Bisnis Pariwisata: Jalan Koizumi

>> Sunday, June 1, 2008

Oleh: Setyanto P. Santosa

Pasca-Tragedi Bom Bali, bisnis pariwisata dirundung kelesuan. Supaya bangkit, perlu upaya konkret dari segenap pelaku bisnis dan pemerintah. Langkah sinergi jadi solusi.
Pernahkah terpikir bagaimana Indonesia mesti membayar utang-utangnya? Sumber daya alam, minyak dan gas bumi, atau hasil pertambangan dan hutan telah ludes. Daya saing produk industri juga loyo. Dalam kondisi yang demikian, sektor pariwisata menawarkan potensi yang cukup besar dan dapat menjadi “katup pengaman” serta sumber devisa utama nasional. Kondisi ini pernah terjadi di Jepang.
Adalah Perdana Menteri Jepang Junichiro Koizumi yang mempunyai visi tajam melihat peluang di sektor pariwisata. Awal tahun 2003 dia mencanangkan program Back to Basic, dengan menghidupkan kembali pariwisata yang dahulu pernah menjadi sumber devisa utama Jepang. Koizumi seperti hendak mengulang sejarah. Sektor pariwisata Jepang memang pernah berjasa ketika setoran devisa dari barang-barang industri anjlok akibat serbuan produk Cina, Taiwan, dan Korea Selatan.
Pemerintah seharusnya dapat bertindak lebih cerdas dengan mengikuti jejak Koizumi. Mereka cukup menyiapkan kerangka tinggal landas pariwisata Indonesia secara jelas. Perlu disadari bahwa kekuatan pariwisata Indonesia terletak pada manusianya. Manusia yang hangat, ramah-tamah, murah senyum, dan gemar menolong tamu-tamunya. Kondisi ini membuat “kangen” para wisatawan mancanegara (wisman) untuk kembali lagi berkunjung ke Indonesia karena, di negaranya, mereka tidak menemukan komunitas yang semacam ini.
Dengan menemu-kenali bahwa kekuatan pariwisata Indonesia adalah pada manusianya, maka berbagai langkah strategi penggarapan harus difokuskan kepada nilai-nilai yang terkandung pada manusia. Itulah sebabnya pada 2001 diperkenalkan branding “My Indonesia, Just a Smile Away”, yang kemudian membuahkan hasil dengan pencapaian wisman sebesar 5,153 juta. Lalu pada tahun 2002 sebesar 5 juta.
Branding ini memang belum sepopuler “Malaysia Truly Asia”. Ini akibat keterbatasan dana promosi dan kurangnya upaya melakukan sosialisasi pada forum internasional. Tragisnya, belum lagi populer, branding ini telah diganti dengan branding yang bersifat product oriented: “Indonesia, Ultimate in Diversity”—mirip dengan iklan mobil Honda CRV (Ultimate driving comfort and worry free driving). Kesemuanya ini menggambarkan derajat profesionalitas aparat pariwisata yang masih kurang memadai, sehingga tidak ada konsistensi dalam kebijakan promosi yang diambil.
Membangun Pasar Upaya memacu industri pariwisata memang tidak mudah. Pemerintah sebaiknya lebih fokus memasarkan Indonesia ke negara jiran (short-haul) dan regional (medium-haul). Selain memang 70% wisman ke Indonesia memang berasal dari segmen pasar ini, ada kecenderungan bahwa para wisatawan mulai enggan untuk bepergian terlalu jauh dari tempat tinggalnya. Selain karena risiko keamanan dan kenyamanan, juga dipengaruhi oleh efisiensi waktu. Tantangan pariwisata saat ini adalah “time poor - money rich people”.
Meskipun melambat, pertumbuhan ekonomi 2006 masih bisa menjadi pendorong bangkitnya bisnis pariwisata. Kalau pelaku bisnis bergerak sejak sekarang, hasilnya pun baru bisa dinikmati pada 2007. Pasalnya, selalu ada kesenjangan waktu (time-lag) antara kondisi yang mendukung dan panen yang diharapkan. Pelaku bisnis pariwisata harus mulai menyiapkan paket-paket pariwisata yang menarik bagi wisman. Pada 2006, ada baiknya pelaku bisnis pariwisata lebih fokus ke pasar dalam negeri. Ini bisa menjadi semacam obat untuk sekadar bertahan pada 2006. Menggarap wisatawan Nusantara (wisnus) dengan sungguh-sungguh dan sebaik-baiknya minimal dapat menolong arus kas (cash flow) perusahaan.
Pelaku bisnis pariwisata sebaiknya menahan diri pada 2006. Ketidakstabilan ekonomi masih belum mendukung adanya investasi dan ekspansi baru. Jumlah wisman pada 2006 maksimal hanya berkisar 4,5 juta. Namun, apabila pelaku bisnis mampu lebih fokus ke short-haul (negara-negara ASEAN, terutama Malaysia dan Singapura) serta medium-haul (Jepang dan Taiwan), angka 5 juta kemungkinan masih bisa terwujud.
Sebagai gambaran, Jepang dengan penduduk 130 juta jiwa setiap tahun mengirimkan wisatawan ke mancanegara (outbound) sebanyak 15,5 juta (65% ke Asia). Lalu Taiwan mengirimkan 7,2 juta wisatawan (81% ke Asia). Jika pelaku bisnis dan pemerintah fokus untuk menggarap potensi wisman dari dua negara ini, jumlah 5 juta rasanya tak terlalu sulit diraih.
Untuk menghasilkan devisa US$5 miliar dari pariwisata sebenarnya tidak terlalu sulit. Pemerintah dan pelaku bisnis pariwisata harus berusaha agar masa lama tinggal wisman lebih panjang dari hanya sepuluh hari. Target ini bisa dicapai dengan berbagai peningkatan kualitas dan variasi atraksi yang menarik.
Ada baiknya kita tidak menghilangkan idealisme hanya dengan pragmatisme jangka pendek semata. Impian agar pariwisata mampu berperan sebagai primadona ekonomi Indonesia perlu disiapkan sebaik-baiknya dengan target jangka panjang 2010 atau 2015. Thailand, contohnya, telah mencanangkan target 30 juta wisman pada 2010. Target ini didukung dengan persiapan yang matang dan mantap, serta manajemen dan leadership yang kuat. Inilah saatnya kembali bagi Indonesia untuk bersatu guna menyiapkan sektor pariwisata sebagai motor penggerak perekonomian Indonesia. Tanpa itu, mustahil pariwisata Indonesia dapat berdiri sejajar dengan negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura.
RestrukturisasiBisnis pariwisata sebaiknya melakukan restrukturisasi, seperti yang dilakukan industri perbankan. Misalnya, dengan mensyaratkan minimal modal disetor biro perjalanan wisata (BPW). Pasalnya, kondisi struktur permodalan industri pariwisata Indonesia selama ini sangat lemah. Kebanyakan BPW tidak memiliki akses kepada sumber pendanaan (bank atau lembaga keuangan). Akibatnya, dalam negosiasi dengan mitra kerja asing, BPW Indonesia akan selalu berada di pihak yang lemah dan tidak menentukan.
Kondisi ini terjadi karena lebih dari 90% BPW tergolong UKM. Mereka umumnya berasal dari para pemandu wisata yang ingin mandiri dengan mendirikan BPW, lepas dari induk asalnya. Maka, otomatis modalnya jadi lemah, kemampuan manajerial terbatas, dan visi bisnis kurang panjang. Restrukturisasi BPW dengan menetapkan permodalan minimal menjadi penting. Hal ini akan memaksa BPW melakukan merger, sehingga memperkuat posisi tawar-menawar (bargaining position)-nya ketika berhadapan dengan pihak luar.
BPW merupakan ujung tombak kegiatan pariwisata Indonesia. Mereka harus mulai kreatif mengemas paket-paket wisata. Idealnya, setiap BPW benar-benar mempunyai kemampuan sebagai destination management corporation (DMC). Jadi, tidak seperti yang terjadi saat ini, yang kebanyakan hanya sekadar sebagai agen penjualan tiket. Dengan terwujudnya DMC, maka setiap paket perjalanan akan menjadi lebih efisien, berkualitas, dan memiliki standarisasi harga yang baku. Jadi, nantinya, persaingan yang terjadi benar-benar dari sisi mutu pelayanan.
Selain itu, kualitas SDM pemandu wisata pun harus ditingkatkan dengan melakukan pengetatan pemberian lisensi/sertifikat sebagai pemandu wisata, yang harus selalu diperbarui pada periode tertentu. Ini untuk meningkatkan standar kualitas kemampuannya. Dalam hal ini, Indonesia dapat mencontoh dan belajar dari Malaysia dan Thailand dalam menyiapkan tenaga terampil di bidang ini.
Tahun depan, pelaku bisnis pariwisata harus bekerja lebih keras lagi. Untuk menjaga kondisi arus kas masing-masing perusahaan, maka peningkatan jumlah wisnus pun harus lebih digalakkan lagi. Selain itu, penguasaan bidang teknologi informasi pun harus lebih ditingkatkan mengingat bahwa kita berhadapan dengan computer literate generation, sehingga “if you are not online, you are not on sale”.

  • Kekuatan pariwisata Indonesia terletak pada manusianya yang ramah, murah senyum, dan suka menolong.
  • Perlu fokus memasarkan industri pariwisata Indonesia ke negeri jiran dan regional.- Untuk bertahan selama 2006, pebisnis pariwisata harus menggarap potensi wisatawan domestik.
  • Restrukturisasi dengan mensyaratkan modal minimal bagi biro- biro perjalanan wisata guna meningkatkan posisi tawar-menawar ketika menghadapi pihak luar.
  • Meningkatkan biro perjalanan wisata agar mampu jadi destination management corporation.

Oleh: Setyanto P. Santosa, Penulis adalah dosen Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran dan mantan Sekjen Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

Sumber: Rabu, 25 Januari 2006.


0 comments:

About This Blog

Lorem Ipsum

  © Free Blogger Templates Skyblue by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP