Dari Bukit Hijau ke Kota Beton
>> Sunday, September 21, 2008
Oleh Indah Surya Wardhani
Pembangunan kota yang lapar tanah mencakari lembah dan bukit yang pernah menghijaukan Kota Bandung. Lereng-lereng perbukitan di Bandung utara pun tak luput dari incaran pengembang. Kawasan dengan kontur di atas 750 meter dari permukaan laut ini merupakan kawasan lindung bagi Kota Bandung.
Mengacu pada Peraturan Daerah (Perda) Kota Bandung Nomor 2 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandung, kawasan Punclut tampak memiliki warna kuning tua yang menandakan kawasan ini terbuka bagi permukiman dengan luas terbangun sekitar 20 persen.
Padahal, setahun sebelumnya, sesuai Perda Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2003 tentang RTRW Provinsi Jabar, kawasan Punclut digambarkan berwarna hijau, artinya sebagai kawasan lindung yang tidak boleh dibangun.
Tarik-menarik kepentingan ekologis dan komersial terus berlangsung. Pembangunan pun marak di wilayah yang termasuk dalam Kelurahan Ciumbuleuit, Kecamatan Cidadap. Berdasarkan data Bappeda Kota Bandung tahun 2005, dari 268 hektar kawasan Punclut, hampir 38 persen di antaranya merupakan kawasan pengembangan milik tiga pengembang.
Dengan kondisi itu, pemulihan kawasan Punclut sebagai zona hijau pun menjadi terhambat. Kawasan ini seharusnya berfungsi sebagai pengendali tata air dan konservasi sumber daya hayati. Rusaknya ekologi di kawasan ini dapat berakibat buruk bagi Kota Bandung dan daerah di sekitarnya.
Padahal, pada 2000, di kawasan itu masih dijumpai pohon-pohon yang tumbuh di antara lahan tegalan yang digarap penduduk setempat. Jumlah penduduk asli saat itu 4.082 jiwa (1.074 keluarga). Dari jumlah itu, sekitar 80 persen di antaranya adalah penduduk asli dari perkawinan antarkeluarga dalam satu kampung atau dengan kampung lain.
Pembangunan juga merangsek perbukitan Dago Pakar. Kawasan dengan kemiringan sekitar 18 derajat ini merupakan kawasan lindung luar hutan yang hanya boleh dibangun tidak lebih dari 2 persen luas kawasan. Kenyataannya, kawasan ini justru dipadati vila dan perumahan elite. Padahal, 10 tahun lalu kawasan itu masih ranum oleh hamparan lahan nan hijau.
Pembangunan kota
Menyusutnya ruang terbuka hijau di Kota Bandung tidak terlepas dari pembangunan Kota Bandung yang lebih mengedepankan aspek ekonomi ketimbang aspek edukasi dan konservasi. Konflik kepentingan atas ruang ini akan selalu terjadi seiring dengan pertumbuhan penduduk.
Perumahan misalnya. Dengan pertumbuhan penduduk rata-rata 1,74 persen per tahun, perumahan yang mengambil lahan terbuka pun tidak terhindarkan. Tercatat hingga April 2008, jumlah penduduk 2,22 juta jiwa. Dari luas 16.729,64 hektar wilayah Kota Bandung, 52 persennya dipergunakan untuk perumahan.
Padahal, idealnya bangunan tidak lebih dari 60 persen luas kota. Hetifah Sjaifudian Sumarto, planolog dari ITB, menyatakan, Pemerintah Kota Bandung harus memiliki konsep dan kebijakan tegas mengenai tata ruang. Menurut dia, masyarakat, pengembang, dan pemangku kebijakan di Kota Bandung harus duduk bersama merumuskan Rencana Detail Tata Ruang Kota Bandung yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
"Penanganan tata ruang dan lingkungan harus serius. Untuk kebutuhan ruang terbuka, Pemkot Bandung justru harus berani membebaskan lahan untuk ruang terbuka seperti yang sudah dilakukan di DKI, Kupang, dan Yogyakarta," ujar Hetifah, Jumat (19/9).
Menurut dia, daripada membangun di ruang hijau, Pemkot Bandung lebih baik membangun daerah coklat (brown field). Daerah coklat adalah kawasan komersial kota yang saat ini mulai meredup, seperti kawasan alun-alun dan sekitarnya.
Kawasan itu dapat dibenahi dengan citra baru antara lain melalui pembangunan ruang hijau, restoran, atau ruang terbuka untuk kegiatan masyarakat. Dengan demikian, ruang kota tidak sekadar untuk kegiatan rekreatif, tetapi juga bernilai historis dan edukatif. (Litbang Kompas)
Sumber: Kompas, Sabtu, 20 September 2008
0 comments:
Post a Comment