Benarkah Bandung di masa datang akan menjadi sebuah danau ?

>> Tuesday, December 25, 2007

Renungan di Akhir Tahun
Warga Bandung mulai terbiasa dengan sampah. Betapa tidak julukan Bandung Lautan api pun sempat berubah menjadi Bandung Lautan Sampah. Hal itu terjadi ketika sampah pemerintah Kota Bandung kebingungan menempatkan sampah, karena tidak tersedianya lahan pembuangan sampah yang memadai. Tak heran kalau saat itu, sampah bertumpuk dimana-mana, di pasar, sekolah, jalan-jalan protokol, puih……bau khas sampah meraja di seantero Kota Bandung.
Sungai telah lama menjadi alternatif tempat pembuangan sampah di Bandung. Hemat tidak usah bayar, tinggal kemauan kita untuk mengumpulkan sampah, membungkusnya dengan rapi, memilih waktu yang tepat untuk membuang, tengak-tengok kiri kanan sebentar, dan tuing….byur, sampah berpindah tempat. Solusi praktis, mudah dan murah. Tapi akibatnya kang…….
Ingat nggak kita dulu pernah menggunakannya sebagai apa?. Ya….., kita pernah sama-sama menggunakannya sebagai tempat mandi, cuci piring,cuci baju, buang hajat last but not least tamasya. Pernah ngalami nggak, subuh-subuh sebelum azan berkumandang, dengan mata yang masih sepet, bawa pakaian, piring dan gelas kotor, pergi ke sungai. Saya pernah mengalaminya bersama nenek tercinta. Kira-kira tahun 80-an,di bagian utara Kota Bandung, memang tidak jauh, jaraknya hanya selemparan batu. Waktu itu saya menginap di rumah nenek, dengan special request: ikut ke sungai untuk mandi di sana, dan jangan bilang ayah, bahwa saya diajak ke sungai. Bunyi aliran air sungai sudah terdengar dari jauh, kemudian kita akan menemui tangga masih dari tanah yang disengked dengan jarak kira-kira 90 cm dan lebar 1 meter, tangga tersebut membuat saya yang masih usia SD ketika itu harus menuruninya sambil berpegangan tangan, atau berpegangan ke ranting-ranting pohon sekitar, pernah juga menuruninya dengan cara duduk setelah sempat jatuh terjerembab, he…he.
Begitu sampe di bawah/di sungai saya mencari batu besar berwarna kuning keputih-putihan, duduk di atasnya, memandang langit sebentar, memperhatikan pohon-pohon disekitarnya. Tampak menyeramkan, seperti raksasa dengan tangannya yang banyak menggapai-gapai berusaha meraih bulan. Bosan dengan si raksasa saya berusaha mencari udang kecil/hurang di bawah batu, tentu saja kalau matahari sudah mulai muncul, dan langit tampak terang. Dan akkhirnya yang paling dinantikan tiba, mandi……..n pura-pura nyuci baju di batu cuci. Eit tapi jangan lupa jangan ada sehelai rambut pun yang terbawa air sungai, nanti si raksasa marah karena tenggorokannya tersedak rambut kita itu.
Usut punya usut, ternyata yang dimaksud dengan raksasa adalah Sanghyang Tikoro. Aliran sungai Citarum yang masuk ke gua batu kapur pasir dan menjadi sungai bawah tanah, terletak di daerah batu kapur selatan Rajamandala Kabupaten Bandung. Jika kita menengok ke belakang kantor PLTA Saguling, kita dapat menyaksikan Sanghyang Tikoro ini. Sanghyang yang artinya dewa dan tikoro (bahasa sunda) yang artinya tenggorokan. Sebuah sungai yang dipercayai berhubungan dengan legenda Sangkuriang khususnya dengan Danau Bandung. Dalam legenda diceritakan pula suatu saat jikalau lubang Sanghyang Tikoro tersumbat oleh sebatang lidi saja maka kawasan Bandung Raya akan kembali tergenang seperti legenda Sangkuriang.
Dari keterangan di atas saya mencoba menyimpulkan makna yang tersirat dari legenda sanghyang tioro tersebut. Dengan larangan untuk membiarkan sebatang lidi atau bahkan sehelai rambut terbawa sungai sebenarnya para leluhur kita mengajarkan untuk mencintai alam, memeliharanya sebab jika tidak akan terjadi bencana. Nah sekarang tinggal bagaimana kita menyikapinya. Hei orang Bandung ……mau buang sampah di sungai lagi tidak ?
Oleh: Dieny Ferbianty

0 comments:

About This Blog

Lorem Ipsum

  © Free Blogger Templates Skyblue by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP