Zuhud di Kampung Dukuh

>> Wednesday, January 23, 2008

Sudah menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia, hari raya Idul Fitri dirayakan dengan besar-besaran. Idul Fitri atau Lebaran selalu dimaknai dengan sesuatu yang baru. Entah itu baju model terbaru, celana baru, sepatu dan sandal baru, hingga mobil terbaru.
Namun, hal itu sama sekali tidak berarti bagi warga Kampung Dukuh. Warga kampung adat yang tinggal di wilayah Kabupaten Garut bagian selatan ini tidak mengenal kemewahan dalam kamus kehidupannya. Tidak ada baju model terbaru, celana baru, sepatu baru, bahkan hingga mobil sewaan pun sama sekali tidak terpikirkan oleh mereka.
Bagi masyarakat yang tinggal di kaki Gunung Dukuh, Desa Cikelet, Kecamatan Pameungpeuk, Garut bagian selatan ini, kesederhanaan telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan mereka. Pola hidup sederhana merupakan bagian adat yang harus mereka lakukan.
Pola berpakaian masyarakat Kampung Adat Dukuh sehari-hari hanya mengenakan sarung, baju koko, dan ikat kepala berwarna hitam. Pakaian ini seperti suku Badui, Banten. Itu khusus bagi kaum laki-laki.
Bagi kaum perempuan, mereka hanya mengenakan pakaian rumahan, seperti kebaya dipadu dengan kain. Dipadupadankan lagi dengan kerudung berbagai warna yang sesuai dengan pakaian yang mereka pakai.
Hal yang sama juga berlaku dalam hal makanan. Hampir tidak ada makanan saat Lebaran merupakan makanan kalengan atau hasil membeli makanan dari luar. Seluruh makanan yang dimakan di sini adalah hasil bumi warga Kampung Adat Dukuh.
Kalaupun ada makanan kaleng, warga tidak membelinya sendiri, melainkan pemberian dari kerabat maupun warga yang berkunjung.
Ketua Kampung Adat Dukuh, Lukmanul Hakim, menjelaskan, pola hidup seperti itu telah diterapkan oleh Syekh Abdul Jalil, yang dipercaya sebagai nenek moyang mereka.
”Pola hidup sederhana merupakan ajaran nenek moyang Syekh Abdul Jalil. Orang tidak perlu hidup berlebih. Harus bersyukur dengan apa yang disediakan Tuhan di sekeliling kita,” kata Mamak, panggilan warga kepada Lukmanul Hakim.
Lebih lanjut Mamak menjelaskan, pakaian yang harus dipakai oleh warga kampung adat memang sudah menjadi kebiasaan atau tradisi turun-temurun dari nenek moyang mereka, Syekh Abdul Jalil. Mamak sendiri tidak mengetahui secara persis kapan kebiasaan itu mulai ada dan diperkenalkan kepada warga Kampung Dukuh. Namun, yang pasti, katanya, tradisi itu sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Mamak mengatakan, untuk pakaian yang dikenakan oleh kaum lelaki, yang dipentingkan adalah kemeja putih dan bersih. Namun, lebih disarankan adalah baju koko, pakaian yang dikenakan oleh Muslim laki-laki apabila hendak melaksanakan shalat.
Mengenai sarungnya sendiri, adat di kampung ini adalah tidak boleh mengenakan sarung bermotif batik atau sebangsanya. Yang diperbolehkan adalah sarung yang bermotifkan kotak- kotak atau bergaris lurus.
Mamak sendiri tidak mengetahui secara jelas kenapa warga kampung tidak diperbolehkan mengenakan sarung dengan motif batik. Terutama laki-laki. Namun, menurutnya, selama ini belum ada warga kampung yang berani melanggar adat nenek moyang itu.
Menurut salah satu sesepuh Kampung Adat Dukuh, Habib Qodir, salah satu hal yang harus dijaga dan dilaksanakan secara baik oleh warga adalah hidup dalam pola kesederhanaan. Pola ini merupakan ajaran nenek moyang mereka. Pola hidup sederhana atau zuhud merupakan akar ajaran sufisme yang dianut oleh nenek moyang mereka.
Ajaran lain yang tetap harus dilakukan adalah menghormati tamu dan menjamunya. Tamu yang berkunjung harus makan makanan yang disediakan. Walaupun sedikit, mereka harus mencoba masakan yang dibuat oleh warga.
Tidak ada baju baru, sandal, atau bahkan mobil terbaru. Yang ada adalah pakaian lama nan bersih, ditemani dengan hati yang kembali suci di hari raya Idul Fitri. Zuhud di Kampung Dukuh.
Oleh: Mahdi Muhammad
Sumber: Kompas, Kamis, 10 November 2005.

0 comments:

About This Blog

Lorem Ipsum

  © Free Blogger Templates Skyblue by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP