Melongok Makam Cut Nyak Dien
>> Wednesday, January 23, 2008
LIS DHANIATI
Sumedang, kota kecil di Jawa Barat ini, secara geografis sangat jauh dari Aceh. Namun, dua daerah yang berbeda pulau dan budaya tersebut memiliki satu pengikat kuat, yakni kenangan atas perempuan perkasa bernama Cut Nyak Dien.
Nama Cut Nyak Dien memang tidak bisa lepas dari Aceh. Namun, mungkin tidak banyak yang tahu kalau pahlawan nasional itu sebenarnya juga sangat dekat dengan masyarakat Sumedang. Di Kota Tahu inilah Cut Nyak Dien menghabiskan tahun-tahun terakhir, wafat, lalu dimakamkan.
Sumedang, kota kecil di Jawa Barat ini, secara geografis sangat jauh dari Aceh. Namun, dua daerah yang berbeda pulau dan budaya tersebut memiliki satu pengikat kuat, yakni kenangan atas perempuan perkasa bernama Cut Nyak Dien.
Nama Cut Nyak Dien memang tidak bisa lepas dari Aceh. Namun, mungkin tidak banyak yang tahu kalau pahlawan nasional itu sebenarnya juga sangat dekat dengan masyarakat Sumedang. Di Kota Tahu inilah Cut Nyak Dien menghabiskan tahun-tahun terakhir, wafat, lalu dimakamkan.
Sejarah mencatat, Cut Nyak Dien ditawan pemerintah kolonial Belanda pada 6 November 1905. Tiga tahun kemudian, tepat pada tanggal yang sama, Cut Nyak Dien wafat dalam usia 58 tahun. Jasadnya dikebumikan di kompleks pemakaman keluarga milik Siti Khodijah. Lokasinya hanya beberapa ratus meter di sebelah selatan Kota Sumedang, tepat bersebelahan dengan kompleks pemakaman keluarga Pangeran Sumedang di Kampung Gunung Puyuh, Desa Sukajaya, Kecamatan Sumedang Selatan.
Belum tersedianya akses dan alat transportasi yang memadai pada saat itu membuat perjalanan Cut Nyak Dien dari Aceh ke Sumedang makan waktu sekitar enam bulan. Belanda pun seperti menutup informasi kepada khalayak tentang siapa Cut Nyak Dien.
"Rakyat Sumedang tidak tahu nama beliau. Mereka menyebut Cut Nyak Dien sebagai Ibu Prabu dari Seberang," ungkap juru kunci makam Cut Nyak Dien, Nana Sukmana (58).
Alih-alih sebagai pejuang yang gigih melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda, rakyat Sumedang lebih mengenal "Ibu Prabu" sebagai ulama wanita yang tekun mengajar mengaji. "Meski dalam kondisi sudah tak mampu melihat lagi, beliau tetap hafal Alquran di luar kepala," tutur Nana.
Hal lain yang tidak pudar adalah sikap kerasnya. Salah satu buktinya, "Ibu Prabu" itu tidak mau menyentuh makanan yang disediakan Belanda.
Nana mengisahkan, sebelum dibangun seperti sekarang, makam Cut Nyak Dien hanyalah kuburan biasa. "Bahkan, warga Sumedang pun tidak menyangka itu makam pahlawan karena berada di kuburan keluarga," ujar Nana.
"Identitas" makam baru diketahui setelah ada pencarian yang diprakarsai Gubernur Aceh pada tahun 1959. "Informasi makam Cut Nyak Dien di Sumedang justru didapat dari data di Belanda," ungkap Nana.
Kini, makam Cut Nyak Dien tetap berada di antara makam anggota keluarga Siti Khodijah. Satu-satunya pembeda yakni bangunannya beratap dengan arsitektur Aceh. Juga nisan marmer dengan tulisan huruf Latin dan Arab.
Nana menyebutkan, makam itu masih sering dikunjungi, baik warga Aceh maupun bukan. "Hampir semua pejabat Aceh pernah ke sini. Dengar-dengar, gubernur baru (Irwandi Yusuf) juga mau datang. Kadang juga anak-anak sekolah yang mendapat tugas pelajaran sejarah," tutur Nana yang mewarisi pekerjaan juru kunci dari ayahnya.
Selain sebagai pahlawan, Cut Nyak Dien yang perjuangannya sempat merepotkan Belanda itu juga dikenang sebagai ulama. Oleh karena itu, sesekali datang rombongan pengajian berziarah.
Napas keagamaan juga yang membuat makam itu terlarang untuk kegiatan seperti di makam-makam kuno lain. "Kami menghindarkan makam ini dikaitkan dengan tujuan mistik," kata Nana.
Meski demikian, ia mencatat ada "keanehan" di makam Cut Nyak Dien. "Di sini jarang ada tanaman bunga. Namun, sesekali tercium bau harum. Bukan hanya saya yang mengalami, kadang ada juga tamu-tamu yang mencium bau harum itu," ungkapnya.
Kenangan khusus Nana adalah saat Gerakan Aceh Merdeka (GAM) masih memilih jalan senjata. Sepanjang bertugas, ia banyak menemui anggota GAM berziarah. Ia bisa mengenali mereka dari obrolan atau pesan di buku tamu. "Saya sampai sering ditanya-tanya tentara," katanya.
Sebaliknya, banyak juga anggota TNI yang akan bertugas ke Aceh berziarah dulu ke makam ini. "Lucu dan membingungkan. Namun, saya hanya yakin bahwa Cut Nyak Dien berjuang untuk perdamaian," kata Nana.
Nana kini mendapat honor Rp 500.000 per bulan sebagai tenaga kerja honorer Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. "Terima gajinya tidak rutin tiap bulan. Seringnya dirapel," tuturnya.
Jejak sejarah lain yang juga membutuhkan perhatian adalah situs bekas rumah tinggal Cut Nyak Dien di Kampung Kaum, Kelurahan Regol Wetan, Kecamatan Sumedang Selatan. Di rumah inilah dulu Cut Nyak Dien tinggal bersama keluarga Kiai Haji Ilyas dan Hajjah Solehah.
Tinggalnya Cut Nyak Dien di rumah tersebut tak lepas dari saran Bupati Sumedang saat itu, Pangeran Aria Soeria Atmadja. Kini, sebagai cagar budaya, rumah itu ditinggali cucu dan cicit Kiai Ilyas, yakni Neng Aisyah (73) dan Nenden Dewi Rosifa (38) bersama anggota keluarga lainnya.
Masjid Agung Sumedang
Dari jalan, rumah yang terletak di belakang Masjid Agung Sumedang itu terlihat seperti rumah-rumah sekitarnya. Bahkan, tidak seluruh bagian depan rumah terlihat dari jalan karena tertutup rumah lain. Tak ada yang mencolok kecuali bentuk dasarnya sebagai rumah panggung.
Penanda satu-satunya adalah papan nama bertuliskan "Bekas Rumah Tinggal Cut Nyak Dien" yang dipasang Balai Peninggalan Purbakala pada tahun 2003. Tak sulit untuk menemukan rumah ini karena warga Kota Sumedang pasti bisa menunjukkannya. Rumah panggung yang sebagian besar dinding dan lantainya berupa anyaman bambu itu terdiri atas ruang tamu, ruang keluarga, empat ruang tidur, dan satu dapur.
Tak ada tanda fisik yang menunjukkan jejak Cut Nyak Dien, kecuali sebuah foto kuno Cut Nyak Dien berukuran besar di ruang keluarga. Sayang, gambar itu tampak kusam dan bergelombang. "Gambar itu dulu dibawa oleh pejabat Balai Purbakala. Katanya, berasal dari Belanda," kata suami Nenden, H Dadang (55).
Keterangan tentang Cut Nyak Dien bisa diperoleh dari Dadang yang sekaligus "bertugas" sebagai pemandu bagi tamu yang datang. "Dulu, inilah kamar Cut Nya Dien," kata Dadang menunjuk ruang tidur yang paling luas.
Semula, itu merupakan dua ruang tidur yang kemudian dijadikan satu. Ruangan itu tidak dikhususkan. Namun, saat ini difungsikan sebagai salah satu kamar tidur keluarga Dadang.
Menurut dia, sebagian dinding dan lantai bambu masih asli, sedangkan sebagian lainnya sudah diganti. Dinding lama anyaman bambunya lebih besar dan tebal. "Sepertinya tak ada lagi jenis bambu untuk membuat dinding lama itu," tutur Dadang.
Selain dinding dan lantai, tiang-tiang utama yang terbuat dari kayu juga masih asli. Tiang-tiang itu masih kokoh, tidak dimakan rayap meski sebagian ditanam di dalam tanah.
Kerusakan memang sesuatu yang tidak bisa dihindari mengingat usia rumah yang sudah ratusan tahun. Ini mengingat rumah itu sudah ada sebelum Cut Nyak Dien tiba di Sumedang.
Tak ada subsidi
Sebagai cagar budaya, bentuk utama rumah juga tidak diubah. Namun, dinding depan rumah kemungkinan besar sudah berubah karena terbuat dari bahan kayu dan jendela kaca. "Tetapi, kata Ibu Aisyah, sejak kecil bentuk depan rumah sudah seperti itu," kata Dadang.
Serupa dengan nasib makamnya, Dadang menyebutkan, selama ini tak ada subsidi rutin untuk perbaikan rumah. "Selaku penghuni, saya memang tidak bergantung pada bantuan luar. Hanya saja, perbaikan memang sulit dan mahal karena harus berpedoman pada aturan-aturan perbaikan bangunan cagar budaya," tutur Dadang.
Menurut dia, rumah itu pernah mendapat jatah renovasi total dengan biaya miliaran rupiah. Namun, entah mengapa, renovasi batal dilakukan. Padahal, kelestarian rumah itu mengundang kekaguman banyak pihak. Karena itu, Dadang sangat berharap ada bantuan renovasi. Entah dari pusat, Pemprov Aceh, atau juga dari Pemkab Sumedang.
Ia hanya tidak ingin rumah yang menyimpan sepenggal sejarah kepahlawanan nasional itu dibiarkan rapuh atau bahkan sampai roboh....
Belum tersedianya akses dan alat transportasi yang memadai pada saat itu membuat perjalanan Cut Nyak Dien dari Aceh ke Sumedang makan waktu sekitar enam bulan. Belanda pun seperti menutup informasi kepada khalayak tentang siapa Cut Nyak Dien.
"Rakyat Sumedang tidak tahu nama beliau. Mereka menyebut Cut Nyak Dien sebagai Ibu Prabu dari Seberang," ungkap juru kunci makam Cut Nyak Dien, Nana Sukmana (58).
Alih-alih sebagai pejuang yang gigih melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda, rakyat Sumedang lebih mengenal "Ibu Prabu" sebagai ulama wanita yang tekun mengajar mengaji. "Meski dalam kondisi sudah tak mampu melihat lagi, beliau tetap hafal Alquran di luar kepala," tutur Nana.
Hal lain yang tidak pudar adalah sikap kerasnya. Salah satu buktinya, "Ibu Prabu" itu tidak mau menyentuh makanan yang disediakan Belanda.
Nana mengisahkan, sebelum dibangun seperti sekarang, makam Cut Nyak Dien hanyalah kuburan biasa. "Bahkan, warga Sumedang pun tidak menyangka itu makam pahlawan karena berada di kuburan keluarga," ujar Nana.
"Identitas" makam baru diketahui setelah ada pencarian yang diprakarsai Gubernur Aceh pada tahun 1959. "Informasi makam Cut Nyak Dien di Sumedang justru didapat dari data di Belanda," ungkap Nana.
Kini, makam Cut Nyak Dien tetap berada di antara makam anggota keluarga Siti Khodijah. Satu-satunya pembeda yakni bangunannya beratap dengan arsitektur Aceh. Juga nisan marmer dengan tulisan huruf Latin dan Arab.
Nana menyebutkan, makam itu masih sering dikunjungi, baik warga Aceh maupun bukan. "Hampir semua pejabat Aceh pernah ke sini. Dengar-dengar, gubernur baru (Irwandi Yusuf) juga mau datang. Kadang juga anak-anak sekolah yang mendapat tugas pelajaran sejarah," tutur Nana yang mewarisi pekerjaan juru kunci dari ayahnya.
Selain sebagai pahlawan, Cut Nyak Dien yang perjuangannya sempat merepotkan Belanda itu juga dikenang sebagai ulama. Oleh karena itu, sesekali datang rombongan pengajian berziarah.
Napas keagamaan juga yang membuat makam itu terlarang untuk kegiatan seperti di makam-makam kuno lain. "Kami menghindarkan makam ini dikaitkan dengan tujuan mistik," kata Nana.
Meski demikian, ia mencatat ada "keanehan" di makam Cut Nyak Dien. "Di sini jarang ada tanaman bunga. Namun, sesekali tercium bau harum. Bukan hanya saya yang mengalami, kadang ada juga tamu-tamu yang mencium bau harum itu," ungkapnya.
Kenangan khusus Nana adalah saat Gerakan Aceh Merdeka (GAM) masih memilih jalan senjata. Sepanjang bertugas, ia banyak menemui anggota GAM berziarah. Ia bisa mengenali mereka dari obrolan atau pesan di buku tamu. "Saya sampai sering ditanya-tanya tentara," katanya.
Sebaliknya, banyak juga anggota TNI yang akan bertugas ke Aceh berziarah dulu ke makam ini. "Lucu dan membingungkan. Namun, saya hanya yakin bahwa Cut Nyak Dien berjuang untuk perdamaian," kata Nana.
Nana kini mendapat honor Rp 500.000 per bulan sebagai tenaga kerja honorer Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. "Terima gajinya tidak rutin tiap bulan. Seringnya dirapel," tuturnya.
Jejak sejarah lain yang juga membutuhkan perhatian adalah situs bekas rumah tinggal Cut Nyak Dien di Kampung Kaum, Kelurahan Regol Wetan, Kecamatan Sumedang Selatan. Di rumah inilah dulu Cut Nyak Dien tinggal bersama keluarga Kiai Haji Ilyas dan Hajjah Solehah.
Tinggalnya Cut Nyak Dien di rumah tersebut tak lepas dari saran Bupati Sumedang saat itu, Pangeran Aria Soeria Atmadja. Kini, sebagai cagar budaya, rumah itu ditinggali cucu dan cicit Kiai Ilyas, yakni Neng Aisyah (73) dan Nenden Dewi Rosifa (38) bersama anggota keluarga lainnya.
Masjid Agung Sumedang
Dari jalan, rumah yang terletak di belakang Masjid Agung Sumedang itu terlihat seperti rumah-rumah sekitarnya. Bahkan, tidak seluruh bagian depan rumah terlihat dari jalan karena tertutup rumah lain. Tak ada yang mencolok kecuali bentuk dasarnya sebagai rumah panggung.
Penanda satu-satunya adalah papan nama bertuliskan "Bekas Rumah Tinggal Cut Nyak Dien" yang dipasang Balai Peninggalan Purbakala pada tahun 2003. Tak sulit untuk menemukan rumah ini karena warga Kota Sumedang pasti bisa menunjukkannya. Rumah panggung yang sebagian besar dinding dan lantainya berupa anyaman bambu itu terdiri atas ruang tamu, ruang keluarga, empat ruang tidur, dan satu dapur.
Tak ada tanda fisik yang menunjukkan jejak Cut Nyak Dien, kecuali sebuah foto kuno Cut Nyak Dien berukuran besar di ruang keluarga. Sayang, gambar itu tampak kusam dan bergelombang. "Gambar itu dulu dibawa oleh pejabat Balai Purbakala. Katanya, berasal dari Belanda," kata suami Nenden, H Dadang (55).
Keterangan tentang Cut Nyak Dien bisa diperoleh dari Dadang yang sekaligus "bertugas" sebagai pemandu bagi tamu yang datang. "Dulu, inilah kamar Cut Nya Dien," kata Dadang menunjuk ruang tidur yang paling luas.
Semula, itu merupakan dua ruang tidur yang kemudian dijadikan satu. Ruangan itu tidak dikhususkan. Namun, saat ini difungsikan sebagai salah satu kamar tidur keluarga Dadang.
Menurut dia, sebagian dinding dan lantai bambu masih asli, sedangkan sebagian lainnya sudah diganti. Dinding lama anyaman bambunya lebih besar dan tebal. "Sepertinya tak ada lagi jenis bambu untuk membuat dinding lama itu," tutur Dadang.
Selain dinding dan lantai, tiang-tiang utama yang terbuat dari kayu juga masih asli. Tiang-tiang itu masih kokoh, tidak dimakan rayap meski sebagian ditanam di dalam tanah.
Kerusakan memang sesuatu yang tidak bisa dihindari mengingat usia rumah yang sudah ratusan tahun. Ini mengingat rumah itu sudah ada sebelum Cut Nyak Dien tiba di Sumedang.
Tak ada subsidi
Sebagai cagar budaya, bentuk utama rumah juga tidak diubah. Namun, dinding depan rumah kemungkinan besar sudah berubah karena terbuat dari bahan kayu dan jendela kaca. "Tetapi, kata Ibu Aisyah, sejak kecil bentuk depan rumah sudah seperti itu," kata Dadang.
Serupa dengan nasib makamnya, Dadang menyebutkan, selama ini tak ada subsidi rutin untuk perbaikan rumah. "Selaku penghuni, saya memang tidak bergantung pada bantuan luar. Hanya saja, perbaikan memang sulit dan mahal karena harus berpedoman pada aturan-aturan perbaikan bangunan cagar budaya," tutur Dadang.
Menurut dia, rumah itu pernah mendapat jatah renovasi total dengan biaya miliaran rupiah. Namun, entah mengapa, renovasi batal dilakukan. Padahal, kelestarian rumah itu mengundang kekaguman banyak pihak. Karena itu, Dadang sangat berharap ada bantuan renovasi. Entah dari pusat, Pemprov Aceh, atau juga dari Pemkab Sumedang.
Ia hanya tidak ingin rumah yang menyimpan sepenggal sejarah kepahlawanan nasional itu dibiarkan rapuh atau bahkan sampai roboh....
Sumber: Kompas, Sabtu, 07 Januari 2007.
0 comments:
Post a Comment