasan, sudah dapat dipastikan sang pemilik mendapat tempat. "Dan jangan salah, kalau penampilan kita sudah seperti itu, harga domba milik kita tidak lagi dipandang sebelah mata, minimal dapat bernilai di atas Rp 10 juta bahkan ratusan juta rupiah," ujar Kang Aang.


Sumber: Pikiran Rakyat, Jumat, 28 Maret 2008.

0 comments:

About This Blog

Lorem Ipsum

  © Free Blogger Templates Skyblue by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP